LAPORAN KINERJA MAHKAMAH KONSTITUSI 2019-2020
Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute sedang memamparkan laporan kinerja Mahkamah Konstitusi 2018-2019 dalam Konferensi Pers yang diselenggarakan di SETARA Institute pada Minggu (18/8/2019). Foto: SETARA Institute

LAPORAN KINERJA MAHKAMAH KONSTITUSI 2019-2020

Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi 2019-2020
MENDORONG POPULAR CONSTITUSIONALISM SEBAGAI MADZHAB PEMIKIRAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN EKSEKUTIF
SETARA Institute, Jakarta, 17 Agustus 20120

I    PENDAHULUAN

Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi adalah laporan riset tahunan yang disusun oleh SETARA Institute, yang dimulai sejak 2013 saat SETARA Institute melakukan penelitian 10 Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi. Setelah itu, secara reguler pada setiap 18 Agustus SETARA Institute merilis laporan kinerja MK pada tahun berjalan.

Laporan ini merupakan ringkasan dari Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi 10 Agustus 2019-18 Agustus 2020. Laporan tahunan ini merupakan bagian dari partisipasi perayaan Hari Konstitusi, 18 Agustus, yang bertujuan untuk mempelajari kualitas putusan Mahkamah Konstitusi dan mendorong kepatuhan para penyelenggara negara dan warga negara pada Konstitusi RI.

II  METODOLOGI

Penelitian mengambil fokus pada dua lingkup kajian, yakni (1) manajemen peradilan konstitusi dan (2) kualitas putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang (PUU) yang diberi bobot dengan tone positif, yang merujuk pada putusan-putusan berkualitas baik dan progresif menjawab problem konstitusionalitas norma serta memperkuat prinsip rule of law dan promosi hak asasi manusia; tone negatif yang merujuk pada kualitas putusan yang regresif dan melemahkan prinsip rule of law dan demosi hak asasi manusia; dan tone netral untuk menunjuk putusan-putusan yang biasa saja, dimana sudah seharusnya MK memutus suatu perkara yang dipersoalkan.

Riset ini bersandar pada teori popular constitutionalism yang diperkenalkan oleh Bruce Ackerman, yang menegaskan bahwa masyarakat adalah the center of constitutional story atau ultimate drivers of the constitutional changes.[1] Dalam memutus perkara konstitusi, popular constitutionalism menuntut hakim:[2]

  • mengidentifikasi kapan masyarakat telah mengatakan kehendaknya atas sebuah persoalan konstitusionalitas untuk membedakan bahwa isu yang dipersoalkan adalah benar-benar merupakan bentuk popular sovereignty atau kedaulatan rakyat.”[3]
  • penafsir konstitusi harus memberikan keistimewaan terhadap constitutional materials yang benar-benar menggambarkan komitmen yang dibuat oleh masyarakat baik dalam bentuk teks konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi yang transformatif, UU yang penting, atau pidato politik yang penting.[4]
  • penafsir konstitusi harus menentukan apa yang sebenarnya dikatakan oleh rakyat sebagai prinsip konstitusional yang paling penting sebagai acuan analisa dalam penanganan perkara.[5]
  • penafsir konstitusi harus menyatukan prinsip-prinsip konstitusional dari revolusi terkini dengan di masa lalu sebagai dasar menentukan prinsip-prinsip konstitusi baru sebagai pola pengembangan konstitusi.[6]

