LAPORAN KONDISI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI INDONESIA TAHUN 2017

Ringkasan Eksekutif
MEMIMPIN PROMOSI TOLERANSI
Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas Keagamaan di Indonesia 2017

Jakarta, 15 Januari 2018

LATAR BELAKANG DAN METODE

  1. Laporan Kondisi Kebebasan/Berkeyakinan yang diproduksi oleh SETARA Institute adalah laporan ke-11 sejak pertama kali disusun pada tahun 2007, yang dilatarbelakangi oleh kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan yang belum mendapat jaminan utuh dari negara dan praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan yang masih terus terjadi. Padahal secara normatif negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28E Ayat (1 & 2), dan Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara RI 1945, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.
  2. Sejak tahun 2016, SETARA Institute memberikan perhatian khusus terhadap minoritas keagamaan di samping kondisi KBB secara makro. Hal itu dilatarbelakangi paling tidak beberapa faktor berikut ini. Pertama, secara konseptual bahwa demokrasi adalah sistem tata kelola kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan oleh mayoritas (majority rule) dengan memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak minoritas (minority rights). Kedua, secara filosofis cita negara Indonesia merdeka adalah semua untuk satu (Indonesia), satu untuk semua. Pancasila dan semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika telah secara tegas membayangkan politik negara yang terbuka untuk seluruh anasir pembentuk negara-bangsa, dalam satuan yang besar maupun kecil, banyak ataupun sedikit. Ketiga, dalam tataran legal turunannya, Pasal 27 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005, menjamin secara khusus hak-hak minoritas. Sehingga agenda penegakannya sudah seharusnya menjadi concern semua pihak agar hukum juga menjadi pelindung bagi minoritas. Keempat, secara statistikal, mengacu data riset dan pemantauan SETARA Institute sejak tahun 2007 hingga 2016, minoritas merupakan korban terbesar dalam tindakan dan peristiwa pelanggaran KBB selama ini.
  3. Pengumpulan data dalam riset dan pemantauan mengenai kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan dan minoritas keagamaan ini dilakukan dengan [1] check-list dan analisis dokumen kebijakan; [2] pengumpulan dan analisis data sekunder peristiwa dan tindakan; [3] internal focus group discussion, dan [4] wawancara mendalam (in-depth interview) dengan berbagai otoritas negara, tokoh, dan masyarakat di tingkat daerah dan di tingkat nasional yang ditentukan secara purposif.

TEMUAN, BAHASAN DAN SIMPULAN

  1. Sepanjang tahun 2017, SETARA Institute mencatat 155 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 201 bentuk tindakan[1], yang tersebar di 26 provinsi. Sebagian besar peristiwa pelanggaran terjadi di Jawa Barat, yaitu dengan 29 peristiwa. Pelanggaran dengan angka peristiwa yang tinggi juga terjadi di DKI Jakarta (26 peristiwa). Jawa Tengah dan Jawa Timur menempati provinsi peringkat ketiga dan keempat dengan masingmasing jumlah peristiwa 14 dan 12. Banten melengkapi peringkat lima besar dengan 10 peristiwa.
  2. Dari 201 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, terdapat 75 tindakan pelanggaran yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Dari seluruh tindakan negara, 71 di antaranya dalam bentuk tindakan aktif (by commission), 3 tindakan by rule, sementara 1 tindakan lainnya merupakan tindakan pembiaran (by omission). Termasuk dalam tindakan aktif negara adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan (condoning). Untuk pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktor, kerangka legal untuk mempertanggungjawabkannya adalah hukum hak asasi manusia, yang mengikat negara sebagai konsekuensi ratifikasi kovenan dan konvensi internasional hak asasi manusia.
  3. Aktor-aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Pemerintah Daerah, dengan 25 tindakan. Aktor negara lainnya yang juga melakukan tindakan pelanggaran dengan angka yang tinggi adalah Kepolisian dengan 17 tindakan. Sedangkan tiga institusi dalam kategori aktor negara lainnya yang melakukan pelanggaran dalam kelompok 5 (lima) besar teratas adalah institusi pendidikan, dengan 7 tindakan, Pengadilan Negeri dengan 5 tindakan, dan Satpol PP dengan 5 tindakan.
  4. Dari 201 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, 126 tindakan di antaranya dilakukan oleh aktor non negara. Pelaku tindakan pelanggaran pada kategori ini adalah individu warga negara maupun individu-individu yang tergabung dalam organisasi masyarakat. Aktor non negara yang melakukan pelanggaran dengan angka tertinggi adalah kelompok warga, dengan 28 tindakan. Semua tindakan kelompok warga masuk dalam kategori tindak pidana, sehingga secara teoritik tidak sulit bagi negara untuk memprosesnya sesuai dengan hukum positif. Aktor non negara yang paling banyak melakukan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dalam kelompok lima besar teratas, menyusul kelompok warga, berturut-turut adalah: Aliansi Ormas Islam (15 tindakan), MUI (10 tindakan), FPI dan Individu masing-masing (6 tindakan dan 5 tindakan).
