Dari Konflik Ambon hingga Pengusiran Ahmadiyah

Dari Konflik Ambon hingga Pengusiran Ahmadiyah


Metrotvnews.com, Jakarta: Banyak konflik agama terjadi pasca-reformasi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Kerusuhan massal membawa panji SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan etnis) yang terjadi ini merupakan sebuah fenomena yang menjadi bayangan kelam Indonesia pasca-reformasi.

Direktur Riset Setara Ismail Hasani menyatakan bahwa kasus kekerasan yang banyak terjadi belakangan ini di Indonesia tidak terlepas dari pengekangan banyak kelompok-kelompok SARA pada Orde Baru.

“Pendek kata, isu SARA pada masa Orde Baru di bawah kontrol penyeragaman di balik kata stabilitas politik,” ujar Ismail kepada metrotvnews.com di Jakarta, Kamis (24/12/2015).

SARA menjadi permainan kelompok penguasa untuk menjalankan pemerintahan. Beragam bentuk kebijakan dan manuver politik dilakukan Presiden Soeharto untuk menjamin stabilitas keamanan.

Kelompok agama dikurangi keterlibatannya dalam politik, padahal kelompok ini memiliki andil yang tidak sedikit dalam politik Indonesia yang dimulai dari masa pergerakan hingga Orde Lama.

Selain itu, kelompok suku dan etnis tertentu juga dianaktirikan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini menyebabkan isu SARA menjadi api dalam sekam bagi stabilitas politik Indonesia dan akhirnya meledak saat reformasi.

Konflik sentimen SARA ini sebenarnya sudah terjadi sejak jaman Orde Baru dan terus terjadi hingga kini. Namun latar belakang konflik selalu tidak terlepas dari masalah ekonomi atau politik. Konflik SARA berlatar ekonomi banyak terjadi di daerah transmigrasi atau perantauan etnis tertentu.

Salah satu konflik SARA yang bisa dijadikan contoh yakni konflik antara etnis Madura dan Dayak di Sampit, Kalimantan Tengah, pada tahun 2001. Konflik karena gesekan kepentingan ekonomi ini menyebabkan 500 jiwa melayang dan ratusan ribu kehilangan tempat tinggal.

Sedangkan kepentingan politik biasanya terkait dengan upaya merebut massa atau justru mengendalikan massa tertentu. Tidak jarang juga isu SARA justru dimanfaatkan untuk menjatuhkan lawan politik.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Haris Azhar bahkan meyakini bahwa beberapa kelompok SARA garis keras yang terlibat konflik pasca reformasi sebagai proyek intelijen. Kelompok berkuasa membentuk kelompok tersebut untuk mengelola isu dan menjamin kepentingan mereka saat era Orde Baru hingga reformasi muncul.

“Jadi kelompok kepentingan yang berkuasa, Golkar (pada Orde Baru), tentara atau polisi, membentuk kekuatan di tengah warga dengan simbol-simbol tertentu. Baik itu agama atau etnis tertentu untuk menjamin kekuasaannya. Dan itu bagian dari intelijen,” kata Haris kepada metrotvnews.com, Kamis (24/12/2015).

Kekerasan di Poso dan Ambon misalnya. Kontras menemukan aktor dari dua kubu yang berkonflik memiliki kesamaan keahlian. Setelah konflik mereda, orang-orang dari kelompok berkonflik tersebut kemudian diketahui menggunakan kode sandi yang sama.

Bahkan tidak jarang konflik SARA ditunggangi, atau diciptakan, untuk kepentingan segelintir kelompok.

“Karena bagi mereka ini penting. Penguasa butuh penjamin, Intelijen butuh dana, konflik dimanfaatkan untuk itu. Akhirnya jadi lingkaran setan,” tutur Haris.

Lima kasus besar konflik SARA

Setidaknya ada lima kasus diskriminasi terburuk pasca-reformasi. Karena jumlah korban yang tidak sedikit, luasnya konflik, kerugian materi yang besar, hingga intensitas pemberitaan media massa.

Jika ditotal, kelima konflik ini memiliki jumlah korban lebih dari 10.000 jiwa. Tidak salah jika kelima konflik ini adalah konflik yang paling membekas di sebagian masyarakat Indonesia.