III TEMUAN RISET

A. Catatan untuk Mahkamah Konstitusi yang Beranjak Dewasa

  1. Hingga berusia 17 tahun, sejak Mahkamah Konstitusi dibentuk pada Agustus 2003, terdapat 333 perkara pengujian undang-undang yang menguji 304 UU. Dari 1.333 perkara, terdapat 222 perkara merupakan perkara yang menguji berbagai UU yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilu, Pilpres dan Pilkada. Sedangkan UU yang paling banyak diuji adalah KUHAP sebanyak 67 kali.
  2. Hingga 17 tahun, MK telah menjadi salah satu mekanisme nasional penegakan HAM yang paling efektif melalui putusan-putusannya yang kondusif dan kontributif pada pemajuan HAM dan demokrasi. Secara kelembagaan dan manajemen perkara, MK telah banyak memperbarui manajemen pengujian UU dengan menutup potensi penyalahgunaan kekuasaan melalui peradilan yang cepat dan transparan (transparent and speedy trial), sebagaimana pernah dialami oleh Akil Mochtar (2013) dan Patrialis Akbar (2017).
  3. Selain mencatatkan kemajuan, terdapat pula catatan kritis atas MK dalam menjalankan kewenangannya menguji konstitusionalitas UU. Terbukti terdapat putusan-putusan MK yang memiliki tone negatif dan membawa kemunduran atau stagnasi dalam pemajuan HAM, demokrasi dan rule of law.
  4. Selama 17 tahun menjalankan kewenangan pengujian konstitusionalitas UU, MK dan hakim-hakim MK belum memiliki paradigma dan madzhab pemikiran yang bisa dikenali dan dipelajari melalui putusan-putusannya. Sebaliknya, lembaga negara pengawal konstitusi ini justru memperagakan inkonsistensi dalam sejumlah putusan. Dalam praktik, MK mengamputasi norma yang telah dibuatnya sendiri pada putusan sebelumnya. Tapi beberapa tahun kemudian, MK justru memutuskan untuk kembali menghidupkan norma yang pernah diamputasi sendiri. Dalam kasus lain, MK justru enggan menyentuh hal-hal yang bersifat politis, padahal di situlah ujian sesungguhnya integritas hakim MK.
  5. Praktik abusif yang pernah diperagakan Akil Mochtar (2013) dan Patrialis Akbar (2017), juga menunjukkan bahwa kelembagaan pengawal konstitusi ini bukanlah institusi yang memiliki immunitas tinggi untuk terjangkit penyakit korupsi atau pelanggaran etik. Selalu ada potensi penyalahgunaan kewenangan, baik dalam bentuk memperdagangkan perkara maupun dugaan memperdagangkan pengaruh sebagaimana terlihat dari pelanggaran etik yang dialami oleh Arief Hidayat (Putusan Dewan Etik 11 Januari 2018).
  6. Setelah genap usia 17 tahun ini, penguatan kelembagaan MK masih menjadi kebutuhan, baik melalui perubahan UU MK oleh DPR dan Presiden maupun oleh MK sendiri, khususnya membangun disiplin berpikir yang berorientasi pada penguatan kualitas putusan maupun penguatan dukungan bagi hakim-hakim MK sebagaimana diidealkan bahwa MK adalah justice office. Justice office mengandaikan bahwa setiap hakim konstitusi memiliki supporting system yang terdiri dari sosok-sosok yang ahli di bidang hukum ketatanegaraan dan ahli multidispilin ilmu.
  7. Kebutuhan akan penguatan MK melalui perubahan UU MK khususnya terkait (a) standarisasi mekanisme seleksi Hakim Konstitusi untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pemilihan Hakim Konstitusi oleh masing-masing lembaga dan (b) penguatan pengaturan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi, khususnya mengadopsi aspirasi tentang pentingnya external oversight committee, sebagaimana pernah diatur dalam Perppu No. 1/2013 tentang Perubahan Kedua UU Mahkamah Konstitusi, yang merespons penangkapan Akil Mochtar pada 2013, tetapi kemudian dibatalkan sendiri oleh MK.
  8. Perihal usia Hakim Konstitusi, yang juga menjadi salah satu topik dalam revisi UU MK, justru bukanlah hal yang dibutuhkan untuk memperkuat Mahkamah. Peningkatan batas minimal usia Hakim MK dari 47 menjadi 60 dan batas pensiun dari 65 menjadi 70 tahun, berikut ketentuan ikutannya yang mengatur perihal Hakim Konstitusi yang belum berusia 60 tahun tidak bisa dipilih kembali untuk periode kedua, jelas merupakan akal-akalan pembentuk UU. Tidak ada argumen akademis yang melatarbelakangi rencana perubahan ini, kecuali dugaan memanjakan Hakim Konstitusi medioker yang ‘loyal’ dengan pembentuk UU.

