KATE PENGANTAR
Setara Institute pada pertengahan Juni 2017 kembali mempublikasikan Seri Laporan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan yang bertajuk “Kondisi Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kelompok Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau selama ini disebut juga dengan kelompok penganut agama lokal Nusantara merupakan bagian dari perhatian Setara Institute pada area riset tentang Kebebasan BEragama/Berkeyakinan.
Studi atau kajian terhadap kelompok Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa masih menjadi agenda advokasi banyak pihak. Hal ini antara lain, meskipun kelompok ini sudah mengalami beberapa kemajuan dalam hal pemenuhan hak konstitusionalnya, namun dalam banyak kasus pula mereka masih mengalami persoalan diskriminatif yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kebebasan.
Kelompok Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa seakan masih menjadi tamu di negeri sendiri dalam batas-batas yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia dengan melibatkan aktor Negara. Oleh Negara misalnya, masih terdapat produk kebijakan yang diskriminatif oleh sebab tumpang tindihnya kebijakan pemerintah tersebut. Satu sisi eksistensi dan keyakinan mereka dijamin oleh konstitusi, namun masih terdapat kebijakan pemerintah di tingkat undang-undang yang mencurigai mereka. Oleh penganut agama mainstream, mereka diposisikan sebagai kelompok sesat atau menyimpang dari pokok-pokok agama besar dan masih terjadinya proyek pengagamaan menurut nalar mainstream. Bahkan oleh kalangan akademisi mereka distigma sebagai kaum animisme dan dinamisme bahkan sebutan lainnya yang merendahkan, seperti anggapan belum beradab. Sedangkan yang terakhir bagi banyak media mainstream kelompok Penghayat Kepercayaan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa dianggap kelompok primitif yang dijadikan obyek tontonan yang merendahkan.
Kabar sedikit menggembirakan yang diterima oleh kelompok Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, ketika dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah pusat yang diinisasi oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang mengeluarkan Surat Keputusan Bersama dan berbagai Surat Edaran menteri yang secara substansial telah mengakui dan memberikan berbagai pelayanan dan pencatatan atas hakhak sipil dan kependudukan lainnya, meski dalam kolom agama di KTP elektronik masih harus dikosongkan.
Hak perkawinan sudah diakomodir dengan diakuinya pemimpin Penghayat yang tergabung dalam Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) sebagai yang sah menandatangani dan menyaksikan pernikahan secara penghayat. Demikian juga dalam hal hak pendidikan agama kelompok penghayat juga menunjukkan progresivitas yang cukup berarti.
Semua itu tentu tidak terlepas dari kerja keras dari kelompok Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sendiri baik yang berorganisasi dan bergabung dalam MLKI, maupun yang berorganisasi tapi tidak bergabung dalam MLKI serta kelompok yang memilih tidak berorganisasi atau lebih dikenal perorangan. Kelompok lain yang tidak bisa diabaikan adalah dukungan yang kuat dari kelompok organisasi masyarakat sipil dalam mengadvokasi mereka baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi. Laporan ini memotret peta capaian-capaian tersebut dan menunjukkan beberapa temuan yang masih menutut penyikapan serius dan berkelanjutan dari Negara.
SETARA Institute mengicapkan terima kasih kepada semua pihak terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam penyusunan laporan serial ini. Terutama kepada saudara Sudarto dan Halili yang menjadi peneliti utama bidang kebebasan beragama/berkeyakinan di Setara Institute. Terima kasih disampaikan kepada Kedutaan Kanada yang memberikan dukungan untuk terselenggaranya riset ini.
Jakarta, Juni 2017.
Selengkapnya, klik KONDISI PEMENUHAN HAK KONSTITUSIONAL PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
selamat pagi…
pimpinan Setara Institute yang saya hormati
perkenalkan, saya Ahmad Sahide, Dosen magister Ilmu Hubungan Internasional UMY. saat ini sedang melakukan riset dengan judul “Peran Elite lokal dalam Menanamkan Nilai-nilai Pluralisme di Indonesia”. penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa intoleransi terjadi karena ada peran elite lokal dengan slogan-slogannya dalam kampanye ketika kontestasi untuk kepemimpinan publik. oleh karena itu, saya membutuhkan data2 mengenai intoleransi di Indonesia. jika berkenan, saya bermakud meminta ijin untuk bisa mengakses atau mendapatkan data2 hasil riset Setara Institute. mohon saran dan petunjuk.
Salam Hormatku
Ahmad Sahide
Selamat siang,
Mohon maaf lambat merespon. Terima kasih telah berkirim surel kepada kami. Data yang kita publish di web semuanya bisa diakses pak. Tetapi untuk data detail terkaiy topik bapak kita tidak menyajikannya secara spesifik. Jadi bapak bisa gunakan data intoleransi swbagai fakta dan dependent variabel dari kontestasi politik di tingkat lokal.
Terima kasih. Silahkan hubungi kami jika ada yang bisa kami bantu.
Regards,
SETARA Institute
Dear Setara,
Saya butuh buku ni guna bahan riset di FH UKI Jakarta, boleh kan saya dikirim satu buku?
Manotar Tampubolon
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Kristen Indonesia
Jl. Mayjen Sutoyo No 2
Cawang Jakarta Timur 13630
HP> 081210725234
Dear Manotar Tampubolon,
Boleh sekali pak. Kami akan tindaklanjuti permintaan bapak. Mohon maaf baru bisa merespon komentar ini. Kami akan kirimkan sesuai alamat dan no hp yang telah bapak cantumkan di komentar.
Terima kasih,
Regards,
SETARA Institute
Selamat Siang
Saya Elkristi Ferdinan Manuel, S.H.
Saya membutuhkan buku ini sebagai bahan dalam penulisan Tesis di Fakultas Hukum UGM
Apakah buku ini / e-book bisa dikirimkan atau seperti apa alurnya?
Villa Taman Cibodas Blok O3 no 7
Sangiang Jaya, Periuk, KOta Tangerang
081330274228