Konflik Ambon

Konflik Ambon menjadi konflik yang paling membekas pasca-reformasi. Konflik yang terjadi sejak jaman Presiden BJ Habibie ini memiliki korban terbanyak. Diperkirakan 8.000-9.000 jiwa meninggal selama empat tahun berjalannya konflik.

Secara kerugian materil, Konflik Ambon menghancukan setidaknya 29.000 rumah, 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank. Akhirnya konflik ini berakhir setelah upaya pembicaraan damai terus dilakukan.

Setelah hampir sepuluh tahun konflik berakhir, Ambon menjadi sangat damai. Bahkan Setara Institute menobatkan Ambon sebagai salah satu dari 10 besar kota paling toleran di Indonesia.

Setara Institute menngunakan empat variabel dengan menilai Regulasi Pemerintah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan peraturan daerah diskriminatif; Tindakan Pemerintah (pernyataan Pemerintah dan respon Pemerintah atas peristiwa intoleran); Regulasi Sosial (peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan); serta Demografi Agama (Komposisi penduduk berdasarkan agama)

“Ambon sekarang salah satu kota yang paling toleran dari 94 kota yang kita teliti,” kata Ismail.

Konflik Sampit

Konflik Sampit adalah salah satu konflik SARA terburuk dengan latar belakang etnis. Konflik antara suku Dayak dan suku Madura ini terjadi Sampit, Kalimantan Tengah pada 2001. Konflik yang pecah pada 18 Februari 2001 ini ditenggarai kuat terjadi karena latar belakang ekonomi.

Suku Dayak yang asli Kalimantan bergesekan dengan suku Madura yang menjadi pendatang. Walau telah lama bergesak akhirnya konflik meletus dan berlangsung selam sepuluh hari lamanya. Konflik sendiri berawal ketika ada suku Dayak yang dilaporkan menyerang perkampungan Madura. Konflik Sampit ini menyebabkan 469 orang meninggal dunia dan 108.000 orang mengungsi.

Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta

Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi Jakarta berlangsung pada 13-15 Mei. Kerusuhan yang terjadi saat krisis ini justru berubah menjadi konflik SARA anti keturunan Tionghoa.

Konflik ini menyebabkan 1.217 orang meninggal dunia, 85 orang diperkosa, dan 70.000 menjadi pengungsi. Kerugian materi yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.

Kerusuhan Mei ini bahkan berdampak ke daerah-daerah. Sweeping warga dan pengrusakan bangunan milik warga keturunan Tionghoa terjadi di banyak daerah.

Pengusiran Ahmadiyah

Konflik SARA juga terjadi di Transito Mataram sejak 2006. Konflik ini secara khusus menyasar kelompok pengungsi Ahmadiyah yang menjadi minoritas. Konflik ini bahkkan menyebabkan sembilan orang meninggal dunia hingga 2013. Selain korban meninggal, delapan orang luka-luka, sembilan orang gangguan jiwa.

Selain korban jiwa, konflik juga berdampak kepada psikologis dan gangguan sosial. Setidaknya 379 orang jemaah Ahmadiyah terusir, sembilan orang dipaksa cerai, tiga orang keguguran, 61 orang putus sekolah, 45 orang dipersulit KTP, dan 322 orang dipaksa keluar Ahmadiyah..

Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang besar, konflik ini mendapat sorotan media karena kejadian pascakonflik yang terus berlangsung lebih dari delapan tahun. Hingga kini tidak ada kejelasan nasib bagi pengungsi.

Konflik etnis di Lampung

Konflik kekerasan yang terjadi di Lampung Selatan pada 2012. Konflik yang terjadi antara etnis Bali dan etnis pendatang lain menyebabkan 14 orang meninggal dunia dan 1.700 mengungsi.

Pemimpin Daerah Terlibat

Pemimpin Daerah ternyata juga memiliki andil atau memiliki keterkaitan dengan intoleran dan konflik SARA. Biasanya, diskriminasi kepada suatu kelompok tertentu menjadi pemicu.

“Beberapa di antaranya diskriminasi kepada kelompok minoritas yang dilakukan oleh pemerintah Bogor dan Depok,” kata Ismail.

Beberapa kasus yang terjadi sejak 2014-2015 juga sempat menjadi sorotan media masa. Salah satunya adalah penyegelan Masjid Al-Hidayah milik jamaah Ahmadiyah di Sawangan, Depok.

