Siaran Pers SETARA Institute,
24 April 2022
Kelangkaan dan kenaikan harga bahan pokok minyak goreng yang terjadi selama beberapa bulan ini menunjukkan lemahnya komitmen dan akuntabilitas pemerintah terhadap mitigasi hak atas pangan sebagai kovenan dasar HAM, dalam kerangka mewujudkan keamanan pangan dan kedaulatan pangan (food sovereignty). Dalih bahwa dinamika politik global, serta transisi pada biodiesel turut memengaruhi inflasi dan pasokan CPO, tidak lantas menihilkan tanggung jawab negara.
Penetapan 4 orang tersangka kasus persetujuan ekspor minyak sawit mentah (CPO/Crude Palm Oil) yang melibatkan pejabat di Kementerian Perdagangan dan 3 perusahaan sawit besar (19/04) sebagai langkah hukum pemberantasan mafia minyak goreng, menunjukkan adanya persoalan tata kelola kebijakan yang berpotensi menjadi celah yang dimanfaatkan para mafia komoditas bahan pokok.
Terhadap persoalan ini, SETARA Institute menyampaikan pandangan sebagai berikut:
Pertama, langkah Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus mafia minyak goreng patut di apresiasi. Nama-nama perusahaan dan pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka merupakan aktor penting dan strategis dalam sektor sawit di Indonesia. Hanya saja, lebih lanjut, respon pemerintah yang terkesan lamban dan membiarkan persoalan berlarut-larut tanpa solusi kebijakan, memicu ragam kritik dan tuntutan publik. Permendag No. 08/2022 tentang DMO (Domestic Market Obligation) sebesar 20 persen dari produksi dan penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) tidak serta merta memenuhi pasokan CPO Nasional dan mendeflasi harga.
Landasan konstitusional hak atas pangan yang diatur dalam kovenan dasar Ekosob serta di ratifikasi dalam UU 11/2005 jo UU Pangan 18/2012, sejalan dengan pasal 28H UUD 1945 seolah di abaikan negara. Pada taraf ini, kewajiban negara untuk memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) HAM, tanpa bermaksud mengatakan gagal, hampir saja tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Di samping itu, kompleksitas respon publik semakin menguat ketika gaya komunikasi pejabat negara di tengah situasi tidak menentu, justru menyampaikan narasi-narasi yang tidak simpatik pada publik.
Kedua, berbagai preseden buruk praktek mafia komoditas bahan pokok yang memanfaatkan celah birokrasi dan rekomendasi persetujuan ekspor maupun kuota impor seringkali luput dari perhatian pemerintah. Kasus korupsi daging sapi dan ekspor bawang putih yang memakai pola sama dengan melibatkan Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Pertanian, tidak menjadi pelajaran dan langkah antisipatif untuk membangun sistem dan mekanisme menghambat tuntas praktek mafia berkenaan dengan barang kebutuhan pokok yang amat merugikan masyarakat.
Pasca penetapan tersangka mafia minyak goreng, bukan berarti persoalan selesai dan kebutuhan minyak sawit sawit dapat segera terpenuhi, namun pemerintah (state duty to protect human rights) harus mengambil prakarsa pembenahan sistematis tata kelola kebijakan menutup segala peluang yang dimanfaatkan untuk mengeruk untung di tengah penderitaan rakyat.
Ketiga, fakta bahwa Indonesia merupakan negara produsen CPO terbesar di dunia, tidak mampu menutupi buruknya sistem tata kelola perkebunan kelapa sawit yang masih menyisakan kompleksitas persoalan di semua lini. Tata kelola kawasan yang tumpang tindih, data luasan perkebunan sawit yang berbeda-beda, massifnya kebun sawit di kawasan hutan, serta praktek korupsi di sektor sawit, dsb., menjadi tugas besar agar kemandirian komoditas ekspor penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia, dapat dikelola secara berdaulat dan berkelanjutan (sustainable palm oil) dengan mengedepankan aspek sosial dan lingkungan.
Narahubung:
Nabhan Aiqani, Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute, 0813 6772 1163
Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute/Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, 0812 1393 1116