Pemetaan Implikasi Politik Eksekusi Mati pada Hubungan Internasional Indonesia

Pemetaan Implikasi Politik Eksekusi Mati pada Hubungan Internasional Indonesia

Konferensi Pers SETARA Institute
Temuan Pokok Riset tentang Pemetaan Implikasi Politik Eksekusi Mati pada Hubungan Internasional Indonesia
Jakarta, 25 April 2015-04-25

    1. Sejak second optional protocol dalam ICCPR tentang penghapusan hukuman mati diaplikasikan pada 1991, penghapusan hukuman mati menjadi standar norma internasional yang mengarus-utama (mainstream). SETARA Institute menemukan bahwa selama sekitar 25 tahun terahir, jumlah negara yang melaksanakan eksekusi hukuman mati mengalami tren menurun dengan compound annual growth rate minus 2%. Dengan kata lain, semakin banyak negara di dunia yang menerapkan moratorium atau bahkan menghapus hukuman mati. Data ini menunjukkan bahwa secara umum negara-negara di dunia mengakui bahwa penghapusan hukuman mati adalah salah satu hal yang perlu mereka lakukan demi mewujudkan citra sebagai negara beradab. Saat ini, dari 193 negara anggota PBB, hanya tinggal 36 negara yang memiliki hukuman mati di dalam perundangan mereka dan menjalankan eksekusi mati secara reguler. Sebanyak 103 negara secara tegas telah menghapus hukuman mati, sementara negara-negara lain hanya menggunakannya saat keadaan getir seperti perang (6 negara) dan telah melakukan moratorium lebih dari 10 tahun (50 negara).
    2. Sayangnya, Indonesia tidak pada jalan yang benar menuju negara beradab dengan dieksekusinya enam narapidana pada Januari 2015 lalu dan rencananya terhadap sepuluh narapidana lain dalam waktu dekat. SETARA Institute berpandangan bahwa apabila Indonesia ingin berada dalam jalan yang benar, Pemerintah Indonesia perlu menghapus hukuman mati di Indonesia untuk semua tindak kejahatan, termasuk di dalamnya kasus narkoba.
    3. Tentang eksekusi terhadap terpidana narkoba, SETARA Institute memandang bahwa tidak bergemingnya Pemerintah Indonesia terhadap rencana eksekusi mati merupakan perlawanan terhadap perjanjian internasional yang telah Indonesia ratifikasi, yakni ICCPR pada 2005. Pada tahun 2013, Komite HAM PBB memberikan nilai terendah bagi Pemerintah Indonesia karena kegagalannya untuk memenuhi peringatan Komite HAM PBB agar Pemerintah Indonesia menghentikan eksekusi untuk terpidana kasus-kasus narkoba .
    4. Pada bulan Agustus 2013, Komite HAM PBB menegaskan kembali kepada negara peserta ICCPR untuk menerapkan moratorium de facto eksekusi mati. Dan apabila negara peserta ingin melanjutkan hukuman mati, diizinkan hanya untuk kasus-kasus kriminal paling serius di mana narkoba tidak termasuk di dalamnya. Komite HAM PBB meminta Indonesia untuk kembali mereview undang-undang yang berkaitan dengan kasus narkoba agar tidak dihukum dengan hukuman mati.
    5. Pada awal April 2015, menanggapi eksekusi Pemerintah Joko “Jokowi” Widodo terhadap enam terpidana kasus narkoba pada Januari 2015, Komite HAM PBB melakukan evaluasi terhadap Indonesia dan menyayangkan bahwa Indonesia belum mengamandemen undang-undang berkaitan dengan kasus narkoba. Komite HAM PBB memberikan nilai E kepada Pemerintah Indonesia pada skala A-E, nilai yang sangat jarang diberikan kepada negara anggota. A menunjukkan bahwa kebijakan negara anggota sangat memuaskan dan E menunjukkan bahwa kebijakan negara anggota melawan rekomendasi Komite HAM PBB.

