Aktivisme Berlebih MK dan Reaksi Agresif DPR Tak Selesaikan Masalah Voter Fatigue

Aktivisme Berlebih MK dan Reaksi Agresif DPR Tak Selesaikan Masalah Voter Fatigue

Siaran Pers SETARA Institute

10/07/2025

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) mengamanatkan pemisahan penyelenggaraan pemilihan Presiden, DPR, dan DPD, dengan penyelenggaraan pemilihan DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota. MK memberikan aturan untuk dijeda selama 2 (dua) tahun antara pelaksanaan keduanya.

Hal ini mengundang respon keras dari DPR RI. DPR kembali mengangkat soal terbukanya kemungkinan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020, menuai kritik dari publik. DPR menyatakan bahwa Putusan MK tersebut telah melampaui kewenangan MK, karena seperti bertindak sebagai pembentuk undang-undang (positive legislator), sehingga melangkahi kewenangan DPR, dan telah ‘mengkhianati kedaulatan rakyat’.
Berkenaan dengan permasalahan tersebut, SETARA Institute memberikan catatan sebagai berikut:

1.      Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 dipandang sebagai penggunaan aktivisme yudisial (judicial activism) yang terlalu jauh mencampuri perkara politik. Yudisialisasi politik, atau pengaturan mekanisme politik oleh pengadilan, seharusnya tidak dilakukan terlalu luas hingga menetapkan aturan baku yang semestinya hanya dilakukan melalui proses politik. Hal ini membuat MK masuk terlalu jauh dalam arena politik, sehingga melangkahi kewenangan yang dimilikinya.

2.      Pada Perkara a quo, MK seharusnya mempraktikan judicial restraint, yakni meski tidak menafikan fakta bahwa adanya kelelahan pemilih (voter fatigue), namun perlu diingat kembali batasan kewenangan MK dalam menentukan penyelesaian kontroversi politik dan memperhatikan batasan konstitusional sesuai Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang mengamanatkan Pemilu dan Pilkada dilakukan pada 5 (lima) tahun sekali. Dengan demikian, isu ini semestinya cukup menjadi open legal policy, yang berarti bebas ditentukan oleh para pembentuk undang-undang.

3.      Sikap DPR untuk membuka kembali wacana perubahan UU MK menunjukan motif yang sarat politik. Perubahan UU MK wajib dilakukan secara hati-hati dan dengan tujuan utama yakni memperkuat demokrasi konstitusional. Perubahan yang didorong oleh motivasi politik justru membuka peluang pelemahan MK, yang berakibat pada pelemahan efektivitas checks and balances dan membuka potensi court packing untuk mengintervensi kekuasaan yudikatif yang seharusnya independen.

4.      Anggapan bahwa Putusan a quo telah mengkhianati kedaulatan rakyat tetap tidak tepat. Fenomena masyarakat yang semakin gencar mengajukan permohonan judicial review ke MK adalah suatu peringatan nyata untuk reformasi legislasi. Banyaknya permohonan judicial review dan dikabulkannya oleh MK adalah bentuk kurangnya perwujudan aspirasi publik (representativeness of the public), partisipasi yang belum bermakna, serta transparansi yang belum sepenuhnya terbuka. Faktor-faktor inilah yang membuat warga negara mencari alternatif dalam penyampaian aspirasi mengenai voter fatigue serta demi melindungi hak konstitusional mereka, yakni melalui MK.

5.      Berdasarkan hal tersebut, SETARA Institute menekankan bahwa pentingnya MK untuk berhati-hati dalam menentukan sikap, terutama dalam menentukan penggunaan judicial restraint dan judicial activism. Judicial restraint pada perkara ini lebih penting karena tidak ada isu konstitusional yang membutuhkan penyelesaian melalui peradilan, tetapi Perkara a quo merupakan isu politik yang semestinya diserahkan kembali pada proses politik.

6.      Tidak digunakannya judicial restraint menyebabkan supremasi yudisial yang kebablasan. Terutama jika diperhatikan bagaimana MK tidak secara cermat memperhatikan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 tentang penyelenggaraan Pemilu. Dengan demikian, Putusan a quo telah menimbulkan kontroversi konstitusional.

7.      SETARA Institute juga mendesak DPR untuk tidak lagi membangkitkan wacana perubahan UU MK, apalagi sebagai reaksi atas Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024. Motif politik sekali lagi hanya akan melemahkan MK, yang berpengaruh kepada pelemahan efektivitas pembatasan kekuasaan dan demokrasi konstitusional secara umum.

8.      Fokus yang seharusnya dimiliki DPR adalah bagaimana memformulasikan kembali tahapan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada serentak sehingga tidak terjadinya voter fatigue. Selain itu, fokus perluasan partisipasi publik, transparansi, dan peningkatan representativeness dalam legislasi juga menjadi prioritas, sehingga progres legislasi dapat diakses dan dipantau oleh warga negara. []

Narahubung:

1.      Azeem Marhendra Amedi, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*