LAPORAN KONDISI KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN DI INDONESIA TAHUN 2019
(Ilustrasi Politik: Wokandapix/Pixabay)

LAPORAN KONDISI KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN DI INDONESIA TAHUN 2019

Cover Kbb 2019Pengantar

Kebebasan beragama/berkeyakinan dan pengutamaan stabilitas politik dan keamanan di tahun politik adalah potret kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di tahun 2019 di mana pada tahun tersebut diselenggarakan hajatan politik nasional: Pemilu. Sekalipun variabel Pemilu tidak menjadi topik utama dalam kajian riset dan pemantauan ini, akan tetapi posisi tahun politik telah menegaskan dua hal sekaligus, pertama, kesigapan pemerintah dalam menangani potensi gejolak yang bersumber dari isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) sehingga tidak menimbulkan persoalan lanjutan yang mengganggu dinamika politik dan keamanan nasional. Kesigapan pemerintah pada periode tahun politik bukanlah genuine ditujukan untuk melindungi kebebasan beragama/berkeyakinan dan melindungi kelompok minoritas agama/kepercayaan lainnya, sekalipun pada tahun politik tren pelanggaran selalu menurun, tetapi kesigapan itu yang utama adalah ditujukan untuk membela agar mereka yang berkontes tidak terganggu oleh situasi yang tidak stabil dan kondusif.

Kedua, pada saat bersamaan penggunaan isu agama dalam kontestasi Pemilu juga menguat. Sekalipun menguat, laporan ini tidak mencatatnya sebagai sebuah pelanggaran, jika tindakan tersebut belum memanifes menjadi tindak pidana yang dilakukan oleh aktor-aktor individu maupun menjadi tindakan pelanggaran HAM yang melibatkan negara. Sebagaimana banyak disebut dalam laporan SETARA Institute, isu agama adalah kapital politik paling murah meriah bagi para avonturir politik yang berkontes dalam setiap hajatan politik. Tapi isu agama pula yang paling membahayakan kohesi sosial sebuah bangsa. SETARA Institute mencatat politisasi agama sebagai bentuk politik identitas yang dalam laporan ini menjadi salah satu isu yang disorot dan memperoleh banyak analisis, karena dalam konstruksi hak asasi manusia, politisasi agama tidak pernah bisa dibenarkan karena dipastikan menimbulkan korban dari kelompok atau individu yang menjadi sasaran diskriminasi. Sekalipun oleh sebagian ahli politisasi identitas dianggap sebagai bagian dari kreasi politik elektoral, tetapi perspektif hukum dan HAM tidak pernah mengafirmasi praktik ini.

Tulisan dalam laporan ini tampil sedikit berbeda dari biasanya, karena SETARA Institute menghadirkan Muhammad Hafiz, Direktur Human Rights Working Group on International Advocacy (HRWG), sebuah organisasi koalisi dimana saya juga menjadi salah satu pendirinya, sebagai penulis tamu. Kiprah Hafiz dalam advokasi internasional memberikan warna tersendiri dalam laporan ini, utamanya bagian-bagian dinamika internasional dalam isu kebebasan beragama/berkeyakinan dan bagaimana dunia internasional memberikan judgement serta penilaian pada kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Sementara materi-materi lain diadaptasi oleh Ismail Hasani, peneliti senior dan sekaligus Direktur Eksekutif SETARA Institute.

Pola ini sengaja dilakukan oleh SETARA Institute untuk menghadirkan nuansa baru dalam setiap laporannya, termasuk menghindari kebuntuan gagasan dan frustasi kolektif dalam menulis dan mengadvokasi sesuatu yang dari tahun ke tahun belum menunjukkan achievement berarti.

Laporan ini ditulis satu tahun setelah draft pertama laporan kebebasan beragama/berkeyakinan ini tersedia. Karena alasan berbagai hal, maka penerbitannya menjadi terlampau terlambat. Meski terlambat, laporan ini tetap menarik untuk dibaca, didiskusikan dan digunakan sebagai baseline riset dan advokasi bagi banyak pihak. Kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penulisan laporan ini, SETARA Institute mengucapkan terima kasih.

Jakarta, Maret 2020
Ketua Badan Pengurus,

Hendardi

Laporan selengkapnya sila unduh di sini

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*