Implikasi-implikasi dalam hubungan internasional Indonesia

    1. Pengucilan Indonesia di treaty body ICPPR. Pengucilan ini disebabkan karena Indonesia tidak mengindahkan peringatan keras Komite HAM PBB sejak 2013 untuk menghapus hukuman mati terhadap terpidana narkoba. Hal ini akan bertambah buruk apabila Pemerintah Indonesia tetap melaksanakan eksekusi terhadap sepuluh terpidana narkoba lain setelah Indonesia diberi nilai E oleh Komite HAM PBB pada awal April 2015. Perwakilan Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan mengapa berulangkali, setelah diperingatkan secara keras, tetap bebal. Pelanggaran-pelanggaran peringatan ini akan menghilangkan basis legitimasi Indonesia ketika melakukan manuver diplomasi antara lain menyerukan agar para assylum seekers tidak ditolak oleh Pemerintah Australia sehingga tidak membebani Pemerintah Indonesia atau mengutuk Israel yang melakukan berbagai pelanggaran HAM terhadap Palestina di treaty body. Pada poin yang terakhir ini, implikasi lanjutannya adalah terganggunya upaya Indonesia membangun citra Indonesia di hadapan negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai negara paling proaktif membela Palestina.
    2. Indonesia akan mengalami hambatan dalam meraih dukungan dalam upaya reformasi DK PBB. Dalam berbagai forum internasional, termasuk yang terakhir di KAA 2015, Indonesia menyampaikan reformasi DK PBB sebagai salah satu pokok pembicaraan. Isu reformasi DK PBB dengan perluasan anggota permanen dewan keamanan sedang sangat hangat di Kantor Pusat PBB dan Indonesia memiliki kepentingan untuk menjadi anggota permanen. Indonesia perlu menunjukkan diri sebagai negara yang terpercaya agar mendapat dukungan dari negara-negara di dunia diantaranya yang sangat krusial adalah dari para anggota permanen DK PBB saat ini. Perancis, sebagai salah satu anggota permanen DK PBB berpotensi menolak keanggotaan Indonesia melihat preseden tidak hiraunya Pemerintah Indonesia terhadap permintaan clemency Pemerintah Perancis terhadap warga negaranya Serge Areski Atlaoui yang akan dieksekusi mati.
    3. Kebijakan eksekusi mati kontraproduktif terhadap pemberantasan narkoba karena negara maju menjadi tidak simpati dengan Indonesia. Kejahatan narkoba termasuk transnational crime yang membutuhkan kerjasama erat negara maju dan negara berkembang apabila ingin berhasil. Apabila eksekusi mati tetap dijalankan, maka upaya penggalangan dukungan internasional untuk memberantas transnational crime ini akan terhambat berkat berkurangnya simpati negara maju terhadap Indonesia. Dukungan yang Indonesia dan negara berkembang lain bisa harapkan dari negara maju antara lain informasi intelejen untuk mengungkap jaringan transnasional produsen dan pengedar narkoba, bantuan teknologi penanggulangan narkoba, serta dana untuk riset atau kampanye anti-narkoba.
    4. Indonesia lebih mundur dari Filipina, Kamboja, Thailand, Myanmar, dan Laos di Kawasan Asia Tenggara. Filipina dan Kamboja secara de jure telah menghapus hukuman mati di dalam perundang-undangan mereka. Thailand sudah mengumumkan bahwa dalam waktu dekat hukuman mati akan di hapus dalam perundang-undangan. Sedangkan Myanmar memberlakukan moratorium selama proses penandatanganan dan ratifikasi ICCPR untuk selanjutnya akan menghapus hukuman tersebut dari perundang-undangan. Kemudian Laos, lebih dari 20 tahun telah melakukan moratorium de facto hukuman mati. Dalam Konferensi yang diselenggarakan oleh UN High Comissioner on Human Rights dan Pemerintah Thailand, perwakilan Thailand menjelaskan bahwa