KRIMINALISASI PETANI DAN KONFLIK LAHAN TERUS TERJADI: NEGARA ABAI PADA PEMATUHAN HAM
Foto: riaunews.com

KRIMINALISASI PETANI DAN KONFLIK LAHAN TERUS TERJADI: NEGARA ABAI PADA PEMATUHAN HAM

Siaran Pers, SETARA Institute
Jakarta, 19 Mei 2022

40 petani anggota Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pencurian TBS (Tandan Buah Segar) di areal divisi 7 lahan yang tengah disengketakan dengan perusahaan PT. Daria Darma Pratama (DDP), Kamis (12/05/2022).

Tindakan represif aparat Kepolisian Muko-muko menambah daftar panjang aksi kekerasan dalam menghadapi persoalan konflik agraria yang seringkali menyasar masyarakat komunal. Kasus yang telah berlangsung sejak lama dengan dalih pengelolaan lahan HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan yang terlantar oleh masyarakat, selalu menjadi pemicu meletusnya konflik agraria yang sewaktu-waktu atas dasar klaim izin yang dimiliki, perusahaan bisa serta merta mengusir masyarakat dari lahan garapannya.

Tidak berselang lama, masalah klaim atas tanah kembali menyeruak sejak perintah eksekusi tahun 2017 dapat digagalkan. Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan menyampaikan penolakan menjelang eksekusi perintah Pengadilan Negeri (PN) Kuningan, Jawa Barat, dengan Surat No W.11.U16/825/HK.02/4/2022, perihal pelaksanaan pencocokan atau constatering dan sita eksekusi tanah adat Mayasih pada Rabu (18/05/2022). Cara pandang peradilan melihat kasus ini sebagai “sengketa waris-orang perorang”, bukan dalam kerangka kepentingan tanah adat milik komunal.

Klaim dan tumpang tindih status tanah acapkali dijadikan dasar untuk mengokupansi tanah milik masyarakat dengan dalih ketiadaan sertifikat tanah, HGU/Konsesi, izin lokasi, dan sebagainya. Belum efektifnya instrumen hukum dan kelembagaan, serta alfanya produk-produk hukum yang di mandatkan untuk percepatan penyelesaian konflik agraria membuat mandegnya penyelesaian kasus konflik agraria, bahkan dari tahun ke tahun angkanya tidak menunjukkan penurunan, malah relatif stagnan kalau tidak meningkat.

Atas dasar ini, SETARA Institute menyampaikan pandangan berupa :

Pertama, tindakan represif terhadap kelompok petani yang melibatkan aparat kepolisian, pola kriminalisasi dan upaya hukum untuk melemahkan perjuangan petani menjadi preseden buruk yang selalu dimanfaatkan korporasi ataupun negara, dengan pola yang terus berulang. Hal ini menunjukkan Negara abai pada pematuhan HAM.

Pembebasan dari jerat hukum terhadap 40 petani yang ditetapkan tersangka tidak dapat ditawar lagi. Fungsi pengayoman oleh aparat penegak hukum seharusnya menempatkan posisi mereka berada di pihak masyarakat yang dirugikan. Karenanya, segala bentuk represifitas oleh penegak hukum harus dihentikan segera.

Kedua, aspek regulasi penting menjadi sorotan, karena menjadi celah yang melemahkan. Percepatan pengesahan RUU (Rancangan Undang-Undang) Masyarakat Adat mesti menjadi prioritas pemerintah. Mandegnya pembahasan di parlemen memperlihatkan arah dan visi kebijakan legislasi nasional belum menyentuh aspek paling mendasar yang menyangkut hidup masyarakat sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.

Sementara, inisiatif hukum eksisting dan lembaga/komisi bentukan pemerintah dalam percepatan penyelesaian konflik agraria, seperti halnya perhutanan sosial, hutan adat, Perda Masyarakat Hukum Adat, reforma agraria, KSP, Satgas Anti Mafia Tanah Bareskrim Polri, masih menyisakan ruang kosong yang belum memberi hasil dalam percepatan penuntasan masalah agraria.

Ketiga, konflik agraria yang acapkali bersinggungan dengan perusahaan akan sangat kontradiktif dengan agenda internasional tentang pengarustamaan pematuhan HAM dalam aktivitas bisnis (UNGPs). Rezim UNGPs menjadi panduan bagi perusahaan dalam menghormati prinsip-prinsip HAM. Pun Negara dan mekanisme remediasi tidak strategis menempatkan penghormatan HAM dalam operasionalisasi bisnis.

Masih banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan korporasi berdasarkan data Komnas HAM layak menjadi titik balik untuk membangun kesadaran (awareness) dalam menterjemahkan prinsip-prinsip UNGPs dalam regulasi nasional, setidaknya dalam mengurangi tipologi aduan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi.

Narahubung:

Nabhan Aiqani, Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute, 0813 6772 1163
Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute/Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, 0812 1393 1116

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*