HUT TNI: CATATAN EVALUATIF KINERJA REFORMASI TNI
Ilustrasi TNI. (Foto: kompas.com)

HUT TNI: CATATAN EVALUATIF KINERJA REFORMASI TNI

Siaran Pers SETARA Institute, 05/10/2022
HUT TNI ke-77: Catatan Evaluatif Kinerja Reformasi TNI

Agenda reformasi TNI di bawah kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa pada dasarnya telah memuat sejumlah terobosan kebijakan dalam upaya membawa institusi TNI ke arah yang lebih baik, terutama dalam hal memberikan kesempatan yang sama bagi setiap pemuda/pemudi Indonesia untuk menjadi bagian dari TNI.

Terobosan tersebut di antaranya: (1) Penghapusan tes keperawanan dalam mekanisme penerimaan calon prajurit wanita baru; (2) Menghapus dan/atau mencabut ketentuan yang melarang keturunan salah satu kelompok dan/atau golongan dalam syarat penerimaan calon prajurit baru; (3) Mengubah persyaratan tinggi badan dan usia calon taruna dan taruni TNI ke-3 matra agar lebih akomodatif dan sesuai dengan postur orang Indonesia yang akan menjadi calon taruna dan taruni; dan (4) Melakukan efektivitas dengan menghapus sejumlah tes seleksi penerimaan prajurit baru, yakni tes renang dan tes akademik. Untuk tes akademik, ketimbang melakukan tes baru, nilai-nilai di ijazah maupun transkrip pendidikan sebelumnya yang digunakan untuk syarat seleksi.

Selain itu, respons tegas Panglima TNI dalam pelbagai kasus yang melibatkan prajurit TNI pada dasarnya juga perlu mendapat atensi sebagai upaya perbaikan TNI secara struktural dan kultural. Akan tetapi, beberapa terobosan kebijakan tersebut belum sepenuhnya menunjukkan perubahan signifikan terhadap agenda reformasi TNI. Persoalan-persoalan yang juga mencerminkan stagnasi reformasi TNI juga terjadi pada saat yang sama. Tepat di HUT TNI, 5 Oktober 2022, SETARA Institute memberikan catatan valuative atas kinerja reformasi TNI sebagai berikut.

  1. Penghormatan terhadap HAM dan Supremasi Sipil masih menjadi salah satu isu yang menyebabkan stagnasi dalam reformasi TNI. Menjelang HUT TNI ke-77 ini, terjadi beberapa kasus, di antaranya (1) mutilasi 4 warga di distrik Mimika Baru, Kab. Mimika, yang melibatkan oknum anggota TNI pada Agustus 2022; (2) penganiayaan yang menimbulkan korban jiwa terhadap warga di Kelurahan Bade, Kab Mappi, Papua, yang diduga melibatkan sejumlah oknum anggota TNI; dan (3) Penganiayaan yang menyebabkan seorang warga meninggal dunia di Salatiga, Jawa Tengah, yang diduga kuat melibatkan sejumlah oknum anggota Kostrad pada September 2022.Secara kuantitas, sejumlah kasus yang disebutkan sebelumnya tentu tidak dapat mewakili pelbagai tindak kekerasan yang dilakukan oknum prajurit TNI. Namun, secara umum, kasus tersebut memberi gambaran kepada masyarakat bahwa kasus kekerasan oleh aparat itu masih terjadi hingga kini.

    Persoalan kekerasan ini semakin sulit diselesaikan lantaran TNI masih menikmati privilege selama belum di revisinya UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. UU tersebut menjadi alat pelanggengan impunitas, karena memiliki yurisdiksi untuk mengadili aparat militer yang melakukan tindak pidana umum. Idealnya aparat militer harus diadili di pengadilan umum jika mereka melakukan tindak pidana umum.

    Selain itu, keberadaan Surat Telegram (ST) Panglima TNI Nomor ST/1221/2021 mengenai prosedur pemanggilan prajurit TNI oleh aparat penegak hukum juga berpotensi menambah privilege tersebut. ST dimaksud semakin menjauhkan kita dari harapan ideal dalam agenda revisi UU Peradilan Militer. Selain itu, ST tersebut juga menyisakan persoalan mendasar dalam hal akuntabilitas dan transparansinya dalam setiap proses penegakan hukum.  Sebab, ST ini menambah mekanisme pemeriksaan/pemanggilan terhadap seseorang, dalam hal ini prajurit TNI, untuk terlebih dahulu meminta izin dan melalui persetujuan dari komandan atau kepala satuan.

