Jakarta (harianSIB.com)
Industri nikel Indonesia yang tengah berkembang pesat mendapat sorotan tajam setelah laporan Departemen Luar Negeri AS pada 5 September 2024 menuduh adanya praktik kerja paksa.
Merespons hal ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut laporan tersebut sebagai propaganda asing yang ingin merusak citra Indonesia. Namun, kasus dugaan pelanggaran HAM di wilayah Morowali dan Halmahera Utara sudah menjadi isu yang berkepanjangan. Di sana, masalah perlindungan tenaga kerja dan kerusakan lingkungan telah lama diabaikan.
SETARA Institute dalam siaran pers, Rabu (9/10/2024), mendesak pemerintah agar segera mengintegrasikan prinsip bisnis dan HAM dalam operasional industri.
Mereka menekankan pentingnya komitmen terhadap aspek sosial, lingkungan, dan tata kelola yang baik (ESG), bukan hanya sekadar formalitas. Dengan Indonesia menyumbang 40,2% produksi nikel dunia, kepatuhan terhadap ESG dinilai penting untuk mendukung target Net Zero Emission 2060.
Laporan tersebut juga mengungkap masalah kemitraan Indonesia-Tiongkok dalam industri nikel yang diduga melibatkan pemotongan upah, jam kerja berlebihan, dan pelanggaran hak pekerja lainnya. Tercatat 6 dari 11 indikator kerja paksa yang ditetapkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) terjadi di sektor ini.
Pemerintah didesak mempercepat legislasi terkait uji tuntas HAM dan lingkungan agar industri lebih bertanggung jawab dan tidak hanya memenuhi standar formalitas. Upaya ini penting agar Indonesia tidak hanya menjadi pusat industri nikel, tetapi juga memimpin dalam menerapkan praktik bisnis yang beretika dan berkelanjutan.(**)
Sumber: hariansib.com