Dominasi patriarki yang telah tertanam kuat masih menjadi persoalan dalam mengakselerasi kesetaraan gender. Dalam kondisi demikian, perempuan cenderung ditempatkan, ataupun dibatasi perannya hanya pada ranah domestik ketimbang ruang publik. Perempuan cenderung masih menjadi kelompok rentan yang dirugikan melalui berbagai bentuk ketidakadilan, baik yang berasal dari sistem sosial di tengah masyarakat, entitas swasta melalui kondisi lapangan kerja yang masih patriarkis, hingga kebijakan negara melalui kecilnya ruang partisipasi.
Kekerasan hingga minimnya ruang partisipasi terhadap perempuan menjadi salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang mencerminkan kuatnya budaya patriarki di Indonesia. Praktik ini tidak hanya bertentangan dengan nilai kemanusiaan dalam: Pancasila (sila ke-2), tetapi juga melanggar berbagai instrumen hukum dan kebijakan, termasuk CEDAW, Kepres No.36/1990, BPFA, Inpres No.9/2000, Perpres No.111/2022, UU No.23 2014, UU PKDRT Tahun 2004, UU No. 7 Tahun 1984, serta pasal-pasal dalam KUHP yang mengkategorikan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan.
Data CATAHU 2021 Komnas Perempuan mencatat 335.399 kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di ranah personal, menjadikannya bentuk kekerasan tertinggi yang dilaporkan. Dalam dua dekade (2001-2021), lebih dari 2,5 juta kasus Kekerasan Berbasis Gender di ranah personal teridentifikasi, dengan kekerasan terhadap istri (KTI) mencapai 484.993 kasus, kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 26.629 kasus. Lebih dari 87 ribu kasus Kekerasan Berbasis Gender di ranah publik dengan laporan kekerasan seksual paling dominan (34.453 kasus). Kekerasan oleh institusi negara juga tercatat dalam 2.292 kasus dengan kasus penggusuran dan konflik SDA banyak dilaporkan.
Kondisi lain yang juga mengkhawatirkan, pelaku kekerasan tidak terbatas pada individu anonim, tetapi juga berasal dari profesi yang seharusnya menjadi panutan seperti tokoh agama, pejabat publik, dosen, guru, anggota TNI/Polri, hingga tenaga medis. Kekerasan terjadi di berbagai ruang, termasuk tempat kerja, institusi pendidikan, rumah sakit, hingga dunia digital, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi perempuan.
Selain itu, isu krusial yang menuntut perhatian di antaranya: femisida, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), kekerasan di institusi pendidikan dan keagamaan, kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas dan kelompok minoritas seksual, diskriminasi dalam politik, serta penyiksaan berbasis gender di tahanan.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik; setiap kasus mencerminkan perempuan yang haknya dirampas dan kehidupannya terancam. Tanpa perubahan struktural yang serius—baik dalam kebijakan, perlindungan hukum, maupun budaya sosial—perempuan akan terus menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi, melanjutkan kekerasan ke generasi masa depan.
Pentingnya intervensi negara dalam membangun sistem yang lebih inklusif menjadi kunci untuk memastikan perempuan, terutama dari kelompok rentan, mendapatkan perlindungan, partisipasi yang bermakna, serta akses setara terhadap keadilan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi, sehingga dalam proses pembangunan manusia sebagaimana prinsip no one left behind.
Referensi:
Komnas Perempuan (2023), Kajian 21 Tahun Catatan Tahunan Komnas Perempuan.
Oleh:
Merisa Dwi Juanita
Peneliti SETARA Institute