A. Tentang IKT
2020 Laporan tentang Indeks Kota Toleran (IKT) 2020 ini merupakan laporan keempat SETARA Institute yang disusun untuk mempromosikan praktik-praktik toleransi terbaik kota-kota di Indonesia. Tujuan dari IKT ini adalah untuk memberikan baseline dan status kinerja pemerintah kota dan pengetahuan bagi masyarakat tentang kondisi toleransi di 94 kota di Indonesia.
Pengukuran yang dilakukan SETARA Institute menggunakan paradigma negative rights sesuai dengan karakter kebebasan beragama/berkeyakinan yang merupakan rumpun kebebasan sipil-politik, yang diukur secara negatif. Selain pendekatan negatif, Indeks Kota Toleran juga memeriksa tindakan positif pemerintah kota dalam mempromosikan toleransi, baik yang tertuang dalam kebijakan, pernyataan resmi, respon atas peristiwa, maupun upaya membangun budaya toleransi di masyarakat.
B. Definisi Operasional
Secara operasional, dalam konteks studi ini, SETARA Institute menurunkan konsep toleransi pada beberapa variabel sistemik di kota yang mempengaruhi perilaku sosial antar identitas dan entitas warga kota, yaitu meliputi kebijakan-kebijakan pemerintah kota, tindakan-tindakan aparatur pemerintah kota, perilaku antar entitas di kota termasuk warga dengan warga, pemerintah dengan warga, dan relasi-relasi dalam heterogenitas demografis warga kota.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan Kota Toleran dalam studi indexing ini didefinisikan sebagai kota yang memiliki beberapa atribut sebagai berikut:
- Pemerintah kota tersebut memiliki regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, baik dalam bentuk perencanaan maupun pelaksanaan.
- Pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota tersebut kondusif bagi praktik dan promosi toleransi.
- Di kota tersebut, tingkat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan rendah atau tidak ada sama sekali.
- Kota tersebut menunjukkan upaya yang cukup dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya.
C. Kerangka Metodologis
Dalam penelitian Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2020, SETARA Institute menggunakan kerangka Brian J. Grim dan Roger Finke (2006) yang dimodifikasi dengan variabel lain, yaitu komposisi penduduk berdasarkan agama. Komposisi penduduk menjadi salah satu parameter dalam mengukur indikator toleransi dalam tata kelola kota.
Objek studi ini adalah 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia. Penggabungan kota-kota administrasi di DKI Jakarta menjadi DKI Jakarta disebabkan kota-kota tersebut tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan, sehingga tidak valid untuk dinilai secara terpisah.
Unit analisis pada indexing ini adalah kota. Artinya data-data yang dikumpulkan berada di tingkat kota yang menggambarkan pencapaian, permasalahan, dan tantangan pemerintah dan masyarakat kota dalam promosi dan praktik toleransi di kota tersebut.
Mengacu pada definisi operasional di atas dan berdasarkan pada kerangka indexing, ahli dan lembaga studi yang lain, studi ini menetapkan 4 (empat) variabel dengan 8 (delapan) indikator sebagai alat ukur, yaitu:
A) Regulasi Pemerintah Kota [Indikator 1: Rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya dan indikator 2: Kebijakan diskriminatif].
B) Tindakan Pemerintah [Indikator 3: Pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi dan indikator 4: Tindakan nyata terkait peristiwa].
C) Regulasi Sosial [Indikator 5: Peristiwa intoleransi dan indikator 6: Dinamika masyarakat sipil terkait peristiwa intoleransi].
D) Demografi Agama [Indikator 7: Heteregonitas keagamaan penduduk dan indikator 8: Inklusi sosial keagamaan].
Selain itu, dalam melakukan scoring pada rubrik subsub indikator, sebagaimana IKT 2018, ini SETARA Institute memasukkan aspek, yaitu gender, inklusi sosial, dan partisipasi masyarakat sipil, sebagai konsiderasi yang dinilai.
Sumber data penelitian untuk mengukur indikator di atas diperoleh dari dokumen resmi pemerintah kota, data Badan Pusat Statistik (BPS), data Komnas Perempuan, data SETARA Institute, dan referensi media terpilih. Data tersebut dalam bentuk: RPJMD Kota, peraturan daerah/kebijakan kota, peristiwa yang menggambarkan terjadinya intoleransi, tindakan nyata pemerintah kota, pernyataan pemerintah dalam merespons peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, demografi penduduk berdasarkan agama, dan data inklusi sosial keagamaan.
Scoring dalam studi ini menggunakan skala dengan rentang nilai 1-7, yang menggambarkan rentang gradatif dari kualitas buruk ke baik. Artinya, 1 merupakan score untuk situasi paling buruk pada masing-masing indikator untuk mewujudkan kota toleran, sedangkan 7 adalah score untuk situasi paling baik pada masing-masing indikator untuk mewujudkan kota toleran.
Dengan mempertimbangkan perbedaan tingkat pengaruh masing-masing indikator terhadap situasi faktual toleransi di kota, SETARA Institute melakukan pembobotan dengan persentase yang berbeda terhadap skor akhir. Kombinasi pembobotan tersebut menghasilkan persentase akhir pengukuran sebagai berikut: 1) Rencana Pembangunan (10%), 2) Kebijakan Diskriminatif [20%], 3) Peristiwa Intoleransi (20%), 4) Dinamika Masyarakat Sipil (10%), 5) Pernyataan Publik Pemerintah Kota [10%], 6) Tindakan Nyata Pemerintah Kota [15%], 7) Heterogenitas agama [5%], dan 8) Inklusi sosial keagamaan (10%).
Untuk menjamin validitas data hasil scoring, studi ini melakukan tiga teknik sekaligus; (1) triangulasi sumber, (2) hasil self assessment pemerintah kota melalui kuesioner yang disebarkan dan (3) Experts meeting series atau pertemuan serial para ahli untuk mengkonfirmasi data sementara hasil score.
D. Hasil dan Temuan
Bagaimana potret hasil temuan indeks kota toleran 2020 ini? selengkapnya sila download di link berikut:
2 comments
Pingback: Salatiga Jadi Kota Paling Toleran se-Indonesia - Sahabat Katolik
Pingback: Walikota Salatiga: Semailah Perdamaian di Manapun Berada