Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa
Direktur Riset SETARA Institute, Halili memaparkan materinya dalam Diskusi Media: Wacana Gerakan Keagamaan di 10 Universitas Negeri yang diselenggarakan oleh SETARA Institute, Jumat (31/5/2019) di Jakarta.

Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa

Ringkasan Eksekutif

 Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa:

Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila di Perguruan Tinggi Negeri

Setara Institute, 31 Mei 2019

Pendahuluan

Sebagai negara dengan ideologi pluralis nan terbuka yaitu Pancasila, Indonesia harus terus menerus mewaspadai, mencegah, dan melawan radikalisme yang dapat memecah belah dan mengganggu keselamatan negara-bangsa. Dalam kontinum ideologis, radikalisme merupakan simpul kritis yang mengantarkan pihak atau aktor terpapar pada tindakan teror dan perlawanan fisik-sistemik atas negara. Oleh karena itu, setiap kesempatan struktural (structural opportunity) (Robert, 2009) dan lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) (Garzon, 2011) bagi radikalisme dan terorisme, salah satunya di perguruan tinggi, harus memperoleh perhatian memadai dan menjadi bagian integral penanganan intoleransi, radikalisme dan gerakan perlawanan terhadap Pancasila.

Penelitian mengenai pemetaan wacana dan gerakan keagamaan di perguruan tinggi dilandasi oleh dua konteks. Pertama, konteks makro, dimana pada tingkat nasional dan lokal terjadi penguatan intoleransi dan konservatisme keagamaan, bahkan violent extremism (ekstremisme-kekerasan) baik dalam bentuk yang sporadis berupa serangan-serangan terhadap gereja, pembubaran peribadatan dan lain sebagainya, maupun dalam bentuk yang terorganisasi seperti aksi teror.

Kedua, konteks mikro, dimana perguruan tinggi sendiri dalam beberapa waktu belakangan ini secara faktual merupakan target strategis penyebaran narasi-narasi radikal. Padahal dunia kampus memiliki peran vital dalam pembangunan bangsa dan penggemblengan generasi masa depan bangsa.

Perguruan tinggi, sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, merupakan lokus sekaligus institusi yang paling strategis dalam melakukan rekayasa sosial, dibandingkan dengan pranata sosial lainnya. Singkatnya, sektor pendidikan adalah medium yang menentukan suatu kondisi sosial masyarakat baik pada masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

Namun demikian, sektor pendidikan dianggap sebagai salah satu masalah utama dalam pengembangan masyarakat yang toleran. Akenson (2004) berpandangan bahwa sistem pendidikan merupakan salah satu struktur institusi utama yang melanggengkan intoleransi sektarian. Melalui sektor pendidikan inilah toleransi dan intoleransi direproduksi sebagai sebuah siklus ilmu pengetahuan dan menjadi konstruksi sosial berkelanjutan. Lebih dari itu, perguruan tinggi juga berhadapan dengan konteks umum penguatan intoleransi, penyebaran radikalisme, menguatnya konservatisme keagamaan, dan terjadinya ekstremisme kekerasan.

Hasil survei yang dilakukan oleh SETARA Institute (2015) terhadap siswa-siswi SMA (Sekolah Menegah Atas) Negeri di Jakarta dan Bandung tahun 2015, menunjukkan bahwa ada persoalan di tingkat guru, terutama guru agama, dalam memberikan pemahaman tentang makna toleransi atau kebhinekaan. Dengan kata lain, bahwa guru tidak optimal mentransmisikan pengetahuan keagamaan yang plural dan tidak mampu menjadikan pendidikan kewargaan sebagai sarana efektif memperkuat toleransi. Temuan tersebut hanya menggambarkan satu soal dari kurang kondusifnya pembelajaran toleransi di lingkungan pendidikan.