  5. Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang tahun 2017 paling banyak menimpa Individu, yaitu dalam 59 peristiwa. Korban terbesar di posisi kedua adalah warga (19 peristiwa). Tiga kelompok korban lainnya yang melengkapi posisi lima besar adalah Umat Kristiani (15 peristiwa), Syi’ah (10 peristiwa) dan Jemaah Ahmadiyah (8 peristiwa).
  6. Sepanjang tahun 2017, terjadi 44 peristiwa dimana kelompok-kelompok minoritas keagamaan menjadi korban. Dari empat kategori minoritas keagamaan yang digunakan oleh SETARA Institute[2], terdapat beberapa kelompok minoritas yang menjadi objek pelanggaran atas hak-hak konstitusional mereka, yaitu Umat Kristen (15 peristiwa), Syiah (10 peristiwa), Jemaah Ahmadiyah (8 peristiwa), Aliran keagamaan (5), Umat Katolik (2), Umat Konghucu (2), Umat Buddha (1), dan Umat Hindu (1). Kelompok-kelompok minoritas keagamaan tersebut secara berpola mengalami beberapa tindakan pelanggaran, yang dominan antara lain: intoleransi, penyesatan, penggrebekan, diskriminasi, intimidasi, penyegelan Rumah Ibadah, pembubaran kegiatan keagamaan, pembekuan, penyerangan, provokasi, ujaran kebencian, larangan ibadah, dan pembiaran.
  7. Pelanggaran terhadap hak-hak minoritas keagamaan di Indonesia pada tahun 2017 disebabkan oleh beberapa katalisator yang umum dan khusus. Katalisator umum pelanggaran terhadap seluruh kelompok minoritas keagamaan adalah: (1) menguat dan menyebarnya kelompok-kelompok intoleran, (2) lemahnya kebijakan dan regulasi negara, dan (3) ketundukan atau lemahnya aparatur negara, termasuk di tingkat lokal, di hadapan kelompok intoleran. Sedangkan katalisator khusus pelanggaran berkaitan dengan kondisi yang melekat pada masing-masing kelompok minoritas keagamaan. Kerentanan kritis (critical vulnerability) yang dialami oleh Ahmadiyah disebabkan oleh beberapa katalisator; (1) eksklusi sosio-religius terhadap eksistensi dan identitas mereka dari identitas Islam; (2) secara yuridis, terdapat SKB 3 Menteri yang konsideransnya berdasarkan pada fatwa MUI yang menyesatkan Ahmadiyah. SKB tersebut membatasi aktivitas dan melarang syiar keagamaan Ahmadiyah. Sedangkan pelanggaran terhadap warga Syi’ah, dipicu juga oleh katalisator khusus, yaitu masih lemahnya literasi umat Islam dan warga mengenai ajaran-ajaran yang diyakini mazhab Syiah sebagai salah satu mazhab besar dalam spektrum agama Islam. Katalisator khusus yang memicu pelanggaran kepada umat Kristiani adalah kelalaian teknis berkaitan dengan tempat ibadah mereka. Sebab Kristen dan Katolik merupakan dua agama resmi yang diakui oleh negara. Sedangkan katalisator khusus terhadap minoritas gerakan agama baru dan aliran keagamaan, relatif sama, yaitu; (1) kesalahan perspektif yang digunakan oleh warga atau penganut agama mainstream, yang lebih banyak menghakimi dengan penyesatan, bukan memahaminya sebagai perbedaan; dan (2) ketidaktepatan pendekatan yang dilakukan oleh negara, yaitu represif dengan kecenderungan kriminalisasi menggunakan delik penistaan agama, bukan pendekatan persuasif-sosiologis yang melihat kelompok-kelompok minoritas tersebut sebagai upaya baru untuk menghadapi perubahan sosial, ekonomi, politik di sekitar dengan melakukan pencarian spiritualitas, religiusitas, filosofi, dan visi-misi baru demi menuju tatanan kehidupan yang lebih baik.
  8. Masih tingginya pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dan minoritas keagamaan secara umum berkaitan dengan variabel kunci (key variable), yaitu belum terbentuknya prasyarat-prasyarat substantif bagi terbangunnya kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan yang ideal, seperti kuatnya jaminan politiko-yuridis atas hak untuk beragama/berkeyakinan, adil dan tegasnya penegakan hukum, minimnya intervensi negara sebab beragama/berkeyakinan merupakan hak negatif, dan terbangunnya toleransi dan kesadaran kewargaan (civic awareness) yang mendorong keterlibatan aktif mereka (civic engagement) dalam menghormati kebebasan beragama/ berkeyakinan masing-masing sebagai hak asasi.
