Jakarta – Setara Institute melakukan survei soal Indeks Kinerja HAM (IKH) Indonesia tahun 2016. Hasilnya, IKH tahun ini meningkat meski tidak signifikan.
Survei ini dilakukan dalam rangka peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh setiap tanggal 10 Desember. Ini adalah survei ketujuh yang dilakukan Setara Institute.
“Indeks HAM cenderung meningkat,” ungkap Peneliti HAM Setara Institute, Ahmad Fanani Rosyidi pada rilis IKH 2016 di Kantor Setara Institute, Jl Hang Lekiu II, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (12/12/2016).
Dalam survei IKH ini, metode yang digunakan adalah purposive sampling dengan menggunakan angket/kuesioner untuk pengumpulan datanya. Pengumpulan data dikoleksi berbasis web (web based survei).
Responden yang dijangkau Setara Institute untuk survei ini dari 19 Provinsi dengan waktu pelaksanaan dari 5 November-5 Desember 2016. Lembaga survei ini menetapkan 202 ahli yang terdiri dari akademisi, peneliti, aktivis, tokoh masyarakat dan lainnya sebagai responden ahli.
“Bahwa dalam demografi 160 orang laki-laki, 42 orang perempuan. Pendidikan 489 persen S1 dan sisanya diploma dan lain-lain. Domisili responden melakukan survei 19 provinsi paling dominan Jakarta,” terang dia.
Ada delapan variabel utama yang dijadikan alat ukur pada survei ini. Pada variabel-variabel tersebut, survei ingin menangkap persepi responden ahli yang cenderung positif terhadap kinerja HAM pemerintah dalam kurun waktu 2016.
“Pada survei 2016 terdapat 2 variable yakni kebebasan beragama atau berkeyakinan (-0.1 menjadi 2.47) serta kebebasan berekspresi dan berserikat (-0.08 menjadi 2.1) cenderung menurun. Sedangkan 6 lainnya cenderung naik,” jelas Ahmad.
“Kriminalisasi aktivis meningkat dari 23 peristiwa menjadi 32 peristiwa pada 2016. Ada pula kekerasan terhadap jurnalis ada 46 peristiwa. Soal indikator perlindungan warga negara di luar negeri, Indonesia dinyatakan gagal oleh responden, terhadap kasus Abu Sayyaf yang menyandera WNI, terhitung 6 kali penyanderaan,” imbuh Ahmad.
Adapun 6 varibel lain yang dianggap meningkat adalah sebagai berikut:
1. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu 1.99 (+0.27)
2. Rasa aman warga dan perlindungan warga negara 3.32 (+0.85)
3. Penghapusan hukuman mati 2.68 (+0.69)
4. Penghapusan diskriminasi 3.31 (+0.45)
5. RANHAM dan Kinerja Lembaga HAM 3.38 (+0.75)
6. Pemenuhan hak atas ekonomi, sosial, dan budaya 3.36 (+0.14)
“Jika diakumulasi, maka total skor Indeks Kinerja HAM 2016 berada pada angka 2,86 meningkat 0,38 poin,” ucapnya.
Setara Institute menyoroti soal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang indeksnya naik. Dari tahun 2016 sebesar 1.72 menjadi 1.99 di tahun ini.
“Kenaikan skor pada variabel ini didukung oleh rencana pemerintah menyelesaikan perkara pelanggaran HAM masa lalu, meski hingga kini belum terwujud. KKR Aceh justru telah terbentuk dan mulai bekerja, dipersepsi sebagai langkah awal penyelesaian kasus. Sementara, pasca putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) tentang perintah membuka dokumen TPF Munir, meski dinyatakan hilang oleh Setneg, cukup memberi sentimen positif meski tidak signifikan.” papar Ahmad.
“Namun semua prakarsa itu nyaris pupus, saat perombakan kabinet II, Jokowi menunjuk Wiranto sebagai Menko Polhukam dan tidak menyentuh posisi Jaksa Agung M. Prasetyo meski tidak punya prestasi. Dua pejabat penentu pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu itu, dipersepsi dapat menjadi penghalang penuntasan 11 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” sambungnya.
Peningkatan IKH itu menurut Ahmad menggambarkan meningkatnya kepercayaan responden ahli pada janji pemerintahan Jokowi-JK yang pada tahun ketiga kepemimpinannya akan memberikan fokus pada reformasi hukum dan HAM. Setara Institute menilai belum meningkatnya indeks HAM secara signifikan disebabkan oleh komitmen pemerintah di bidang HAM yang belum terpenuhi.
“Artinya sudah 2 tahun pemerintahan Jokowi-JK pada bidang HAM tidak menunjukkan kemajuan. Dalam masa pemerintahan Jokowi-JK sudah dua tahun berfokus pada pembangunan ekonomi dan struktur hukum, tapi tidak dengan HAM,” tutup Ahmad.
(elz/rvk)