Merujuk pada situasi toleransi siswa seperti dijelaskan di atas, maka episode inkubasi siswa yang sejak sekolah menengah telah menjadi tidak toleran akan terjadi ketika siswa menjadi mahasiswa universitas. Temuan-temuan dari beberapa studi tentang radikalisme mahasiswa di kampus-kampus perlu diteliti secara menyeluruh dan ditulis ke dalam peta toleransi yang komprehensif, sehingga dapat digunakan sebagai referensi untuk mempersiapkan kebijakan penghapusan intoleransi dan dan pencegahan radikalisme di universitas, dengan fokus utama mahasiswa.

SETARA Institute menyadari bahwa radikalisme tidak serta merta muncul dan berkembang dengan sendirinya, namun ada pihak-pihak yang mengorkestrasi agenda radikalisasi secara terencana. Salah satu yang kerap menjadi media penyebaran radikalisme adalah lembaga pendidikan yang merupakan media tradisional atau tempat yang kerap menjadi ruang persebaran radikalisme (hotspots). Pemanfaatan lembaga pendidikan sebagai media inkubasi sekaligus penyemaian radikalisme dilatarbelakangi oleh strategisnya posisi lembaga ini sebagai pranata sosial yang menentukan kondisi sosial masyarakat di masa kini dan masa mendatang melalui generasi muda yang dididik di dalamnya. Radikalisasi dalam sektor pendidikan menyasar peserta didik yang secara psikologis masih dalam masa pencarian jatidiri yang haus akan pengetahuan, dan kebenaran.

Kekhawatiran adanya radikalisme dalam dunia pendidikan termasuk universitas bukanlah hal yang berlebihan. Banyak laporan maupun hasil penelitian yang telah memaparkan betapa ada gejala serius masifnya radikalisasi di perguruan tinggi terutama yang menyasar mahasiswa. Pada tahun 2018, Badan Nasional penanggulangan Terorisme (BNPT) merinci ada tujuh perguruan tinggi negeri yang terpapar radikalisme. Pada tahun yang sama, Badan Intelijen Negara (BIN) juga menyebut ada 39 persen mahasiswa di 15 Provinsi yang terpapar paham radikal. Hasil survei Alvara Research Center (2017) juga mengindikasikan hal serupa bahwa di kalangan mahasiswa ada kecenderungan pemahaman dan sikap yang intoleran dan radikal, yang ditunjukkan dengan beberapa indikator pertanyaan yakni peresentase mahasiswa yang tidak mendukung pemimpin nonmuslim cukup besar 29,5%; mahasiswa yang setuju dengan negara Islam sebesar 23,5%; dan persentase mahasiswa setuju dengan khilafah 17,8%. Beberapa tahun sebelumnya pada tahun 2016, LIPI menyebutkan bahwa gerakan radikal telah menyasar kampus-kampus dalam rangka radikalisasi hingga rekrutmen kader dengan memanfaatkan diskusi-diskusi dan organisasi mahasiswa di kampus.

Terdapat persoalan serius yang tengah menimpa kampus-kampus di Indonesia yakni ketidakmampuan menangkal penguatan intoleransi, penyebaran radikalisme, penguatan konservatisme keagamaan dan afirmasi atas ekstremisme kekerasan di dalam tubuh mereka sendiri. Riset beberapa lembaga sebagaimana diulas sebagian di muka menjelaskan fenomena itu secara benderang.

Dengan demikian, perhatian serius perlu diarahkan pada eksistensi kampus sebagai lembaga pendidikan yang idealnya menghasilkan lulusan yang toleran, cinta damai dan bertanggung jawab sesuai Pancasila dan UUD 1945. Bukan justru menjadi lokus sekaligus intitusi yang menjadi ruang persemaian narasi-narasi radikal dari kelompok tertentu. Untuk itu diperlukan suatu penelitian lebih mendalam terhadap kondisi toleransi dan radikalisme di kampus yang mengungkap lebih jelas mengenai seperti apa dan bagaimana kondisi intoleransi dan radikalisme di kampus dapat berkembang dengan leluasa. Dalam penelitian ini, SETARA Institute memfokuskan diri untuk memetakan wacana dan gerakan keagamaan di kalangan mahasiswa.

Selengkapnya dapat diunduh di sini

Halili (Direktur Riset SETARA Institute): 085230008880

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*