PENGHARGAAN yang diterima seorang kepala negara semestinya kebanggaan bagi masyarakatnya. Namun, penghargaan World Statesman 2013 dari Yayasan Appeal of Conscience yang akan diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninggalkan ironi.
Yayasan yang bermarkas di New York, AS, itu menilai Presiden berkontribusi besar terhadap resolusi konflik, baik sipil maupun agama, di Indonesia. Berbagai pertanyaan bisa dialamatkan kepada yayasan itu. Namun, yang penting justru bagaimana Presiden menerima sanjungan itu.
Pasalnya, fakta di dalam negeri berbicara sebaliknya. Kekerasan terhadap kelompok minoritas terus terjadi. Minggu (5/5), dua tempat ibadah dan 21 rumah anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Tasikmalaya, Jawa Barat, dirusak sekelompok orang.
Di Bekasi, pelanggaran HAM bahkan dilakukan pemkot sendiri. Sejak 5 April, pemkot menyegel sebuah tempat ibadah Ahmadiyah. Hal mirip juga dilakukan Wali Kota Bogor terhadap Gereja Yasmin di Bogor, Jawa Barat. Sementara itu di Jawa Timur, penggerak kekerasan terhadap warga Syiah di Sampang divonis bebas oleh pengadilan.
Dari laporan Setara Institute, tahun lalu total ada 317 tindakan dan 264 peristiwa pelanggaran HAM. Kekerasan atas nama agama bukan hanya dilakukan masyarakat, melainkan juga lembaga peradilan dan institusi negara.
Rentetan peristiwa itu menunjukkan negara gagal menjalankan amanat undang-undang dasar, yakni melindungi segenap warga negara.
Bila kita terbuai oleh penghargaan ‘Negeri Paman Sam’, itu sama saja dengan pengingkaran, bahkan arogansi. Daripada balik mengkritik kelompok yang tidak sependapat dengan penghargaan, Presiden mestinya mendengarkan suara kontra itu sebagai alarm. Terlalu sering Presiden lebih mementingkan semut di seberang lautan ketimbang gajah di pelupuk mata.
Lihat saja Presiden mengusahakan penyelesaian konflik suku Rohingya di Myanmar. SBY berkunjung ke Myanmar dan meminta Presiden Thein Sein untuk terus mengupayakan rekonsiliasi bagi kelompok minoritas tersebut.
Yudhoyono bahkan mendorong sebuah BUMN Indonesia berpartisipasi dalam upaya rekonsiliasi dengan berinvestasi di daerah konflik. Tidakkah kaum minoritas Indonesia lebih berhak atas perhatian serupa dari presidennya?
Sudah saatnya Presiden menunjukkan kesungguhan dengan tindakan nyata di dalam negeri. Keseriusan Presiden dalam mengusahakan terjaminnya hak dan perlindungan bagi seluruh warga negara, termasuk kelompok minoritas, menjadi teladan penting bagi institusi dan pejabat negara lainnya.
Pasalnya, sudah beberapa kali pejabat daerah menolak menjalankan putusan Mahkamah Agung yang memberikan hak kepada jemaat minoritas membangun rumah ibadah. Anggota kabinet pun bahkan pernah menganjurkan pelanggaran HAM dengan mendukung pembubaran suatu kelompok minoritas.
Presiden semestinya menyadari ketidaktegasan di dalam negeri akan memberikan tempat bagi anarkisme dan kesewenang-wenangan. Demokrasi yang ia dengungkan hanyalah slogan yang tidak bertaji. Jika sudah begitu, segala sanjung di luar negeri pun seperti mimpi di siang bolong.