Polisi Antidemokrasi, Berpolitik Membela Stigma Anti-PKI
Para lansia yang akan mengikuti seminar. Foto: tirto.id

Polisi Antidemokrasi, Berpolitik Membela Stigma Anti-PKI

Pelarangan kegiatan diskusi Pengungkapan Sejarah Indonesia 1965-1966, pada tanggal 16-17 September 2017 di Kantor YLBHI merupakan pembubaran kegiatan serupa yang paling serius, yang terjadi sejak 1 tahun terakhir. Bahkan pada peristiwa 16 September 2017 tersebut polisi melakukan berbagai bentuk pelanggaran bukan hanya melarang berdiskusi tetapi juga melakukan penggledahan dan penyitaan illegal, pengrusakan, dan pengancaman. Polisi yang ingkar janji dengan panitia pelaksana juga menunjukkan bahwa institusi kepolisian sangat antidemokrasi dan berpolitik membela stigma anti-PKI berdasarkanhoax yang menyebar beberapa hari sebelumnya.

Sebagaimana diketahui, kepemimpinan Jokowi menghadapi serangan serius stigma mendukung PKI dan membiarkan kader-kader PKI bangkit dan menduduki sejumlah jabatan strategis. Isu ini terus dihembuskan oleh lawan politik Jokowi yang secara sistematis berpotensi melemahkan elekatbilitas Jokowi pada 2019. Jokowi menunjukkan kegeramannya atas berbagai tuduhan tersebut. Namun, cara polisi merespons kegelisahan Jokowi justru menunjukkan institusi Polri berpolitik, karena tidak bekerja berdasarkan fakta peristiwa dan fakta hukum, melainkan melakukan generalisasi bahwa setiap kegiatan yang dianggap mempromosikan PKI harus dilarang. Cara ini bukan hanya antidemokrasi, tetapi juga keliru dan melanggar Konstitusi dan hak asasi manusia.

Polri tidak perlu merasa menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas menguatnya hoaxkebangkitan PKI dengan tindakan-tindakanextrajudicial yang melampaui batas. Justru dengan kegiatan diskusi-diskusi ilmiah, hoax kebangkitan PKI dapat dicegah, karena publik memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang peristiwa 1965. Dengan terus membungkam masyarakat mendiskusikan versi lain tentang peristiwa 1965, stigma yang diarahkan kepada Jokowi dan orang-orang dekat Jokowi tidak bisa diklarifikasi.

Membubarkan kegiatan diskusi adalah cara pembungkaman konvensional yang tidak akan efektif melanggengkan kekuasaan. Selain represif, pembubaran itu juga bentuk pembatasan kebebasan berpikir, berpendapat, dan berkumpul.

Kapolri Tito Karnavian tidak bisa berpangku tangan menyaksikan jajarannya melakukan tindakan represif. Kapolri juga tidak bisa membiarkan tindakan antidemokrasi dan pembelaan atas stigma PKI pada rezim ini dengan cara-cara represif dan kontraproduktif. Ada banyak cara membebaskan tuduhan dan stigma PKI pada rezim ini, salah satunya dengan membiarkan setiap masyarakat mendiskusikan secara terbuka tentang apa yang terjadi di 1965 dan mengambil langkah politik kepresidenan pengungkapan kebenaran dan keadilan atas peristiwa kejahatan kemanusiaan itu.

Pendekatan represif hanya menyenangkan penyebar hoax dan kekuatan-kekuatan yang mempolitisasi isu PKI di tengah kontestasi politik. Pendekatan represif ini pula yang justru akan mengoyak dukungan kelompok prodemokrasi pada Jokowi dan mengikis elektabilitasnya saat kontestasti politik itu tiba.

Narahubung:
Ismail Hasani (Direktur Riset SETARA Institute): 081213931116

Unduh filenya di sini

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*