  9. Dengan mencermati data-data dan analisis pada variabel tingkat pelanggaran, aktor pelanggaran, serta posisi dan perlakuan (treatment) negara sepanjang tahun 2017, SETARA Institute mengambil kesimpulan umum bahwa setelah menguatnya supremasi intoleransi pada tahun 2016, mulai tampak kehendak kolektif untuk memimpin promosi toleransi di Indonesia sesuai level otoritas dan batas pengaruh masing-masing, terutama pemerintah pusat dan kelompok masyarakat sipil toleran untuk merespons penguatan dan politisasi sentimensentimen keagamaan yang mengemuka di ruang-ruang publik dan arena-arena politik, terutama politik elektoral. Dalam konteks itu, beberapa gejala positif harus diapresiasi sebagai kemajuan, antara lain sebagai berikut. Pertama, penurunan signifikan angka peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Kedua, menurunnya tingkat pelanggaran terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan, seperti Umat Kristen, Jemaah Ahmadiyah, dan Syi’ah yang selama ini mendominasi angka korban di hampir setiap periode riset dan pemantauan. Ketiga, angka gangguan terhadap rumah ibadah juga relatif “stabil” dan jauh lebih rendah dari ratarata gangguan yang terjadi pada periode-periode sebelumnya. Keempat, tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kelima, mulai muncul inisiatif dan gerakan masyarakat sipil toleran yang selama ini sering dianggap sebagai silent majority untuk mengambil prakarsa dan peran untuk melawan intoleransi, diskriminasi, dan paham-paham yang mengarah destruksi nilainilai hidup damai bersama dalam perbedaan (peaceful co-existence) dan ideologi ekstrimisme dengan kekerasan (violent extremism).
  10. Dibandingkan dengan data tahun yang lalu terdapat penurunan angka peristiwa dan tindakan yang signifikan. Sepanjang tahun 2016, terjadi 208 peristiwa dengan 270 tindakan. Artinya pada tahun 2017 terjadi penurunan pelanggaran sebanyak 53 peristiwa dan 69 tindakan. Meskipun angka di atas 100, baik peristiwa maupun tindakan, yang menunjukkan bahwa kuantitas pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan masih tinggi, penurunan angka peristiwa dan tindakan ini harus kita catat sebagai progress yang penting dalam promosi toleransi dan pemenuhan jaminan atas hak konstitusional warga Negara untuk beragama/berkeyakinan secara merdeka.
  11. Penurunan angka pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah, terutama pusat, memiliki itikad politis (political will) yang cukup kuat dalam memimpin promosi toleransi di Indonesia. Kemauan baik tersebut tergambar dari beberapa indikator yang dapat diakumulasi sejak awal Joko Widodo-Jusuf Kalla mencalonkan diri untuk memimpin pemerintahan ini. Pertama, dokumen Nawa Cita yang memberikan harapan bagi terwujudnya jaminan hak asasi manusia, termasuk hak sipil berupa kebebasan beragama/berkeyakinan. Kedua, introduksi wacana penghapusan kolom agama dalam oleh Kementerian Dalam Negeri. Ketiga, drafting UU Perlindungan Umat Beragama, meskipun di sisi konten masih diperlukan diskusi yang lebih intensif dengan kelompok masyarakat sipil dan agen-agen toleransi di dalam dan di luar pemerintahan agar ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak mengulangi kesalahan regulasiregulasi sebelumnya yang pengaturannya lebih bermakna restriksi bagi kebebasan beragama/berkeyakinan. Keempat, pemenuhan hak atas pengajaran agama dalam institusi pendidikan formal untuk penghayat kepercayaan yang sudah dituangkan oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME pada Satuan Pendidikan. Kelima, dukungan pemerintah atas pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di KTP pada sidang uji materi UU Administrasi Kependudukan (Adminduk). Dalam persidangan di MK, pemerintah mengambil sikap untuk tidak mempertahankan UU yang diuji, dan sebaliknya mendukung pemohon dan meminta MK untuk memberikan alasan konstitusional apabila akhirnya kebijakan Penghayat Kepercayaan masuk dalam kolom agama di KTP. Dalam pernyataan pemerintah yang disampaikan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkum HAM Yasonna Laoly dalam jawaban legal opinion yang dibacakan di MK “Pemerintah memohon pada Mahkamah Konstitusi untuk dapat memberikan pertimbangan konstitusionalitas atas pengaturan terkait kolom agama dalam rangka menentukan arah kebijakan yang lebih baik bagi pemerintah selaku penyelenggara negara”. Putusan MK akhirnya mengabulkan tuntutan pemohon dan menjadi progress yang perlu diapresiasi bagi eksistensi dan rekognisi atas hak-hak dasar penghayat kepercayaan. Namun demikian, SETARA Institute bahwa pemerintah cenderung lamban dalam mengeksekusi putusan MK dan bahkan cenderung “mundur setengah langkah”. Keenam, pendirian lembaga khusus pembinaan ideologi Pancasila dalam bentuk Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila yang belakangan ditingkatkan statusnya menjadi badan permanen setingkat kementerian. Secara jujur harus diakui bahwa pembentukan lembaga tersebut merupakan jawaban pemerintah atas kekhawatiran banyak pihak mengenai semakin menguatnya identitas keagamaan yang disertai dengan resistensi atas yang berbeda (the others/liyan), penguatan sentiment-sentimen primordial atau isu SARA, khususnya agama, di ruang-ruang publik-politik.