B. Kualitas Putusan Mahkamah Konstitusi Periode 2019-2020

  1. Sepanjang periode 10 Agustus 2019-18 Agustus 2020, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan 75 putusan pengujian undang-undang. Sebanyak (4) putusan diantaranya adalah putusan kabul, (27) putusan tolak, (32) putusan tidak dapat diterima/NO (niet ontvankelijk verklaard), 10 produk hukum yang berbentuk ketetapan ketetapan dan (2) putusan gugur.

Tabel 1:
Amar Putusan Pengujian UU Periode 2018-2019

No. Amar Putusan Jumlah
1. Kabul 4
2. Tolak 27
3. Tidak dapat diterima 32
4. Gugur 2
4. Ketetapan 10
Jumlah 75
  1. Dari 75 putusan pengujian undang-undang tersebut, secara garis besar dikategorikan pada kluster isu hak sipil dan politik (23) putusan, dikategorikan sebagai isu hak ekonomi, sosial dan budaya (13) putusan dan (39) putusan dikategorikan sebagai isu rule of law.
  2. SETARA Institute memberikan tone positif pada (5) putusan (3 putusan kabul dan 2 putusan tolak), tone negatif (0) putusan, dan selebihnya sebanyak (70) putusan lainnya diberikan tone netral (1 Putusan Kabul, 25 Putusan Tolak, 32 Putusan Tidak Dapat Diterima, 10 Ketetapan, dan 2 Putusan Gugur).

Tabel 2:
Tone Putusan Pengujian UU Periode 2018-2019

No. Tone Jumlah
1. Positif 5
2. Negatif 0
3. Netral 70
Jumlah 75
  1. Putusan-putusan dengan tone positif pada periode riset ini adalah sebagai berikut, yang 2 putusan diantaranya mempersoalkan isu yang sama, yakni terkait potensi krisis legitimasi pemilihan presiden-wakil presiden:
  • pemaknaan kembali frasa “kekuatan eksekutorial” dan “cidera janji” dalam UU Jaminan Fidusia

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, Mahkamah Konstitusi menyeimbangkan posisi pemberi fidusia dan penerima fidusia yang diatur dalam UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia.

(2) menolak upaya dekriminalisasi koruptor di BUMN. Dalam Putusan Nomor 32/PUU-XVII/2019 yang menguji UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan yang dimohonkan oleh perorangan individual, Arie Gumilar (Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)), yang meminta agar frasa “setiap orang” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tidak dimaknai termasuk di dalamnya Pejabat/Pegawai Badan Usaha Milik Negara yang dengan itikad baik melaksanakan aksi korporasi demi tercapainya tujuan dari BUMN.

(3)   menyelematkan potensi krisis legitimasi pemilihan presiden 2019

Dalam Putusan Nomor 36/PUU-XVII/2019 dan Putusan Nomor 39/PUU-XVII/2019, Mahkamah Konstitusi menyelamatkan potensi krisis kepemimpinan nasional dan krisis legitimasi pemilihan presiden 2019 terkait Pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”

