Inklusi Sosial dan Visi Indonesia Emas 2045
Indonesia Flag Wrinkled On Dark Background 3D Render

Inklusi Sosial dan Visi Indonesia Emas 2045

28 juli 2025

Pradhana Abhimantra, Jakarta
Ismail Hasani, Jakarta

Mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, inklusi sosial adalah prasyarat. Prinsip “no one left behind” bukan hanya slogan global, namun tertanam dalam sila kelima Pancasila. Pembangunan harus menyentuh semua warga tanpa diskriminasi.

Ketika kelompok marjinal—seperti penyandang disabilitas, perempuan, komunitas adat, dan agama minoritas—tersisih, potensi kontribusi mereka pada kemajuan bangsa ikut menyusut. Ketimpangan juga bisa memicu konflik sosial, mengikis kepercayaan publik, dan merusak stabilitas.

Laporan Bank Dunia (Inclusion Matters 2013; World Development Report 2006) dan UNDP (Human Development Report 2016, 2019) menunjukkan korelasi kuat antara partisipasi luas dalam pembangunan dengan stabilitas ekonomi dan politik jangka panjang di berbagai negara. Mengabaikan inklusi sosial bukan hanya menghambat produktivitas, tapi juga membatasi inovasi. Karenanya, sumber daya manusia dan pembangunan partisipatif adalah pilar utama mewujudkan Visi Indonesia 2045.

Tak hanya sejalan dengan Pancasila, inklusi sosial juga menjadi fokus dalam pembangunan nasional. Baik RPJPN (2025–2045) maupun RPJMN menyoroti pentingnya tata kelola inklusif dan kemajuan berkeadilan.

Indeks Inklusi Sosial Indonesia (IISI)
Studi terbaru dari SETARA Institute melalui program INKLUSI, yaitu Indeks Inklusi Sosial Indonesia (IISI), mengukur kondisi inklusi di tingkat nasional dan daerah dengan dua variabel: Pendekatan (pengakuan, resiliensi, partisipasi, akomodasi) dan Aspirasi (pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan, ekonomi, keamanan, lingkungan, budaya, dan pekerjaan layak), dengan skala Likert 1–7 (1 = sangat buruk, 7 = sangat baik). Hasilnya, agregat inklusi sosial nasional 3,2 dan daerah 3,3. Angka ini tergolong “dasar menuju berkembang”, artinya masih perlu perbaikan dan akselerasi.

Meski kerangka kebijakan terus tumbuh, ada tiga hambatan utama. Pertama, prioritas politik. Agenda jangka pendek terkait infrastruktur dan ekonomi sering diprioritaskan ketimbang jaminan akses setara bagi kelompok rentan. Kedua, lemahnya sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah: banyak perda bertentangan dengan kebijakan pusat, sehingga pelaksanaan pun tambal sulam. Ketiga, kesadaran publik tentang urgensi inklusi masih rendah. Tanpa tekanan masyarakat sipil, banyak pemerintah daerah tidak memandang inklusi sosial sebagai kebutuhan mendesak.

Membangun Ekosistem Inklusi Sosial
SETARA Institute menegaskan bahwa pembangunan ekosistem inklusi sosial bertumpu pada tiga kepemimpinan yang saling menguatkan: kepemimpinan politik (penentu visi dan alokasi sumber daya), kepemimpinan birokrasi (penerjemah kebijakan ke dalam program efektif), dan kepemimpinan sosial (penggerak komunitas dan pengawas akuntabilitas). Ketika salah satu lemah, kemajuan inklusif pun mandek. Untuk menguatkan ketiganya, beberapa kebijakan diperlukan.

Pertama, inklusi harus dilembagakan secara nasional. Presiden perlu menginstruksikan setiap kementerian dan lembaga untuk menetapkan target inklusi yang terukur, serta memastikan RPJMD di daerah selaras dengan RPJMN dan RPJPN. Kedua, prinsip tata kelola inklusif harus diterapkan konsisten. Semua level pemerintahan perlu menjalankan empat pilar inklusi: pengakuan, resiliensi, partisipasi, dan akomodasi, agar hak-hak konstitusional menjangkau setiap warga.

Ketiga, RPJMD pasca-2024 perlu disusun lebih inklusif. Kemendagri dan Bappenas harus mengaudit RPJMD baru dan meminta revisi rancangan yang tidak memuat indikator inklusi. Keempat, mencabut regulasi diskriminatif. Pemerintah pusat, terutama Kemendagri dan Kemenkumham, harus meninjau dan membatalkan perda yang mempertahankan praktik eksklusi.

Kelima, penerbitan Perpres agar kabupaten/kota wajib mengarusutamakan tata kelola inklusif, mencegah diskriminasi oleh aktor negara maupun non-negara. Keenam, kepemimpinan provinsi harus diberdayakan. Gubernur perlu pastikan inklusi terintegrasi lintas kabupaten, memantau implementasi, dan membantu daerah dengan kapasitas rendah. Terakhir, kemitraan dengan masyarakat sipil harus diperkuat. Kolaborasi berkelanjutan dengan masyarakat sipil perlu dijalin oleh walikota dan bupati.

Inklusi sosial pantas mendapat prioritas sejajar dengan pertumbuhan ekonomi atau pembangunan infrastruktur. Ambisi Indonesia 2045 bergantung pada pemanfaatan seluruh potensi warga negara. Dengan berinvestasi pada kelompok yang kerap terpinggirkan, kita memperkuat daya saing kolektif, persatuan, dan ketahanan bangsa.

Singkatnya, jalan ke depan menuntut kepemimpinan dari atas dan keterlibatan dari akar rumput. Hanya ketika kebijakan, anggaran, dan kesadaran publik berpadu pada prinsip “no one left behind,” Indonesia dapat memenuhi janji Pancasila. Inklusi sosial adalah fondasi kemajuan nasional—dan penentu utama tercapainya Visi 2045.

Pradhana Abhimantra, peneliti di SETARA Institute
Ismail Hasani, Ketua SETARA Institute dan dosen di UIN Syarif Hidayatullah

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*