  12. Dilihat dari tingkat pelanggaran terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan yang selama ini selalu dijadikan “sasaran empuk pelanggaran”, seperti Umat Kristen, Jemaah Ahmadiyah, dan Syi’ah, tahun ini pelanggaran yang menimpa mereka menurun tajam. Pada tahun 2016, Jemaah Ahmadiyah menjadi korban dalam 27 peristiwa, tahun 2017 dalam catatan SETARA Institute “hanya” 8 peristiwa. Syi’ah pada tahun 2016 menjadi korban pelanggaran dalam 23 peristiwa, tahun 2017 hanya 10. Umat Kristen yang sebelumnya menjadi korban dalam 20 peristiwa, berkurang intensitasnya menjadi 15 peristiwa, dan aliran keagamaan yang sebelumnya menjadi objek pelanggaran dalam 19 peristiwa, tahun 2017 menurun sangat signifikan menjadi 5 peristiwa. Dengan potret itu, tren pelanggaran terhadap kelompok korban bergeser ke warga dan individu. Keberadaan warga dan individu sebagai kelompok korban terbesar beriringan dengan maraknya politisasi agama, penggunaan sentimen-sentimen keagamaan—termasuk untuk tindakan-tindakan yang sering dihakimi sebagai penistaan agama dan penistaan ulama—yang berujung pada maraknya tindakan persekusi, intimidasi, serta pelaporan penodaan agama dan ujaran kebencian.
  13. Dalam hal angka gangguan terhadap rumah ibadah, kemajuan signifikan sebenarnya sudah bisa dilihat pada tahun 2016, dimana saat itu angka gangguan hanya 15 gangguan. Tahun 2017 cukup stabil di angka 17. Bandingkan dengan periode riset sebelumnya yang selalu di atas 20. Tahun 2015, gangguan terhadap rumah ibadah terjadi sebanyak 30 kali dan tahun sebelumnya 26. Bahkan, angka tahun 2013 mencapai 65 gangguan terhadap rumah ibadah. Gambaran menurunnya gangguan terhadap rumah ibadah berbanding lurus dengan penyelesaian beberapa persoalan administratif pendirian rumah ibadah, seperti yang terjadi di Jambi dimana masalah IMB yang selalu mengalami hambatan selama dua dekade akhirnya selesai pada tahun 2017.
  14. Dari sisi tindakan aktor negara, pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara pada tahun 2017 jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2016, tindakan pelanggaran oleh aktor negara mencapai 140, berbanding dengan 130 tindakan oleh aktor non negara. Pada tahun 2017, angka tindakan negara “hanya” 75 tindakan, sedangkan tindakan non negara “stabil” di angka 126. Data tersebut memberikan harapan besar bahwa negara memang semestinya menjalankan peran dan fungsinya sebagai duty bearer dalam penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan (promosi) hak asasi manusia, dan bukan malah ikut menjadi aktor dominan pelanggaran.
