ROTASI ANTARMATRA DALAM PERGANTIAN PANGLIMA TNI
Beberapa satuan TNI (Photo: © irwan.net)

ROTASI ANTARMATRA DALAM PERGANTIAN PANGLIMA TNI

 

Oleh: Ikhsan Yosarie (Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute/Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Wacana pergantian Panglima TNI kembali muncul ke permukaan setelah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto segera memasuki masa pensiun. Marsekal Hadi Tjahjanto yang dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 8 Desember 2017 (usia 54), pada November 2021 akan genap berusia 58 tahun, yang merupakan batas usia untuk pensiun bagi perwira TNI sebagaimana diatur pada Pasal 53 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (Selanjutnya disebut UU TNI).

Pergantian ini menarik disimak bukan hanya karena persoalan alih kepemimpinan, namun tentang upaya melanjutkan rotasi antarmatra angkatan, yakni yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU), dalam pergantian Panglima TNI. Pada masa Orde Baru, posisi Panglima ABRI berasal dari AD, mulai dari Jenderal Soeharto sampai yang terakhir Jenderal Wiranto. Pemerintahan Gus Dur telah memelopori rotasi ini sebagai bagian penting dalam reformasi internal TNI, setelah menunjuk Laksamana Widodo A.S dari AL sebagai Panglima TNI.

Pascareformasi, secara umum rotasi antarmatra pada posisi Panglima TNI telah berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat melalui komposisi mereka yang pernah menjadi Panglima TNI, Laksamana Widodo (AL), Jenderal Endriartono Sutarto (AD), Marsekal Djoko Suyanto (AU), Jenderal Djoko Santoso (AD), Laksamana Agus Suhartono (AL), Jenderal Moeldoko (AD), Jenderal Gatot Nurmantyo (AD), dan sekarang Marsekal Hadi Tjahjanto (AU). Meskipun, melalui komposisi tersebut kita dapat melihat rotasi yang macet dan dominasi salah satu matra angkatan. Meskipun hal ini merupakan domain preogratif Presiden dan disepakati DPR, namun tetap kedudukan dan kesederajatan tiap-tiap matra Angkatan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan Panglima TNI.

Pergiliran ini tentu dilakukan untuk menghindari dominasi salah satu matra Angkatan dalam kesatuan TNI. Dominasi salah satu Angkatan berpotensi menciptakan suasana dan kondisi yang tidak konstruktif, karena tiap-tiap Angkatan mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat, sesuai dengan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Lebih lanjut, perihal ini juga diperjelas pada Pasal 13 ayat (4) nya, bahwa jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.

Isu Lobi Politik

Ditengah wacana pergantian Panglima TNI ini, beberapa hari lalu kemudian muncul isu terkait lobi-lobi politik pihak tertentu untuk mendorong KSAD untuk memegang tongkat estafet komando TNI, menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI (Tempo, 13/6/2021). Kemunculan isu lobi-lobi politik dalam pemilihan Panglima TNI perlu menjadi kekhawatiran lantaran berpotensi mengganggu profesionalitas TNI.

Posisi pucuk pimpinan TNI perlu dipastikan steril dari upaya-upaya kepentingan atau intervensi politik kelompok tertentu untuk menghindari perebutan jabatan yang dapat menyebabkan ketidakkondusifan untuk internal TNI. Kesterilan ini juga perlu untuk memastikan netralitas dan profesionalitas TNI, terutama Panglima TNI, dalam agenda-agenda politik praktis seperti Pemilu dan Pilkada, karena tidak memiliki hutang politik pada kelompok tertentu. Pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI.

Sorotan terhadap calon-calon Panglima TNI, pada dasarnya bukan saja mengarah kepada siapa sosok dan bagaimana kapasitasnya, tetapi asal matra Angkatannya. Realitas bahwa utusan dari AD masih mendominasi posisi Panglima TNI pascaorde baru merupakan persoalan yang tidak bisa dianggap sepele, karena stabilitas internal TNI bisa menjadi terganggu. Pada tahun 2015, salah satu purnawirawan TNI AU pernah mengkritik persoalan ini. Presiden Joko Widodo perlu memperhatikan rotasi antarmatra dalam pemilihan posisi Panglima TNI, sebagaimana diatur pada Pasal 13 poin 4 UU TNI bahwa jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.

Menghindari Dominasi

Namun demikian, jika disimak betul Pasal 13 poin 4 tersebut, memang terdapat potensi ketidak-harusan tentang rotasi antarmatra. Potensi tersebut muncul melalui Frasa “dapat” dalam kalimat “jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian” yang memiliki tafsiran lain, yaitu boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan, ihwal pergiliran posisi Panglima TNI.

Beda halnya jika kata “harus”, maka secara jelas pasal tersebut mewajibkan bahwa posisi Panglima TNI itu bergantian pada tiap-tiap matra Angkatan. Akan tetapi, sekali lagi rotasi antarmatra ini perlu dilakukan untuk menghindari dominasi salah satu matra dalam kesatuan TNI, terutama dalam kaitannya dengan dominasi terhadap posisi Panglima TNI. Dominasi salah satu Angkatan tidak menciptakan suasana dan kondisi yang positif, karena tiap-tiap Angkatan mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat, sesuai dengan pasal 4 ayat (2) UU TNI.

Presiden Joko Widodo juga perlu melanjutkan trennya dalam melakukan rotasi antarmatra posisi Panglima TNI, sebagaimana telah diiniasi oleh Gus Dur pada masa pemerintahannya. Kedudukan dan kesederajatan antarmatra bisa kita pahami sebagai kesamaan hak tiap-tiap matra atas posisi Panglima TNI. Setelah melantik Marsekal Hadi Tjahjanto (AU) sebagai Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo (AD), maka tentu rotasi matra berikutnya adalah AL. Presiden Joko Widodo perlu meminimalisir terjadinya dominasi salah satu matra sebagai Panglima TNI pascaorde baru, sebagaimana pernah dilakukan ketika melantik Jenderal Gatot Nurmantyo menggantikan Jenderal Moeldoko, karena keduanya berasal dari matra Darat.

Kemudian, setelah konteks matra angkatan, tentu pemilihan Panglima TNI juga perlu memperhatikan aspek usia dan kapasitas. Konteks kapasitas mungkin tidak terlalu mencolok, karena tentu kualitas para calon Panglima TNI tidak perlu diragukan. Namun berbeda dengan konteks usia. Jika usia calon Panglima TNI juga memasuki masa pensiun, maka akan berimplikasi kepada efektifitasnya sebagai Panglima TNI. Singkatnya masa jabatan sebagai Panglima TNI, misalnya kurang dari 1 tahun, maka akan berpotensi menimbulkan ketidakefektifan implementasi atas perencanaan pembangunan dan pengelolaan organisasi TNI, termasuk nantinya jika Panglima TNI berikutnya memiliki perencanaan yang berbeda. Pada poinnya, kita ingin membangun TNI yang kuat dan professional.

Selain itu, Indonesia sebagai negara maritim, memiliki kebutuhan mutlak atas pembangunan kekuatan pertahanan dibidang laut. Pelbagai ancaman, seperti konflik Laut China Selatan, menjadi cerminan atas kebutuhan pembangunan kekuatan pertahanan laut yang mumpuni, terutama pada bidang alat utama sistem persenjataan. Posisi matra AL sebagai Panglima TNI dapat mendorong perhatian dan penguatan pada aspek ini.[]

Note:
Tulisan ini juga telah terbit di Koran Tempo, pada tanggal 28 Juni 2021. Sila baca di sini.

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*