MK Diminta Jangan Mengawasi Diri Sendiri

MK Diminta Jangan Mengawasi Diri Sendiri

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak layak mengawasi dirinya sendiri. Sikap MK yang selama ini cenderung defense terhadap pengawasan dari luar MK justru kontraproduktif jika dilakukan di tengah keperihatinan masyarakat terhadap lembaga pengawal konstitusi tersebut.

“MK tidak bisa mengawasi dirinya sendiri. Keputusan mereka bisa saja salah karena dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Ja di penting ada lembaga untuk mengawasi hakim konstitusi,” kata Tigor, di Jakarta, Senin (11/11).

Berdasarkan hasil survei terhadap 200 ahli tata negara dan pegiat HAM, Setara Institute membeberkan, keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24/2003 tentang MK tidak relevan. Khususnya mengenai keberadaan lembaga pengawasan yang dibentuk oleh MK dan Komisi Yudisial (KY).

DPR diharapkan dapat mengkaji secara cermat, dan sungguh-sungguh keberadaan Perppu No 1/2013 demi kepentingan penguatan MK. 200 ahli tata negara memandang, pengawasan terhadap MK dilakukan melalui revisi UU MK dan UU KY dengan maksud mengembalikan kewenangan pengawasan kepada KY.

Tigor melanjutkan, pengawasan yang dilakukan KY lebih kepada etika dan perilaku hakim konstitusi. Tidak untuk mengubah putusan MK yang sifatnya pertama dan akhir.

“Jadi tidak mengawasi keputusan maupun dampak dari putusan tersebut. Yang diawasi adalah etika dan perilaku hakim tersebut,” katanya.

Setara Institute meluncurkan hasil laporan survei “Persepsi 200 Ahli Tata Negara terhadap Kinerja MK”. Hasil survei menyebutkan, 200 ahli tata negara dan pegiat HAM meyakini, ditangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK pada awal Oktober 2013 tidak serta-merta menghancurkan wibawa MK. Sebab, 82,1 persen responden yakin MK dapat memulihkan kepercayaan masyarakat.

Ketua Setara Institute Hendardi memaparkan, selama 10 tahun MK berdiri tidak ada skor yang memuaskan terkait putusan MK dibawah periode Akil Mochtar menjabat Ketua MK.

“Tidak ada skor yang memuaskan terkait kualitas putusan pada periode Akil Mochtar,” kata Hendardi.

Dipaparkan, dalam tiga kepemimpinan, performa dan kualitas putusan MK berbeda-beda. Pada kepemimpinan Jimly Asshiddiqie 94,9 persen responden meyakini kualitas putusan MK lebih akademis, sedangkan 89,7 persen responden menilai putusan MK sangat argumentatif.

Sementara, pada periode kepemimpinan Mahfud MD 89,7 persen responden menyebutkan putusan MK lebih progresif dan 79,5 persen responden menyebut argumentatif.

“Sedangkan kepemimpinan Akil kualitas putusannya lebih politis yaitu sebesar 80 persen,” katanya.

Survei yang digelar Setara Institute bertujuan untuk mengetahui persepsi 200 ahli tata negara dan pegiat HAM tentang kinerja MK 10 tahun terakhir. Laporan Indeks Persepsi 200 ahli tata negara dilakukan sejak 7-15 Oktober 2013. Survei kuantitatif tersebut menggunakan metode purposif.

Setara Institute memilih dan memetakan 200 ahli dengan metode pengumpulan data dilakukan melalui web-based survei dimana responden mengisi kuesioner dengan login ke website khusus setara “http://survey.setara-institute.org. Responden yang terpilih diberikan “username” dan “password” yang hanya dapat digunakan satu kali.

Salah satu rekomendasi yang disampaikan Setara Institute untuk dilakukan MK ke depan adalah adanya upaya pemulihan kepercayaan publik secara sistematis dan berkelanjutan. Salah satunya dengan menyampaikan secara terbuka laporan kekayaan dan sumber kekayaan para hakim konstitusi.

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*