  • mengembalikan syarat calon kepala daerah berintegritas. Dalam pengujian UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU (Pilkada), yakni pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf g yang berbunyi “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana yang telah terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”, Mahkamah menyatakan kembali berlaku ketentuan kumulatif syarat kepala daerah mantan terpidana sebagaimana diputus Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 4/PUU-VII/2009.[7]
  1. Terdapat sebanyak 44 UU dan 1 peraturan lainnya yang bukan UU yang diujikan di Mahkamah Konstitusi. UU 7/2017 tentang Pemilu merupakan UU yang paling banyak dimintakan uji konstitusionalitas di MK pada periode tahun ini yakni sebanyak 12 kali pengujian.
  2. Batu uji yang paling banyak digunakan oleh Pemohon adalah dalil-dalil mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, yang juga merupakan salah batu uji yang paling banyak digunakan MK untuk mengabulkan permohonan Pengujian UU ataupun menolak perkara pengujian UU. Dalil pembelaan atas hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI 1945 digunakan sebanyak 42 kali. Kemudian Pasal 1 ayat (3) tentang Negara Indonesia adalah negara hukum digunakan sebanyak 14 kali, dan dalil Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun, digunakan sebanyak (11 kali).
  3. Jika merujuk pada penggunaan dalil pembela yang digunakan ole para pemohon dapat dimaknai bahwa produk UU yang merupakan hasil kerja DPR dan Presiden dipersepsi belum solid dalam hal penjaminan hak atas kepastian hukum, hak untuk bebas dari diskriminasi, dan konsisten dengan prinsip negara hukum. Temuan ini menjadi catatan penting bagi lawmakers untuk terus memastikan kinerja pembentukan UU yang lebih berkualitas.
  1. Dinamika Implementasi Kewenangan Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
  2. Dinamika implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi tergambar dalam proses pengambilan putusan dan pertimbangan hukum setiap putusan. MK mengalami kemajuan signifikan dalam hal disiplin tidak melakukan ultra petita (memutus melebihi permohonan yang dimohonkan) dan ultra vires (memutus dengan melampaui kewenangannya hingga membentuk norma baru). Pada periode riset ini, tidak ditemukan Putusan ultra petita tetapi masih ditemukan praktik ultra vires, dimana Mahkamah Konstitusi membentuk 5 norma baru pada 4 putusannya, yaitu (1) memperketat prosedur eksekusi jaminan fidusia melalui mekanisme yang sama seperti eksekusi putusan pengadilan, (2) menegaskan makna cidera janji adalah kesepakatan debitur dan kreditur, (c) menyatakan ketidakberlakuan ambang batas minimal hasil perolehan pemilihan presiden-wakil presiden yang hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon. (d) mengubah terminologi Panwas menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota sehingga memberikan kepastian hukum dalam UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan (e) perluasan tafsir yang lebih rinci atas ketentuan syarat calon kepala daerah yang merupakan narapidana.
  3. Pada periode riset ini, SETARA Institute menemukan 2 putusan yang menggambarkan inkonsistensi Mahkamah Konstitusi dalam menilai konstitusionalitas suatu norma undang-undang, yaitu pada isu (a) syarat calon kepala daerah yang berstatus mantan terpidana dan (b) tentang cara pandang MK terkait Pilkada sebagai rezim hukum pemilu sesuai Pasal 22E UUD Negara RI 1945.
  4. Pada periode riset ini, putusan perkara PUU mengalami keseragaman pendapat dari 9 Hakim Konstitusi dalam menguji dan memutus konstitusionalitas UU, baik dalam bentuk pendapat berbeda (dissenting opinion) maupun alasan berbeda (concurring opinion).
  5. Pada periode riset ini ditemukan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dalam 4 Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu terkait (a) status single bar organisasi advokat, (b) penetapan jumlah kursi dalam Pemilu, (c) syarat calon kepala daerah independen, dan (d) syarat usia calon kepala daerah.
  6. SETARA Institute menemukan 6 putusan yang merupakan peristiwa kongkret (implementasi norma) yang diajukan ke MK. Atas jenis perkara yang demikian, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan
  7. SETARA Institute mencatat penafsiran norma-norma dalam putusan tolak yang menuntut para penyelenggara negara untuk melakukan tindakan merevisi UU maupun melaksanakan isi norma UU, yaitu:

(1) mendefinisikan sifat tercela dalam Pasal 7 (2) UU 10/2016 menuntut pembentuk UU untuk mengadopsi pendapat MK.

(2) kewenangan penyidikan OJK yang menutut pembentuk UU untuk mengadopsi pendapat MK, OJK dan Polri untuk melakukan koordinasi penyidikan.