  15. Namun demikian, berdasarkan data kondisi KBB tahun 2017, pemerintah daerah masih tercatat sebagai aktor negara yang menempati peringkat teratas pelaku pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Data tersebut melanjutkan tren tahun 2016 dan beberapa tahun sebelumnya bahwa pemerintah lokal merupakan salah satu kontributor terbesar pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Untuk itu, pemerintah pusat harus memberikan perhatian khusus bagi regulasi-regulasi di tingkat pusat yang memberikan peluang atau bahkan memicu pemerintah daerah untuk melakukan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, utamanya dalam bentuk kebijakan diskriminatif. Peraturan di tingkat pusat, khususnya pada level kementerian, yang menjadi titik picu bagi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan harus segera direvisi atau bahkan dibatalkan sama sekali. Pertama, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 09 dan No. 08 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, yang biasa kita sebut PBM Dua Menteri. Data riset SETARA Institute dalam 11 tahun terakhir menjelaskan, hampir seluruh gangguan terhadap tempat ibadah yang mencapai 378 kasus gangguan berakar pada regulasi ministerial tersebut. Secara substantif, PBM tidak memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada kelompok minoritas dalam relasi intra maupun antar agama. Dalam konteks itu, alih-alih dioptimalisasi sebagai instrumen kerukunan dan keadilan bagi seluruh umat beragama, PBM acapkali diinstrumentasi sebagai saringan legal untuk mempersulit pendirian rumah ibadah kelompok minoritas. Kedua, Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Yang sering disebut sebagai SKB Tiga Menteri. SKB ini memicu secara langsung terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap Jemaah Ahmadiyah dan memancing pembentukan kebijakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah di daerah. Selain itu, SKB tersebut mengundang kelompok-kelompok intoleran untuk “membantu negara” menertibkan Ahmadiyah dengan cara-cara kekerasan.
  16. Di atas kedua regulasi ministerial tersebut, pemerintah juga harus menunjukkan keseriusan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, sebagaimana diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dari sisi konten UU ini mengandung kelemahan akut. Pasal 1, misalnya, menegaskan bahwa: “Setiap orang dilarang di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Ketentuan itu memberikan ruang sangat elastis bagi siapapun, termasuk pemerintah dan peradilan, untuk mendiskriminasi pemeluk agama dengan tafsir yang secara subjektif dinilai “tidak sejalan” dengan tafsir mayoritas. Hal ini menyebabkan fenomena eksklusi kelompok-kelompok minoritas, yang jelas-jelas tidak selalu atau hampir dipastikan tidak sejalan dengan mayoritas. Dengan konstruksi logis demikian, akan selalu terbuka potensi kekerasan demi kekerasan kepada minoritas yang tidak sejalan dengan tafsir dan keyakinan mayoritas tersebut. Di samping itu, dengan UU tersebut negara mengintervensi terlalu jauh ke dalam ruang privat terdalam (forum internum) individu warga negara, bahkan hingga ke ruang tafsir di kepala dan hati mereka. Negara telah melakukan kekerasan legal yang serius dengan pilihan untuk menjadi “polisi moral” tersebut. Dengan ketentuan demikian, negara tidak mungkin menjamin kepastian hukum bagi seluruh warga negara dengan membentuk dan menerapkan undang-undang yang mengatur objek dan substansi yang abstrak, kabur, dan absurd. Dengan absurditas tersebut maka akan muncul kemungkinan-kemungkinan Negara mendasarkan diri pada aturan-aturan yang melegitimasi status sebagai “polisi moral” tersebut, dan fatwa MUI lah yang biasanya menjadi landasan bertindak. Secara faktual, UU ini telah memicu terjadinya “banjir kasus” penodaan agama. Sepanjang tahun 2017 terjadi 12 kasus penodaan agama. Dalam catatan SETARA Institute terdapat 109 kasus penodaan agama sejak pengadopsian ketentuan hukum penodaan agama melalui Penetapan Presiden (PNPS) pada tahun 1965.
  17. Selain itu, patut juga dilihat mulai muncul inisiatif dan gerakan masyarakat sipil toleran yang selama ini sering dianggap sebagai silent majority untuk mengambil prakarsa dan peran untuk melawan intoleransi, diskriminasi, dan paham-paham yang mengarah destruksi nilai-nilai hidup damai bersama dalam perbedaan (peaceful co-existence) dan ideologi ekstrimisme dengan kekerasan (violent extremism). Tindakan-tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ormas keagamaan dalam bentuk pembubaran pengajian dan penolakan ceramah keagamaan dari para tokoh agama yang diduga penganjur anti demokrasi dan anti Pancasila, tetap harus kita sebut sebagai cacatan negative pelanggaran di satu sisi. Namun di sisi lain, hal itu juga perlu diapresiasi sebagai indikasi dari kebangkitan kelompok-kelompok toleran, moderat, serta pro demokrasi, kebhinnekaan, dan negara Pancasila. Dalam konteks itu, maka yang sesungguhnya diperlukan adalah kehadiran negara dan aparatusnya untuk menjadi penjamin dan promotor bagi terwujudnya toleransi dan tertib hukum.
