Siaran Pers SETARA Institute, 13 Oktober 2021
Media sosial kembali menjadi sarana yang menunjukkan wajah buruk kinerja aparat Kepolisian. Di tengah sorotan publik mengenai buruknya kinerja Polri, khususnya Polres Luwu Timur, dalam penanganan kasus dugaan pencabulan hingga melahirkan #PercumaLaporPolisi yang viral di Twitter, video yang memperlihatkan brutalitas aparat Kepolisian dalam penanganan massa demonstrasi kembali tersebar di media sosial.
Demonstrasi terjadi di depan kantor Bupati Tangerang, Provinsi Banten (13/10/2021). Dalam video yang telah beredar luas tersebut, terlihat seorang aparat Kepolisian membanting salah seorang massa aksi dengan posisi badan belakang menghantam trotoar. Dalam video itu juga, terlihat akibat dari bantingan, korban mengalami kejang-kejang dan kehilangan kesadaran.
Massa demonstrasi yang seharusnya dilindungi hak-hak konstitusionalnya dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi, justru disambut bantingan dan tindakan kekerasan lainnya oleh aparat di lapangan.
SETARA Institute berpandangan bahwa:
1. Tindakan kekerasan, dalam kasus yang baru terjadi berupa bantingan, yang dilakukan oleh aparat Kepolisian terhadap massa aksi jelas tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh ditolerir. Polri telah gagal memahami bahwa sebagai aparatur pemerintah, Polri berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia dan menyelenggarakan pengamanan sebagaimana amanat Pasal 7 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Keduanya merupakan tanggungjawab yang harus dipenuhi secara bersamaan, bukan secara alternatif dengan dalil menyelenggarakan pengamanan namun abai akan perlindungan HAM.
2. Tindakan aparat yang membanting salah satu peserta aksi demonstrasi tersebut tentu hanya salah satu contoh pelbagai tindak kekerasan aparat dalam setiap penanganan demonstrasi. Hal ini menunjukkan minimnya implementasi konsep Presisi Polri di lapangan, terutama oleh anggota-anggota. Polri yang humanis sama sekali tidak tercermin dalam tindakan-tindakan demikian. Kapolri semestinya melakukan evaluasi terkait visi Polri Presisi terhadap pelbagai jajarannya di daerah. Termasuk merancang indikator-indikator terukur yang wajib dipedomani oleh setiap anggota Polri.
3. Atas tindakan kekerasan oleh oknum Polri, SETARA mengingatkan kepada Polri untuk kembali menilik Pasal 18 ayat (1) UU a quo, bahwa Polri dapat dikenai pidana penjara akibat cara kekerasannya dalam menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
4. Tindakan kekerasan aparat yang terlihat jelas dalam video yang telah beredar jangan sampai direduksi hanya dengan video-video yang memperlihatkan kondisi korban yang telah atau masih baik-baik saja. Selain rentan di rekayasa dan penuh tekanan, model penyelesaian demikian juga melahirkan impunitas aparat dan menihilkan pertanggungjawaban. Cara-cara konvensional menutupi praktik kekerasan seperti ini hanya menimbulkan kecaman lanjutan dari publik dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
5. Selain menindak dan menghukum pelaku kekerasan, Kapolri memberikan sanksi kepada Kapolres Kabupaten Tangerang sesuai derajat kelalaiannya. Jika perlu copot dari jabatan agar menjadi preseden dan efek jera bagi pimpinan-pimpinan Kepolisian daerah yang tidak tegas mendisiplinkan anggota-anggotanya dalam bertugas.[]
Narahubung:
1. Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, 0822 8638 929
2. Sayyidatul Insiyah, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, 0895 3669 15954