(3) penjelasan MK tentang pemidanaan pelaksana BUMN yang merugi sepanjang keputusan tersebut sudah didasari business judgment rule menuntut pembentuk UU untuk melakukan revisi UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan UU lain yang relevan. Pada tahap implementasi juga menuntut hakim perkara pidana, KPK, Polri, dan Kejaksaan untuk mempertimbangkan putusan tafsir MK ini dalam penyelenggaraan peradilan.

(4)   perihal ambang batas perolehan suara minimal dalam Pilpres yang menuntut pembentuk UU untuk melakukan revisi UU 2/2017 tentang Pemilu.

(5) perihal pelaksanaan pemilu serentak yang memungkinkan pembentuk UU mendesain ulang makna keserentakan.

(6)   berlarutnya penyelesaian sengketa informasi yang menuntut KIP memperbarui mekanisme sengketa yang lebih cepat dan adil.

(7) perintah agar pemerintah memperhatikan tenaga honorer dalam penyelenggaraan UU 5/2014 tentang ASN, khususnya terkait rekrutmen ASN.

  1. Manajemen Perkara Peradilan Konstitusi
  2. Prosedur dismissal. Dalam periode riset ini, manajemen perkara pengujian UU mengalami perbaikan yang signifikan. Khususnya terkait lama persidangan oleh MK dalam memutus permohonan yang tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard/NO). Jika dalam periode-periode sebelumnya MK tetap melanjutkan persidangan bahkan sampai 7, 8, 9, atau 12 kali sidang untuk perkara pengujian UU yang tidak dipertimbangkan pokok perkaranya, pada periode ini dari 32 putusan tidak diterima hanya terdapat 4 perkara yang diputus lebih dari 3 kali sidang. Selebihnya sebanyak 28 perkara diputus dalam 3 kali persidangan oleh Mahkamah Konstitusi. Efektivitas penerapan prosedur dismissal, telah memungkinkan penghematan anggaran negara dan alokasi waktu yang maksimal bagi para hakim MK untuk betul-betul memeriksa perkara yang berkualitas.
  3. Waktu berperkara dalam pengujian UU di Mahkamah Konstitusi. Perbaikan signifikan lainnya dalam manajemen perkara pengujian UU di MK adalah terkait lama waktu berperkara. Sebanyak 84% perkara di pengujian UU di MK selesai dalam waktu kurang dari 1 bulan sampai dengan 6 bulan. Ini merupakan praktik speedy trial yang semestinya diikuti oleh berbagai badan peradilan di bawah Mahkamah Agung atau Mahkamah Agung sendiri. Lihat tabel berikut:

 

Tabel 3:

Lama Waktu Berperkara Pengujian UU Di MK

 

No. Lama Berperkara Jumlah Putusan Persentase
1. Lebih dari 16 bulan – 2 tahun 1 1,33%
2. 1 tahun – 15 bulan 2 2,67%
3. 9-12 bulan 1 1,33%
4. 6-9 bulan 8 10,67%
5. 3-6 bulan 23 30,67%
6. 1-3 bulan 35 46,66%
7. Kurang dari 1 bulan 5 6,67%
Jumlah 75 100
  1. Lama waktu pembacaan putusan (PLENO) setelah Rapat Permusya-waratan Hakim (RPH). Jika dalam periode-periode sebelumnya MK dapat menyimpan putusan yang telah disepakati dalam RPH sampai dengan 1,5 tahun, lebih dari 1 tahun 2 bulan, lebih dari 1 tahun 5 bulan, 8 bulan, 9 bulan, 10 bulan, atau 11 bulan[8] dalam periode riset ini Mahkamah Konstitusi menunjukkan kecepatan pembacaan putusan dari RPH hingga pleno. Sebanyak 64% perkara pengujian UU dibacakan dalam waktu kurang dari 1 bulan dari RPH oleh Mahkamah. Kemajuan ini meminimalisir potensi jual beli putusan sebagaimana yang pernah diperankan oleh Patrialis Akbar.