  18. Namun demikian, “kemajuan kecil” di atas berhadap dengan konteks tahun politik elektoral pada tahun 2018 dan 2019 yang berpotensi untuk (1) semakin menguatkan fenomena politisasi agama dan pembelahan sosial menggunakan sentimen-sentimen keagamaan untuk kepentingan perebutan kekuasaan dalam Pilkada, Pemilu, dan Pilpres, (2) mengurangi fokus dan mengalihkan energi pemerintah dari agenda-agenda promosi toleransi dan pemajuan jaminan hak-hak konstitusional warga atas kebebasan beragama/berkeyakinan.
  19. Selain itu, catatan-catatan kemajuan dan perkembangan positif tersebut tidak dapat menutupi fakta bahwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, intoleransi, dan bahkan penguatan ideologi serta pemahaman yang mengarah pada ekstrimisme dengan kekerasan dan terorisme merupakan masalah serius yang harus terus diatasi serta menuntut kehendak politik dan tindakan konkrit pemerintah untuk memimpin promosi toleransi dan pemenuhan jaminan hak konstitusional warga untuk beribadah/berkeyakinan secara bebas.

REKOMENDASI

  1. Berdasarkan analisis dan simpulan-simpulan di atas, SETARA Institute untuk ke sekian kalinya mengingatkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang delapan (8) komitmen dan harapan dalam konteks hak asasi manusia dan kebebasan beragama/berkeyakinan dari narasi besar “Sembilan Cita Politik” (Nawa Cita) Jokowi-JK. Delapan komitmen tersebut adalah sebagai berikut: (1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara [Nawa Cita 1]. (2) Menjamin rasa aman warga negara dengan membangun Kepolisian Republik Indonesia yang profesional [Nawa Cita 1 poin keenam]. (3) Membangun legislasi yang kuat dalam penegakan HAM [Nawa Cita 4 poin kesatu]. (4) Menjamin kepastian hukum [Nawa Cita 4 poin ketujuh]. (5) Melindungi kelompok marjinal [Nawa Cita 4 poin kedelapan]. (6) Menghormati HAM [Nawa Cita 4 poin kesembilan]. (7) Membangun pendidikan kewarganegaraan [Nawa Cita 8 poin satu], memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia [Nawa Cita 9], dan memperkuat pendidikan kebhinnekaan [Nawa Cita 9 poin satu]. (8) Menciptakan ruang-ruang dialog antar warga [Nawa Cita 9 poin kesatu) dan restorasi sosial untuk mengembalikan ruh kerukunan antar warga [Nawa Cita 9 poin kedua].
  2. Pemerintahan Jokowi-JK harus mengambil tindakan konkrit yang strategis dalam memimpin promosi toleransi dan jaminan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan melalui agenda-agenda terobosan, untuk: (1) meruntuhkan supremasi intolerani dan merespons konsolidasi kelompokkelompok intoleran dan vigilante dengan menegakkan supremasi hukum dan konstitusi, (2) mencegah berulangnya tindakan-tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan dan pelanggaran terhadap hakhak minoritas keagamaan, (3) mencegah berulangnya stagnasi dalam kehidupan beragama/berkeyakinan di Indonesia dalam dua periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, dan (4) menegaskan sikap zero tolerance terhadap segala tindakan yang bertentangan dengan kebhinekaan dan merongrong Pancasila dan Konstitusi RI.
  3. Tahun politik sudah datang dimana Presiden dan elit di sekelilingnya, sebagaimana politisi-politisi lainnya, pasti disibukkan oleh politik elektoral tahun 2018 dan 2019. Namun demikian, sangat disayangkan jika momentum kemajuan yang menumbuhkan harapan di tengah-tengah keprihatinan menguatnya politisasi agama dan instrumentasi sentiment-sentimen primordial keagamaan dilewatkan begitu saja hanya untuk kepentingan politik elektoral.
  4. Dengan mempertimbangkan ulasan-ulasan, temuan-temuan, insight, dan simpulan-simpulan di muka, SETARA Institute mengajukan proposal rekomendasi sebagai berikut. Pertama, pemerintah harus merancang, mengagendakan dan melakukan optimalisasi institusi pendidikan untuk membangun pendidikan yang bhinneka, terbuka dan toleran, serta berorientasi pada penguatan bangsa dan negara berbasis Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, pemerintah harus memposisikan aparatnya, khusus kepolisian dan pemerintah lokal (dari provinsi hingga desa/kelurahan) sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, perlindungan seluruh warga, dan pembelaan dasar dan konstitusi negara. Ketiga, negara harus menjamin penegakan hukum yang tegas dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Keempat, mengoptimalisasi fungsi edukasi, sosialisasi, dan literasi mengenai toleransi dan kerukunan serta pencegahan diskriminasi dan intoleransi melalui optimalisasi televisi, media sosial, dan media daring sebagai arena dan ruang diskursus. Kelima, memperkuat dan mengintensifkan inisiatif dan pelaksanaan dialog yang setara antar kelompok agama/keyakinan.
