Siaran Pers SETARA Institute,
Jakarta, 16 Juli 2024
SETARA Institute telah menerbitkan laporan studi berjudul “Inovasi Normatif Pemajuan Bisnis dan HAM di Indonesia (2024)”. Dalam studi tersebut, temuan pada sektor negara menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen penerapan prinsip BHAM dengan ratifikasi dan adopsi serangkaian instrumen HAM internasional, yang dilanjutkan dengan perluasan untuk mengembangkan rencana implementasi dan koherensi kebijakan. Dalam konteks koherensi kebijakan (policy coherence), Pemerintah Indonesia telah menunjukkan progresivitas dalam komitmen kebijakan penerapan prinsip bisnis dan HAM melalui penetapan Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM (Stranas BHAM).
Progresivitas pemerintah dalam menunjukkan komitmen negara untuk menerapkan pematuhan atas prinsip bisnis dan HAM, secara kontekstual mesti diselaraskan dengan implementasi yang tepat dan efektif, sebab masih banyak ditemukan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan akibat dari operasionalisasi bisnis. Paralel dengan temuan dari Human Rights Report tahun 2023 yang dirilis oleh US Department of State bahwa masih banyak ditemukan dampak buruk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh entitas bisnis, mulai dari pelanggaran kebebasan berserikat dan hak untuk melakukan perundingan bersama, masih adanya praktik kerja paksa dan pekerja anak, ditemukannya praktik diskriminasi terkait pekerjaan dan jabatan, serta tidak terpenuhinya kondisi kerja yang layak.
SETARA Institute memandang bahwa pendekatan multi stakeholders initiatives merupakan langkah yang tepat untuk mengelaborasi berbagai persoalan yang muncul di berbagai sektor bisnis. Sebagai upaya untuk membangun ruang dialog yang mempertemukan negara dan serikat pekerja, SETARA Institute sebagai anggota mitra Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM mengadakan Workshop Pemetaan Sektoral Isu Bisnis dan HAM, pada senin, 15 Juli 2024. Pada workshop ini, hadir perwakilan serikat buruh dan pekerja dari sektor pertambangan, perkebunan kelapa sawit, perikanan, farmasi dan kesehatan, buruh migran, termasuk media dan pemuda.
SETARA Institute menyoroti terdapat tiga sektor dengan dampak HAM paling buruk, meliputi Pertambangan, Perkebunan Kelapa Sawit, dan Konstruksi (pembangunan infrastruktur). Pada sektor pertambangan, ditemukan fakta bahwa industri pertambangan menimbulkan dampak bagi nelayan dan masyarakat setempat dengan terjadinya polusi lingkungan dan perairan, dampak buruk bagi kesehatan penduduk dan berkurangnya mata pencaharian. Sementara, sektor kelapa sawit dihadapkan pada permasalahan kondisi kesejahteraan sebagian besar petani dan pekerja kelapa sawit, tingginya kesenjangan penguasaan lahan antara petani sawit dan korporasi, dan angka konflik agraria yang tinggi yang berdampak pada pengusiran, praktik kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat. Pada sektor konstruksi (pembangunan infrastruktur) dihadapkan pada minimnya aspek uji tuntas HAM untuk mengelola risiko terhadap orang yang terlibat dan terdampak dari proyek mega-infrastruktur.
Dalam workshop ini, terdapat 3 poin yang disampaikan oleh serikat buruh dan pekerja tentang upaya perlindungan dan pemenuhan hak pekerja dalam konteks bisnis dan HAM. Pertama, perlu adanya representasi dari serikat buruh dan pekerja dalam mitra GTN non-pemerintah, sebab buruh dan pekerja merupakan kelompok yang paling potensial terdampak. Kedua, serikat buruh dan pekerja memandang bahwa agenda capacity building, sosialisasi, dan raising awareness perihal Perpres Stranas BHAM belum massif tersampaikan. Ketiga, dengan adanya komitmen pemerintah untuk penerapan prinsip bisnis dan HAM, dipandang merupakan langkah maju untuk memperluas upaya pemulihan HAM bagi buruh korban pelanggaran HAM, sebab selama ini upaya penyelesaian di level perusahaan seringkali tidak terbuka dan selalu diarahkan untuk menempuh jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Sejalan dengan pandangan serikat buruh dan pekerja, dalam riset SETARA Institute tentang Capaian Kinerja dan Status Terkini Pemajuan Bisnis dan HAM (2023), menemukan bahwa salah satu rekomendasi kepada negara adalah pentingnya memperkuat secara gradual peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan agenda aksi BHAM pada sektor-sektor bisnis dengan dampak HAM paling krusial.
Kemenkumham merespon pandangan Serikat Pekerja dengan sangat akomodatif. Kemenkumham berkomitmen untuk kolaborasi bersama dan terbuka dengan serikat pekerja. Dalam hal ini juga didukung dengan pilar- pilar di dalam aplikasi Penilaian Risiko Bisnis dan HAM (PRISMA). Aplikasi ini dirancang untuk membantu perusahaan dari berbagai sektor bisnis melakukan penilaian diri (self assessment). Tujuan utamanya adalah memetakan kondisi nyata potensi risiko pelanggaran HAM yang mungkin timbul dari kegiatan bisnis mereka. Selain itu, penggunaan aplikasi PRISMA juga dapat menjadi media pembelajaran mengenai bisnis dan HAM agar keduanya dapat berjalan beriringan di Indonesia. Kajian dari SETARA Institute dan Workshop Bisnis dan HAM yang difasilitasi SETARA Institute menjadi landasan dokumen bagi Kemenkumham bahwa pentingnya Indonesia memiliki strategi kebijakan dalam implementasi prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
Narahubung:
Nabhan Aiqani, Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute, 0813 6772 1163
Pebria Prakarsa Renta, Peneliti Bisnis dan HAM SETARA institute, 0896 7803 5151