Kasus dugaan makar yang dilakukan oleh Eks GAFATAR atau NKTN (Negeri Karunia Tuan semesta alam Nusantara) baru menghadirkan 10 orang saksi. Sebanyak 52 saksi telah disiapkan oleh Jaksa
Penuntut Umum untuk menunjukkan kebenaran atas dakwaannya. Para saksi tersebut adalah mantan dari anggota dan pengurus organisasi Eks GAFATAR atau NKTN yang berkeyakinan Millah Abraham. NKTN merupakan wadah kumpulan Kelompok Tani Mandiri bentukan bekas anggota organisasi kemasyarakatan GAFATAR. Di Kalimatan dalam baju NKTN, mereka menitikberatkan programnya pada proyek agraria yang bertujuan untuk menciptakan kedaulatan pangan Indonesia.
Persidangan dengan terdakwa ketiga petinggi Eks GAFATAR yakni Mahful Muis Tumanurung, Ahmad Mushaddeq dan Andry Cahya, 5 Januari Kamis lalu, berfokus kepada identifikasi adanya permufakatan makar dengan memunculkan elemen-elemen yang berpotensi menggulingkan negara. Hal itu diuraikan dalam pertanyaan setiap persidangan oleh JPU dan Majelis Hakim kepada para saksi yang dihadirkan.
Jaksa Penuntut Umum Abdul Rauf mempertanyakan kepada para saksi yang dihadirkannya sesuai dengan isi dakwaan dalam berita acara masing-masing saksi. Seperti halnya kepada saksi Supardan yang merupakan mantan ketua wilayah Jawa Timur, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. “Apakah mulai dari periode Al Qiyadah, Komar, Gafatar dan NKTN memiliki struktur organisasi yang sama dan bertujuan untuk hal yang sama?” ujar JPU. Adanya indikasi keempat organisasi tersebut adalah estafeta upaya makar. Namun hal tersebut disangkal, dikarenakan masing-masing organisasi tersebut mempunyai struktur yang berbeda dan tidak semua orang di dalamnya selalu ikut organisasi berikutnya. Pertanyaan tersebut disampaikan oleh JPU untuk membuktikan kepindahan warga Eks GAFATAR ke Kalimantan untuk bertani adalah dalam rangka melakukan tahapan persiapan makar.
Hal tersebut dimungkinkan setelah ditemukannya tahapan Sitati-ayaum dalam keyakinan Millah Abraham yang bersumber dari buku-buku yang dijadikan barang bukti. Terdapat 6 tahapan didalam Sitati-ayaum yang diajarkan dalam Millah Abraham, yakni tahapan Siron, Jahron, Hijrah, Qital, Futuh dan Madina Al Munawaroh. Dalam arti bahasa Indonesia dijelaskan dengan pengertian yakni dakwah tersembunyi, dakwah terang-terangan, pindah, perang, menang dan kejayaan. Selama persidangan berlangsung, JPU dan Majelis Hakim sering mempertanyakan para saksi terkait dengan 6 tahapan tersebut. “Apakah saudara sudah melakukan tahapan hijrah?” ujarnya, lalu jawab saksi Supardan “Belum”. Selain itu, Hakim ketua maupun anggota juga mempertanyakan mengenai apa yang dimaksud dengan qital atau perang. Perang menjadi poin penting atas pembenaran berlakunya permufakatan makar di dalam lingkup NKTN. Namun dalam persidangan, saksi menjelaskan bahwa 6 tahapan tersebut adalah bentuk dari pengabdian menjalankan ibadah kepada Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim yang bersumber dari kitab-kitab Tuhan. “Yang dimaksud dengan perang adalah kerja keras” ujar Sujito. Ia juga menyampaikan bahwa 6 tahapan tersebut bukanlah konsep dalam membangun sebuah negara, melainkan konsep pengabdian fitrah manusia yang lurus. Dalam kesempatan yang sama, Sujito juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Madina Al Munawaroh memiliki makna Gemah ripah lohjinawi, dalam pengertian bahasa Indonesia yakni tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya.
Senada dengan Sujito, Supardan sebelumnya menyampaikan jika perang yang dimaksudkan adalah perang melawan diri sendiri, perang melawan situasi dan kondisi yang berat di lahan pertanian. Di mata para saksi, 6 tahapan Sitati-ayaum tersebut merupakan bentuk hubungan pribadi dengan Tuhannya. Bahkan saksi seringkali menjelaskan bahwa 6 tahapan tersebut mempunyai kecenderungan sebagai tahapan perbaikan moral individu melalui pendekatan implementasi nilai spiritual. Perbedaan sudut pandang pemahaman JPU dan para saksi atas isi dakwaan, menjadikan sukar pembuktian berlakunya permufakatan makar oleh Eks GAFATAR. Persidangan lebih banyak terjebak dalam pembahasan kata yang ambigu dan pernyataan yang lebih kepada pengakuan keimanan seseorang atas ketuhanannya. Mengingat, negara membebaskan hak warga negaranya meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, serta berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, pasal 28E ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Penulis: Nanang Nurhayudi