  5. Dalam konteks tata kelola internal pemerintahan untuk menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan serta menjamin hak-hak minoritas keagamaan serta hak asasi manusia pada umumnya, Jokowi-JK hendaknya: 1) Menginstruksikan Kapolri untuk membentuk standard operating procedure (SOP) penanganan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta membangun kapasitas dan perspektif HAM anggota Polri dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dengan perspektif HAM yang memadai, kepolisian hendaknya tidak gegabah ‘mengamini’ pelaporan penistaan agama atau penistaan tokoh agama sebagai bentuk fight back kelompok-kelompok intoleran dan vigilante. Dengan kapasitas HAM yang lebih baik, kepolisian mestinya juga tidak membiarkan tindakan-tindakan polisional, apalagi persekusi dan intimidasi yang dilakukan secara simultan dan berpola oleh kelompok-kelompok warga manapun. 2) Mendesak jajaran pemerintahannya untuk menegakkan hukum melalui tindakan menuntut aktor-aktor pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dan hak-hak minoritas keagamaan dan memulihkan secara fisik, sosial politik, dan material terhadap korban beserta hak-hak mereka. 3) Sekali lagi, mengevaluasi kinerja Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dalam agenda pemulangan kelompok-kelompok minoritas agama, khususnya Syiah dan Ahmadiyah, yang menjadi korban pengusiran karena keyakinan mereka, kemudian memerintahkan mereka untuk mengambil langkah progresif yang lebih strategis. 4) Melakukan evaluasi komprehensif atas implementasi janjijanji politik Presiden-Wakil presiden yang tertuang dalam Nawa Cita, menjelang berakhirnya periode pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini, khususnya dalam isu Hak Asasi Manusia.
  6. Sebagai penutup, SETARA Institute mendorong Pemerintah untuk lebih serius memberikan jaminan paripurna bagi kebebasan beragama/berkeyakinan serta menghapus diskriminasi dan intoleransi sebagai legacy pemerintahan ini. Beberapa agenda mendasar yang perlu diingatkan oleh SETARA Institute untuk segera dilakukan dan dituntaskan oleh pemerintahan Jokowi-JK, antara lain sebagai berikut. Pertama, restorasi ide konstitusi tentang kebebasan beragama, melalui perubahan, perbaikan, atau bahkan pembatalan peraturan perundang-undangan yang memunggungi ketentuan konstitusi, yaitu; 1) Mengganti Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan UU baru yang menghormati KBB sebagai mandat konstitusi. 2) Meninjau ulang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah (Peraturan Bersama Dua Menteri), khususnya yang berkenaan dengan pendirian rumah ibadah. 3) Membatalkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (biasa disebut SKB Tiga Menteri). Peraturan ini telah memicu berbagai tindakan dan kebijakan intoleran terhadap kelompok minoritas Jemaat Ahmadiyah di banyak daerah, bahkan melalui tindakan anarkis yang mematikan seperti yang terjadi di Cikeusik. 4) Me-review beberapa regulasi di tingkat pemerintahan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dalam aneka bentuk, seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Walikota (Perwal), Peraturan Bupati (Perbup), dan sebagainya, yang diturunkan dari ketentuan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah, dan/atau berdasarkan penerapan ajaran agama tertentu yang bertentangan dengan konstitusi. Kedua, menyelesaikan kompleksitas persoalan pendirian rumah ibadah yang nyata-nyata restriktif terhadap “kemerdekaan untuk beribadah menurut agama dan keparcayaan” sebagai sepaket hak dengan “kemerdekaan untuk memeluk agama”, sebagaimana Pasal 9 Ayat (2) UUD 1945. Ketiga, menghentikan kriminalisasi terhadap keyakinan dan segera membebaskan para “tahanan nurani” (prisoners of conscience) yang dipenjara karena pandangan dan keyakinannya yang berbeda dengan pandangan dan keyakinan mayoritas. Keempat, menghadirkan negara—melalui penegakan hukum untuk meminta pertanggungjawaban legal dan memulihkan hak-hak korban pelanggaran KBB.
  7. SETARA Institute merekomendasikan agar beberapa persoalan kebebasan beragama/berkeyakinan aktual berikut harus segera diatasi dan harus menjadi target kerja utama pemerintah di ujung pemerintahannya, yaitu sebagai berikut.
    • Jemaat Ahmadiyah sudah 10 tahun hidup dalam kesulitan serius di pengungsian Transito. Maka pemerintah harus segera mengembalikan jemaat Ahmadiyah ke tempat asal dan memberikan perlindungan keamanan dan percepatan peningkatan kesejahteraan.
