Jakarta – Tertangkapnya Patrialis Akbar, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan prahara kedua setelah sebelumnya Ketua MK, M. Akil Mochtar pada 2013 yang juga tertangkap tangan oleh KPK.
Menurut Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, tertangkapnya seorang hakim MK memiliki dampak serius dan dampak ikutan pada produk kerja lembaga pengawal Konstitusi ini. Pasalnya, hakim MK adalah pejabat negara kelas negarawan.
“Suap hakim MK membuat legitimasi putusan MK dipertaruhkan. Hakim MK seharusnya tidak memiliki interest apa pun dalam bekerja kecuali mengawal konstitusi dan menjaga paham konstitusionalisme,” ujar Hasani di Jakarta, Jumat (26/1).
Menelisik rekam jejak Patrialis Akbar dan proses pencalonannya menjadi hakim MK pada Juli 2013, menurut Hasani, banyak pihak tidak terkejut dengan peristiwa yang saat ini menimpa mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini. Patrialis menjadi hakim MK tanpa proses seleksi yang wajar.
“Patrialis hanya ditunjuk oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang ditetapkan UU, setelah tergeser dari kursi Menteri Hukum dan HAM. Proses seleksi pun dipersoalkan oleh organisasi masyarakat sipil, hingga berujung ke pengadilan tata usaha negara,” tandas dia.
Lebih lanjut, Hasani mengatakan bahwa praktik suap yang diduga ditukar dengan putusan hakim Konstitusi memiliki daya rusak lebih serius dibanding suap biasa. Menurutnya, kewenangan MK memutus konstitusionalitas sebuah norma dalam UU, yang merupakan produk kerja DPR dan Presiden, adalah kewenangan yang sangat besar dan memiliki daya ikat luar biasa.
“Putusan MK adalah erga omnes, berlaku bagi semua orang, meski sebuah norma UU hanya dipersoalkan oleh satu orang,” jelas dia.
Putusan MK juga, lanjut dia, jika sebuah permohonan judicial review dikabulkan, berarti membatalkan produk kerja 550 anggota DPR dan presiden yang bersifat final and binding.
“Atas dasar kewenangannya yang sangat besar, maka dugaan memperdagangkan putusan, sebagaimana dipraktikkan oleh Patrialis Akbar, memiliki daya rusak luar biasa yang bisa mendelegitimasi banyak putusan MK dan kelembagaan MK,” pungkas Hasani.
Diketahui, KPK telah menetapkan Patrialis dan rekannya, Kamaludin sebagai tersangka penerima suap. Patrialis dan Kamaludin diduga menerima suap sebesar US$ 20.000 dan 200.000 dolar Singapura dari Basuki dan sekretarisnya Ng Fenny terkait judicial review Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam OTT pada Rabu (25/1), selain menangkap Patrialis, tim satgas KPK juga menyita barang bukti berupa dokumen pembukuan perusahaan milik Basuki Hariman, voucher pembelian mata uang asing, dan draf putusan perkara UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Patrialis Akbar dan Kamaludin disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Basuki dan Ng Fenny sebagai tersangka pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Yustinus Paat/PCN
Sumber: BeritaSatu.com