  2. Penghormatan terhadap HAM juga perlu menjadi perhatian untuk internal TNI. Menjelang HUT TNI ke-77 ini kasus konflik antarpersonel TNI juga terjadi, di antaranya kasus penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya seorang Prada Marinir SD oleh seniornya yang terjadi di Sorong, Papua Barat pada Juli 2022 dan Sertu MBP di Timika, Papua pada Juni 2022.
  3. Lemahnya Penghormatan terhadap HAM dan Supremasi Sipil di tubuh TNI juga bisa dilihat dari respons lingkungan TNI atas pernyataan Effendi Simbolon, anggota Komisi I DPR. Kalangan TNI, termasuk KSAD dan prajurit TNI melalu unggahan beberapa video, merespons pernyataan Wakil Rakyat itu secara tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menjunjung supremasi sipil dan negara hukum. Komentar salah seorang anggota DPR yang disampaikan di forum resmi tersebut merupakan mandat Konstitusional dan bagian dari fungsi pengawasan legislatif.
  4. Larangan Menduduki Jabatan Sipil merupakan isu serius dalam reformasi TNI yang dilanggar. Kekhawatiran terhadap pengaruh habisnya masa jabatan kepala daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota) pada 2022 dan 2023 terhadap reformasi TNI akhirnya menjadi kenyataan. Hal tersebut terlihat dari penunjukkan Kepala BIN Daerah (Kabinda) Sulteng sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Bukan hanya bertentangan dengan UU TNI, tetapi juga memperpanjang kebijakan-kebijakan penempatan TNI aktif pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI pada masa pemerintahan Jokowi. Kebijakan tersebut menggambarkan keengganan (unwilling) pemerintah dalam pelaksanaan reformasi TNI/Polri, serta secara khusus pelaksanaan amanat peraturan perundang-undangan.
  5. Stagnansi reformasi TNI dalam konteks “Larangan Menduduki Jabatan Sipil” juga berpotensi menguat melalui wacana-wacana yang disampaikan oleh pejabat sipil. Misalnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang mengusulkan UU TNI agar perwira aktif TNI dapat bertugas di kementerian/Lembaga. Usulan tersebut justru kontradiktif dengan upaya reformasi TNI, sebab melibatkan kembali TNI ke urusan sipil sama saja dengan mengembalikan dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru.
  6. Mandat reformasi TNI berupa Kedisiplinan terhadap Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan Kepatuhan terhadap kebijakan dan keputusan politik negara diabaikan dengan alasan mengatasi krisis pangan dan menjaga ketahanan pangan kerap menjadi pintu masuknya. Padahal sektor pangan tidak termasuk ke dalam 14 poin OMSP sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU TNI. Selain itu, pada beberapa kasus, aktivitas ketahanan pangan justru dilandasi kerja sama TNI dengan instansi tertentu (termasuk daerah), bukan dilandasi keputusan dan kebijakan politik negara. Sejumlah agenda ketahanan pangan tersebut bukan hanya melibatkan, tetapi juga diinisiasi TNI, seperti
    • Kodim 0610 Sumedang mencanangkan program berupa mengaktifkan kembali lahan-lahan yang tidak produktif untuk bercocok tanam sebagai upaya dalam mewaspadai ancaman krisis pangan dunia.
    • Kerja sama TNI AD bersama PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) mendukung program Ketahanan Pangan Nasional melalui pengembangan pertanian tanaman pangan di wilayah operasi perusahaan di Kabupaten Bengkalis.
    • Penanaman jagung di lahan milik PTPN oleh TNI AD di Kampung Cibinong, Desa Mekarjaya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Pelbagai kasus yang tercatat dalam catatan kinerja ini pada dasarnya pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Keberulangan model-model kasus tersebut cenderung mencerminkan belum seriusnya TNI maupun pemerintah dalam mengarusutamakan agenda-agenda reformasi TNI. Jika hal-hal demikian dibiarkan terus terjadi pada masa-masa mendatang, potensi yang muncul adalah agenda reformasi TNI yang berjalan mundur. Terobosan-terobosan yang terjadi pada tahun ini seharusnya perlu diikuti oleh capaian pada aspek-aspek lainnya dalam reformasi TNI. SETARA Institute merekomendasi beberapa hal dalam rangka pemajuan reformasi TNI:

  • Pemerintahan Jokowi maupun DPR perlu melakukan akselerasi terhadap percepatan pembahasan dan pengesahan terhadap revisi UU Peradilan Militer sebagai bentuk penghormatan atas HAM dan supremasi sipil. Bersamaan dengan itu, perlu digencarkan peningkatan pemahaman mengenai HAM agar dapat terimplementasi dan dipahami oleh prajurit-prajurit TNI secara menyeluruh, termasuk sampai kepada lapisan-lapisan prajurit di struktur territorial TNI.
  • Presiden perlu mempertimbangkan pembatalan wacana pengisian Pj. Kepala Daerah oleh TNI (dan Polri) aktif untuk mengisi pos-pos kepala daerah yang kosong karena masa jabatan kepala daerah habis di 2022 dan 2023.
  • Presiden perlu mengevaluasi kinerja maupun usulan-usulan jajarannya yang kontradiktif terhadap agenda reformasi TNI.
  • DPR perlu aktif dalam pengawasan setiap agenda reformasi TNI, terutama dalam hal keterlibatan DPR dalam kebijakan dan keputusan politik negara yang menjadi dasar TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara di bidang pertahanan dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU TNI.

Narahubung:
Ikhsan Yosarie 
(Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute): 0822 8638 929
Ismail Hasani (Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta): 0812 1393 1116

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*