    • Jemaat Ahmadiyah, eks-anggota Gafatar dan kelompok minoritas aliran kepercayaan lokal mengalami persoalan dalam layanan administrasi kependudukan karena agama/keyakinan mereka, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah, Kartu Keluarga, dan sebagainya. Maka pemerintah hendaknya memberikan layanan setara bagi seluruh minoritas keagamaan tersebut, sebab tidak terlayaninya adminduk, seperti KTP, bagi mereka akan berdampak pada inaksesibilitas hak-hak konstitusional mereka di berbagai bidang, baik sipil politik maupun ekonomi, sosial, dan budaya.
    • Pengikut Syiah masih diungsikan di pengungsian Sidoarjo. Maka Pemerintah harus mengembalikan pengikut Syiah ke Sampang, menginisiasi resolusi permanen, dan memberikan perlindungan keamanan dan percepatan penigkatan kesejahteraan.
    • Terdapat 2 putusan pengadilan terkait pendirian tempat ibadah yang tidak dijalankan secara paripurna oleh pemerintah daerah (HKBP Filadefia Bekasi dan GKI Yasmin Bogor). Maka Pemerintah Pusat harus memerintahkan Kepala Daerah untuk menjalankan putusan dan menjamin pendirian tempat ibadah HKBP Filadefia dan GKI Yasmin hingga hak konstitusional jemaat dua gereja tersebut terjamin secara penuh.
    • Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 adalah conditionally constitutional dan secara implisit memerintahkan Kementerian terkait membentuk UU baru, artinya pemerintah harus segera menyusun RUU baru yang supportif terhadap jaminan perlindungan beragama/berkeyakinan dari tindakan diskriminasi dan intoleransi. Dengan demikian, revisi RUU PUB mutlak dibutuhkan agar lebih kondusif dan suportif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional untuk beragama/berkeyakinan dan beribadah menurut agama/keyakinan masing-masing, terutama bagi minoritas keagamaan yang secara terus menerus menjadi objek pelanggaran.
    • Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah (PBM) dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB) restriktif dan memancing pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, baik tindakan langsung atau kebijakan. Maka pemerintah harus membentuk Tim Pengkaji dan Harmonisasi Peraturan Teknis di tingkat kementerian dengan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan melibatkan ahli hak asasi manusia.
    • Beberapa peraturan di tingkat daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan restriktif bagi perlindungan kebebasan beragama/berkeyakinan, maka Pemerintah pusat harus membentuk gugus tugas evaluasi dan harmonisasi peraturan daerah, di bawah kementerian dengan melibatkan kementerian hukum dan HAM.
    • Beberapa narapidana hati nurani (prisoners of conscience) masih mendekam di penjara karena menjadi objek kriminalisasi keyakinan, maka pemerintah harus membentuk Tim Kajian untuk memberikan amnesti atau grasi kepada korban kriminalisasi keyakinan.
    • Aktor-aktor intoleran dalam bentuk Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) secara berpola melakukan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional minoritas keagamaan, maka Mendagri harus membentuk Tim Evaluasi atas Ormas-Ormas yang secara berpola melakukan aktivitas dan tindakan yang melawan hukum, untuk kemudian ditindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    • Radikalisasi keagamaan belakangan ini sangat mengkhawatirkan dan mengancam kerukunan antar umat beragama dan inklusi sosial, maka pemerintah harus mendisain pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan kebhinnekaan yang lebih programatik, sistematis, dan efektif. Unit Kerja PresidenPembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang segera akan ditingkatkan status kelembagaannya menjadi badan setingkat menteri bisa menjadi pintu masuk untuk itu.

Narahubung:

Bonar Tigor Naipospos, (Wakil Ketua SETARA Institute): 0811 819 174
Halili, (Peneliti SETARA Institute):0852 9983 2012

Silahkan unduh narasi ringkasan eksekutif di sini

[1] Jumlah peristiwa dengan jumlah tindakan berbeda, karena dalam satu peristiwa (event) bisa saja terjadi berbagai bentuk tindakan (act). Disiplin hak asasi manusia membedakan antara peristiwa dan tindakan. Jumlah peristiwa dengan jumlah tindakan berbeda, karena dalam satu peristiwa (event) bisa saja terjadi berbagai bentuk tindakan (act). Disiplin hak asasi manusia membedakan antara peristiwa dan tindakan.

[2] Empat kategori minoritas yang dimaksud dan digunakan oleh SETARA Institute adalah; 1) Minoritas keagamaan arus utama (mainstream), 2) Minoritas dalam tubuh agama tertentu, 3) Minoritas kepercayaan asli Nusantara, 4) Gerakan keagamaan baru (new religious movement)

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*