Penyegelan sudah berulang kali dilakukan. Namun penyegelan dilakukan dengan alasan yang dinilai kelompok jamaah mengada-ada. Salah satu contohnya saat penyegelan ketiga kalinya dilakukan Satpol PP Kota Depok pada Kamis 2 Oktober 2014. Pemkot saat itu beralasan penyegelan dilakukan karena membangun pagar dan kanopi tanpa adanya IMB.

Sementara itu Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto juga sempat disorot. Kasus yang terjadi terkait dengan izin penggunaan bangunan gereja kelompok GKI Yasmin, Kota Bogor. Permasalahan ini bahkan sampai di bawa ke MK. Namun hingga 2014 menjelang 2015 berakhir, sengketaperizinan rumah ibadah ini masih berlangsung walau MK sudah mengeluarkan putusan.

Salah satu kebijakan pemimpin daerah yang berujung konflik berdarah juga terjadi akhir-akhir ini. Tepatnya pada 13 Oktober 2015 lalu juga kembali terjadi kekerasan di Kabupaten Aceh Singkil, Nangroe Aceh Darussalam.

Penerbitan surat keputusan puluhan bangunan gereja yang dikeluarkan Bupati Aceh Singkil digunakan dalih sekelompok orang untuk melakukan pembakaran gereja di kabupaten tersebut. Bahkan kekerasan di Aceh Singkil ini berujung bentrok dan menyebabkan setidaknya dua orang meninggal dunia.

Ketiga kota yang dipimpin mereka juga dinilai oleh Setara Institute. Namun berbeda dengan Ambon yang bersejarah kelam, kota Bogor, Depok, dan Banda Aceh justru berada di posisi sepuluh terbawah.

tabel 2(2)

Namun pemimpin daerah tidak hanya jadi pemicu. Ada pula kepala daerah juga menjadi sasaran diskriminasi dan intoleransi. Salah satu yang paling hangat dan heboh dibahas di media massa dan media sosial yakni Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Ahok pada 2014 ditentang kelompok Front Pembela Islam dan Forum Betawi Bersatu untuk menjadi Gubenur DKI, karena Joko Widodo sebagai gubernur sebelumnya menyebrang ke Medan Merdeka Utara. Selain berorasi di depan Gedung DPRD DKI, merek juga mencaci dan melempar kotoran binatang ke Komplek DPRD DKI. Namun setelah Ahok menjabat, FPI atau FBB tak lagi berbicara keras.

Duduk bersama

Ismail tidak menafikkan bahwa pemerintah di awal masa-masa reformasi telah menunjukkan upaya untuk meredam peningkatan intoleranasi menjadi konflik dan kekerasan berbau SARA. Presiden Abdurahman Wahid contohnya, berupaya merangkul kelompok Khonghucu dan etnis Papua yang selama ini dilupakan.

“Namun agak rumit pada masa-masa itu karena kemunculan kelompok yang menggunakan ruang demokrasi tapi menyebarkan virus intoleran,” ujar Ismail.

“Belum ditemukan formulasi yang tepat untuk mengelola keberagaman di Indonesia.”

Sebenarnya banyak hikmah yang bisa ditiru dari masa lalu dalam mengelola keberagaman. Contohnya dalam sumpah pemuda. Sumpah pemuda menunjukkan bahwa SARA dapat disatukan demi kepentingan nasional.

Selain itu pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdakaan Indonesia (BPUPKI) yang terbagi dua kubu juga dapat menjadi contoh. Kelompok merah (nasionalis) dan kelompok hijau (agamis) bisa mencapai konsesus juga untuk kepentingan Indonesia.

“Jadi memang semuanya harus duduk bersama untuk mencari formula yang tepat. Karena jadi jangan sampai lagi ada penyeragaman. Jika Orde Baru menggunakan dalil kestabilan politik, kini menggunakan dalil etika dan agama untuk menjustifikasi,” tandas dia.

Haris juga menyatakan hal yang senada. Namun Haris sangat menekankan, masyarakat dan publik harus benar-benar sadar bahwa SARA adalah hal penting yang harus dibahas serius. Bukan sekedar isu sampingan yang dibahas sebentar saat ada konflik saja.

“Harus begitu. Selama ini kan SARA cuma dipandang sebelah mata. Ramai ketika ada konflik besar. Tapi tidak pernah diperhatikan benar-benar,” pungkas Haris.

sumber : metrotvnews.com

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*