Tabel 4:

Lama Waktu antara RPH-Pleno dalam Pengujian UU

 

No. Jarak RPH-Pleno Jumlah Putusan Persentase
1. 6-9 bulan 1 1,33%
2. >3-6 bulan 3 4%
3. >2-3 bulan 5 6,67%
4. 1-2 bulan 18 24%
5. 16-30 hari 19 25,33%
6. 1-15 hari 29 38,67%
Jumlah 75 100%

 

  1. Ketidakseriusan Pemohon PUU. Angka permohonan perkara pengujian UU yang tidak serius dalam pengujiannya juga tinggi dalam periode riset ini, sebanyak 2 perkara tidak diikuti persidangannya oleh Pemohon sehingga diputus gugur. Sebanyak 10 perkara ditarik kembali oleh pemohon. Dipersentasekan sebanyak 16% perkara pengujian UU di MK merupakan perkara yang diajukan oleh Pemohon yang tidak serius dalam pengujiannya.

Tabel 5:

Permohonan Ditarik Kembali dan Permohonan Gugur

Dalam Perkara Pengujian UU

 

No. Alasan Jumlah
1. Pemohon menarik kembali permohonan Pengujian UU 10
2. Pemohon tidak menghadiri persidangan setelah dipanggil secara sah 2
Jumlah 12

 

 

 

IV  KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

  1. Kesimpulan
  2. Selama 17 tahun, sejak MK dibentuk pada Agustus 2003, terdapat 1.333 perkara pengujian undang-undang yang menguji 304 UU. MK telah menjadi salah satu mekanisme nasional penegakan HAM yang paling efektif melalui putusan-putusannya yang kondusif dan kontributif pada pemajuan HAM dan demokrasi. Meskipun MK dan hakim-hakim MK belum memiliki paradigma dan madzhab pemikiran yang bisa dikenali dan dipelajari melalui putusan-putusannya.
  3. Pembelajaran dari 17 tahun MK juga menunjukkan bahwa kelembagaan pengawal konstitusi ini bukanlah institusi yang memiliki immunitas tinggi untuk terjangkit penyakit korupsi atau pelanggaran etik. Selalu ada potensi penyalahgunaan kewenangan, baik dalam bentuk memperdagangkan perkara maupun dugaan memperdagangkan pengaruh. Oleh karena itu penguatan kelembagaan MK masih menjadi kebutuhan.
  4. Dari segi kualitas putusan, pada periode 10 Agustus 2019-18 Agustus 2020, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan 75 putusan pengujian undang-undang. Sebanyak (4) putusan diantaranya adalah putusan kabul, (27) putusan tolak, (32) putusan tidak dapat diterima/NO (niet ontvankelijk verklaard), 10 produk hukum yang berbentuk ketetapan ketetapan dan (2) putusan gugur.
  5. SETARA Institute memberikan tone positif pada (5) putusan (3 putusan kabul dan 2 putusan tolak), tone negatif (0) putusan, dan selebihnya sebanyak (70) putusan lainnya diberikan tone netral (1 Putusan Kabul, 25 Putusan Tolak, 32 Putusan Tidak Dapat Diterima, 10 Ketetapan, dan 2 Putusan Gugur).
  6. Sementara, MK juga mengalami kemajuan signifikan dalam hal disiplin tidak melakukan ultra petita (memutus melebihi permohonan yang dimohonkan) dan ultra vires (memutus dengan melampaui kewenangannya hingga membentuk norma baru). Pada periode riset ini, tidak ditemukan Putusan ultra petita tetapi masih ditemukan praktik ultra vires, dimana Mahkamah Konstitusi membentuk 5 norma baru pada 4 putusannya.
  7. Dari sisi managemen perkara, prosedur dismissal, managemen waktu berperkara dalam pengujian UU dan lama waktu pembacaan putusan (PLENO) setelah Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), mengalami kemajuan.

