Siaran Pers SETARA Institute, 17 November 2025
Sejak tahun 2015 hingga 2024, SETARA Institute secara rutin menyusun dan mempublikasikan studi Indeks Kota Toleran yang bertujuan mempromosikan berbagai praktik baik toleransi kota-kota di Indonesia. Dalam perkembangannya, Indeks Kota Toleran (IKT) telah berhasil mendorong antusiasme kota-kota untuk bergegas membangun ekosistem toleransi di daerahnya masing-masing.
Dalam rangka menyediakan ruang bersama untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan antar kabupaten/kota mengenai pemajuan toleransi, SETARA Institute menyelenggarakan Konferensi Kota Toleran (KKT). Kota Singkawang menjadi tuan rumah penyelenggaraan KKT I tahun 2025 yang diselenggarakan bertepatan dengan peringatan hari toleransi internasional tanggal 16 November 2025. KKT 2025 mengangkat tema Menguatkan Inisiatif dan Kolaborasi, Membangun Ekosistem Toleransi. Dengan tema tersebut, SETARA Institute bermaksud untuk mendorong dan menggalakkan kolaborasi dan inovasi dalam pemajuan toleransi. Dengan kolaborasi dan inisiatif tersebut diharapkan agar seluruh elemen daerah secara bersama-sama berkontribusi dalam membangun ekosistem toleransi.
Dalam pandangan SETARA Institute, toleransi merupakan salah satu medium untuk menguatkan modal sosial dalam pembangunan negara-bangsa Indonesia yang sejak sangat awal mengambil pilihan sejarah untuk menjadi negara kesatuan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. KKT merupakan salah satu inisiatif untuk mendorong agar daerah-daerah, bukan hanya kota sebagai unit politik dan administratif namun juga provinsi dan kabupaten, untuk bekerja keras dan bahu membahu dalam menunaikan tanggung jawab historis penguatan kebinekaan Indonesia. KKT bukan hanya pertemuan teknokratis dan formal-seremonial, melainkan ruang perjumpaan lintas kedudukan dan kepentingan. Pemerintah daerah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, komunitas keagamaan, praktisi kebijakan, hingga pemimpin muda berkumpul dalam satu ruang dialog yang setara.
Selain menjadi ruang perjumpaan antar aktor kunci pemajuan toleransi dan penguatan kebinekaan di kota-kota, KKT menjadi ajang untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai inovasi dalam kebijakan dan regulasi, penganggaran, perencanaan dan pelaksanaan program, serta pelibatan seluruh elemen daerah dalam pemajuan toleransi. KKT Singkawang 2025 diikuti perwakilan 27 kabupaten/kota dari berbagai wilayah dengan peserta lebih dari 250 orang.
Selama proses konferensi, para peserta dari berbagai daerah tidak hanya hadir untuk mendengarkan, tetapi juga untuk saling berbagi inovasi yang telah mereka kembangkan dalam memajukan toleransi di daerah masing-masing. Pertukaran ini menjadi wujud nyata dari kehendak dan semangat aktor-aktor kunci di daerah untuk bekerja secara kolektif membangun kota/kabupaten yang toleran dan inklusif.
Dalam konferensi ini, 27 kota/kabupaten dan 1 provinsi hadir melalui pemimpin daerah, organisasi perangkat daerah, para tokoh lintas agama, dan organisasi masyarakat sipil. Pemerintah kota/kabupaten yang hadir menandatangani Deklarasi Komitmen Bersama untuk Percepatan Pembangunan Ekosistem Toleransi di Daerah, disaksikan oleh Perwakilan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Organisasi Masyarakat Sipil. Para pihak yang hadir sekaligus menandatangani Deklarasi Komitmen Bersama tersebut antara lain Tjhai Chui Mie (Walikota Singkawang), Dedy Yon Supriyono (Walikota Tegal), Robby Hernawan (Walikota Salatiga), Wesly Silalahi (Walikota Pematang Siantar), Johannes Rettob (Bupati Mimika), Muhammadin (Wakil Walikota Singkawang), Ananda (Wakil Walikota Banjarmasin), Bobby Maulana (Wakil Walikota Sukabumi), Amru Chanwari (Wakil Bupati Kayong Utara), serta elemen OPD dan FKUB dari Kota Bekasi, Kapbupaten Bengkayung, Kota Bogor, Kabupaten Ciamis, Kota Depok, Kota Kediri, Kota Klaten, Kota Makassar, Kota Manado, Kota Palangkaraya, Kota Palembang, Kota Pontianak, Kota Semarang, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sambas, dan Kabupaten Sanggau. Deklarasi tersebut turut disaksikan oleh perwakilan Pemerintah Pusat dan Provinsi, antara lain; Ismail Hasani (Kemendiktisaintek RI), Efrida Herawati Siregar (BPIP RI), Adib Abdushomad (PKUB Kemenag RI), Hartono (Ditjen Polpum Kemendagri RI), Manto (Kesbangpol Provinsi Kalbar), dan organisasi masyarakat sipil, antara lain: SETARA Institute, APEKSI, JAKATARUB, PB JAI, SEJUK, dan lain-lain.