hukuman mati sangat problematis karena cenderung ada bias ras dan etnik, tidak memiliki bukti empirik bahwa itu efektif, dan ada kesakitan dalam proses eksekusi. Indonesia seharusnya memahami tren penghormatan HAM yang terjadi di ASEAN dan turut menghapuskan hukuman mati di dalam negeri. Selanjutnya Indonesia juga lebih jauh bisa berperan untuk berkampanye agar seluruh negara-negara ASEAN menghapuskan hukuman mati. Apabila itu terjadi, hal tersebut membuktikan pengaruh Indonesia sebagai pemimpin de facto ASEAN sangat nyata dan menjadi prestasi diplomatik yang bisa diklaim oleh Indonesia di berbagai forum internasional demi memperkuat basis soft power.
    5. Citra Indonesia sebagai kekuatan demokrasi baru yang dielu-elukan untuk dapat memiliki peran lebih besar dalam urusan-urusan HAM tercoreng. Padahal Indonesia, bersama dengan India, Brazil, Meksiko, Turki, dan Afrika Selatan dianggap sebagai negara demokrasi baru yang harapannya bisa menjadi aktor internasional yang lebih terpercaya untuk turut memajukan peradaban dunia. Saat ini, berkat international media coverage yang intens tentang eksekusi mati di Indonesia, Indonesia disejajarkan dengan negara-negara non-demokratis dan tidak menjunjung HAM seperti banyak negara Benua Afrika serta Arab Saudi, Irak, dan Tiongkok. Persepsi komunitas internasional bahwa Indonesia tidak menghargai HAM sangat tidak diinginkan karena sejak reformasi bergulir 1998, Indonesia berupaya memperbaiki HAM agar kita dipandang sebagai negara yang antusias memasuki era baru dengan norma-norma baru.
    6. Pelaksanaan eksekusi mati akan menghambat pencapaian salah satu prioritas kebijakan luar negeri di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Pemerintah Indonesia telah menetapkan tiga prioritas kebijakan luar negeri, salah satu diantaranya adalah perlindungan warga negara termasuk mereka para buruh migran. Saat ini, ada 38 WNI di Arab Saudi dan 168 WNI di Malaysia yang terancam hukuman mati. Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi warga negara tersebut dengan melakukan upaya maksimal agar para WNI tidak dieksekusi mati. Indonesia dapat memanfaatkan Komite HAM OKI, di mana Indonesia memiliki komisioner di sana, untuk memprotes kebijakan Arab Saudi dan Malaysia. Namun eksekusi mati yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di dalam negeri telah menggerus legitimasi Indonesia untuk melakukan advokasi tersebut

Rekomendasi

  1. SETARA Institute merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan rencana eksekusi mati terhadap para terpidana mati dan meminta Pemerintah Indonesia melakukan moratorium, sesuai dengan peringatan yang disampaikan Dewan HAM PBB. Pada masa moratorium, SETARA Institute merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia melakukan review terhadap perundang-undangan yang masih memiliki hukuman mati dengan semangat untuk menghapuskannya. Selain hal tersebut sesuai dengan pesan yang ada di konstitusi Indonesia, penghapusan hukuman mati akan memperbaiki citra Indonesia dalam kaitannya dengan HAM yang kemudian bisa menjadi basis penguatan soft power Indonesia dalam politik luar negeri.

Contact Person:

Hendardi (Ketua Badan Pengurus) : 0811170944
Bonar Tigor Naipospos (Wakil Ketua Badan Pengurus) : 0811819174
M. Ghufron Mustaqim (Peneliti Setara Institute) : 085227995026

www.setara-institute.org
@SuaraSETARA

DOWNLOAD
Temuan Pokok Riset tentang Pemetaan Implikasi Politik Eksekusi Mati pada Hubungan Internasional Indonesia

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*