B   Rekomendasi

  1. SETARA Institute mendorong pelembagaan popular constitusionalisme sebagai madzhab pemikiran yang menjadi pedoman MK dalam memutus perkara dengan memusatkan kepentingan rakyat sebagai sentrum dasar putusan.
  2. SETARA Institute mendorong MK merealisasikan gagasan justice office dimana setiap hakim konstitusi memiliki supporting system memadai untuk meningkatkan kualitas putusan.
  3. SETARA Institute mendorong DPR dan Presiden untuk memfokuskan revisi UU Mahkamah Konstitusi pada (a) standarisasi mekanisme seleksi Hakim Konstitusi dan (b) penguatan pengaturan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi, khususnya mengadopsi aspirasi tentang pentingnya external oversight committee.
  4. SETARA Institute menolak revisi UU MK yang justru untuk melemahkan MK, salah satunya melalui pengaturan usia minimal hakim MK, yang jelas tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan penguatan MK.

Lampiran I

Daftar Undang-Undang Yang Diujikan Pada Periode 2019-2020

No. Nama Undang-undang yang Diujikan
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. KUHAP
3. KUHP
4. UU 1/46 tentang Peraturan Hukum Pidana
5. UU 1/1974 tentang Perkawinan
6. UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU diubah dengan UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
7. Perpu 1/20 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
8. UU 10/16 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/15 tentang Penetapan Perpu 1/14 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
9. UU 12/1951 tentang Mengubah Ordonantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen
10. UU 12/69 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat
11. UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi
12. UU 14/08 tentang Keterbukaan Informasi Publik
13. UU 16/19 tentang Perubahan Kedua Atas UU 30/02 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
14. UU 16/2001 tentang Yayasan
15. UU 16/2004 tentang Kejaksaan
16. UU 18/2003 tentang Advokat
17. UU 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU 30/02 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
18. UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
19. UU 2/2014 tentang Perubahan Atas UU 30/2004 tentang Jabatan Notaris
20. UU 2/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
21. UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
22. UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
23. UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
24. UU 24/13 tentang Perubahan Atas UU 23/06 tentang Administrasi Kependudukan
25. UU 28/2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta UU 42/2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
26. UU 30/14 tentang Administrasi Pemerintahan
27. UU 31/99 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
28. UU 33/14 tentang Jaminan Produk Halal
29. UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
30. UU 35/2009 tentang Narkotika
31. UU 35/2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2002  tentang Perlindungan Anak
32. UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
33. UU 37/2008 tentang Ombudsman
34. UU 38/2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas di Provinsi Sumatera Utara
35. UU 39/2008 tentang Kementerian Negari
36. UU 4/04 tentang Kekuasaan Kehakiman
37. UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia
38. UU 48/09 tentang Kekuasaan Kehakiman
39. UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara
40. UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
41. UU 7/14 tentang Perdagangan
42. UU 7/17 tentang Pemilihan Umum
43. UU 8/81 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
44. UU 8/2015 tentang Perubahan Atas UU 1/15 tentang Penetapan Perpu 1/14 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
45. PMK 2/2018 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,

[1]Tom Donnelly, Judicial Popular Constitutionalism, (Constitutional Commentary, University of Minnesota Law School, Vol. 30: 5541, 2015), h. 541 & 566.

[2]Lihat juga Inggrit Ifani Supriyanto dan Ismail Hasani, Stagnansi Pemajuan Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara, 2019.

[3]Tom Donnelly, Judicial Popular Constitutionalism, h. 546.

[4]Ibid, h. 547.

[5]Loc.cit.

[6]Loc.cit.

[7]Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.

[8]Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014, Nomor, 58/PUU-XII/2014, Nomor 76/PUU-XII/2014, Nomor 92/PUU-XII/2014, Nomor 106/PUU-XII/2014, Nomor 114/PUU-XII/2014, Nomor 117/PUU-XII/2014, Nomor 122/PUU-XII/2014, Nomor 2/PUU-XIII/2015, Nomor 7/PUU-XIII/2015, 7/PUU-XIII/2015, Nomor 24/PUU-XIII/2015, Nomor 29/PUU-XIII/2015 dan banyak contoh lainnya.

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*