Selain itu, terdapat sejumlah catatan pembelajaran dalam sharing session masing-masing kota, sebagai berikut.
1. Penguatan ekosistem toleransi secara konkret dilakukan melalui produk hukum progresif bagi pemajuan toleransi. Kota Mojokerto, Kota Salatiga, Kota Tegal, dan Kota Semarang mengeluarkan kebijakan yang spesifik mengenai toleransi, bahkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang prosesnya lebih panjang karena melibatkan dinamika politik yang seringkali lebih rumit.
2. Sejumlah kota mendesain pemajuan toleransi dengan program-program inovatif dan kolaboratif. Misalnya, Kota Singkawang memprogramkan kampanye dan promosi toleransi di tingkat akar rumput, ke kampung-kampung, melalui sinergi dengan kelompok-kelompok pemuda. Kabupaten Mimika memperkuat harmoni masyarakat, termasuk di antara suku-suku dengan penguatan peran dan fungsi FKUB, pengembangan platform mitigasi melalui aduan publik, dan dukungan anggaran besar untuk dialog lintas iman. Kota Kediri memadukan pendidikan dan budaya toleransi melalui parade lintas agama, sekolah moderasi, dan Kampung Pancasila. Sementara Kabupaten Ciamis mendorong kebijakan inklusif seperti penggunaan bangunan sementara untuk ibadah minoritas, berbagai program lintas iman, dan pelayanan publik afirmatif bagi kelompok warga dari minoritas non muslim yang jumlahnya hanya sekitar 1 persen. Kota Bekasi memperluas pemajuan toleransi melalui Kampung Moderasi, festival budaya, dan kampanye digital perdamaian bagi kaum muda Bekasi.
3. Berbagai daerah menunjukkan pendekatan kontekstual dalam menjaga resiliensi dan memperkuat toleransi. Kota Sukabumi menekankan pentingnya literasi digital setelah menghadapi sejumlah insiden berbasis agama, sehingga pemerintah memperkuat edukasi publik untuk mencegah misinformasi dan ujaran kebencian yang berpotensi memicu konflik. Kabupaten Muara Enim menampilkan komitmen kuat melalui self-assessment toleransi dan menjadikan isu ini sebagai indikator kinerja utama, didukung budaya lokal Serasan Sekundang yang menjaga harmoni sosial. Kota Bogor menunjukkan transformasi signifikan dengan memetakan persoalan intoleransi secara menyeluruh, mulai dari GKI Yasmin hingga kasus Syiah dan Ahmadiyah, lalu menyelesaikannya melalui koordinasi pemerintah, FKUB, penguatan regulasi, dan peningkatan partisipasi masyarakat. Dari masyarakat sipil, Bandung melalui JAKATARUB membuktikan bahwa resiliensi toleransi juga lahir dari inisiatif warga, kultur dialog, dan ruang perjumpaan lintas iman yang terus diperkuat.
4. Tantangan tetap muncul dalam bentuk isu identitas, misinformasi digital, warisan konflik, serta beban sejarah kasus-kasus intoleransi yang lama menggantung. Daerah seperti Sukabumi masih menghadapi risiko eskalasi akibat provokasi digital. Sementara Kota Bogor harus membangun kembali kepercayaan publik setelah bertahun-tahun menjadi sorotan nasional dan internasional. Lalu Kota Bandung menghadapi dinamika politik identitas, sedangkan Muara Enim perlu memastikan komitmen toleransi tetap konsisten lintas periode kepemimpinan.
5. Beberapa daerah masih menghadapi berbagai tantangan stereotip terhadap kelompok minoritas, perbedaan tingkat toleransi antar generasi, serta bias sebagian tokoh agama yang terseret politisasi identitas. Dalam situasi demikian, peran anak muda juga sangat strategis dalam mendukung kebijakan toleransi melalui partisipasi langsung di kegiatan dan program magang pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan penguatan toleransi tidak hanya bertumpu pada kebijakan daerah, tetapi juga membutuhkan literasi keberagamaan, keterlibatan generasi muda, dan penguatan ruang dialog yang inklusif untuk menjaga kohesi sosial di berbagai wilayah.
Pelajaran yang muncul dalam KKT menunjukkan bahwa toleransi dan inklusi tidak hadir secara instan. Tata masyarakat yang toleran dibangun secara bertahap, berkelanjutan, dan kolaborasi pemerintah–masyarakat sipil melalui penguatan ruang dialog dan komitmen jangka panjang melalui tiga pilar kepemimpinan yaitu kepemimpinan politik, kepemimpinan birokrasi, dan kepemimpinan kemasyarakatan.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan bersama hasil deklarasi KKT tahun 2025, para pemimpin daerah dan peserta KKT sepakat untuk berupaya:
Pertama, menyusun produk hukum daerah untuk mengekselerasi pemajuan toleransi.
Kedua, menggalakkan program-program yang memperkuat toleransi dalam tata kebhinekaan dan kehidupan masyarakat.
Ketiga, meningkatkan kerja-kerja kolaboratif bersama masyarakat dalam memajukan toleransi dan menguatkan keberagaman Indonesia.
Narahubung:
1. Sayyidatul Insiyah, Manajer Riset SETARA Institute
2. Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute