Terbongkarnya praktik perdagangan dan penggunaan vaksi palsu menggambarkan lemahnya perlindungan hak atas kesehatan bagi warga negara. Hak atas kesehatan adalah hak yang dijamin oleh Konstitusi RI dan instrumen internasional HAM. Negara memiliki kewajiban generik untuk mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak asasi tersebut. Peristiwa pelanggaran ini juga menggambarkan bahwa negara abai dalam mengawasi supply chain vaksin bagi warga negara. Kelalaian negara yang dalam hal ini dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanandapat dikualifikasi sebagai tindak by omission/ pembiaran yang dilakukan oleh negara. Apalagi peristiwa tersebut berlangsung sejak 2003.Penggunaan vaksin palsu di 14 rumah sakit dan 8 klinik di Jabodetabek hanyalah kasus yang terekspos.
Kejahatan pada sektor kesehatan, sebelumnya juga terjadi dalam kasus jual beli ginjal yang diprakarsai oleh pebisnis rumah sakit. Terbongkarnya praktik vaksin palsu untuk mengeruk keuntungan oleh pihak rumah sakit dapat dijadikan pintu masuk mengembangkan penyelidikan mengenai pelanggaran atau kejahatan lain yang dilakukan sektor bisnis kesehatan.
Setiap kepala rumah sakit pengguna vaksin palsu harus dimintai pertanggungjawabannya. Kepala rumah sakit merupakan unsur yang paling bertanggung jawab dalam kasus vaksin palsu. Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, kepala rumah sakit layaknya direktur utama (Chief Executive Officer) dalam sebuah perseroan. Setiap kegiatan rumah sakit tidak mungkin tidak diketahui oleh kepala rumah sakit. Apalagi pengadaan farmasi vital berupa vaksin. Apa yang dilakukan oleh rumah sakit pengguna vaksin palsu dapat tergolong sebagai kejahatan korporasi yang menuntut pertanggungjawaban pimpinan tertinggi korporasi tersebut. Polri harus memastikan pimpinan RS dimintai pertanggungjawaban hukum.
Selain elemen rumah sakit, negara, dalam hal ini Menteri Kesehatan dan BPOM harus dimintai pertanggungjawaban tidak cukup hanya dengan melakukan vaksinasi ulang tetapi juga memastikan terbentukan kebijakan dan tata kelola baru distribusi kefarmasian yang akuntabel dan melindungi hak warga negara.
Untuk melaksanakan hal tersebut, pemerintah dapat menggunakan acuan internasional berupa United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), sebuah dokumen yang khusus dikeluarkan oleh PBB dalam rangka melindungi warga negara dari pelanggaran HAM oleh sektor bisnis. Dokumen yang disetujui Indonesia pada forum PBB 2011 silam, hingga sampai saat ini belum diimplementasikan secara nyata di setiap kegiatan bisnis. Di dalam dokumen tersebut terdapat kewajiban audit hak asasi manusia sehingga menjamin perlindungan HAM dari operasionalisasi kegiatan bisnis di Indonesia, termasuk sektor bisnis kesehatan.