Siaran Pers SETARA Institute
7 Juni 2025
Hingga jelang pertengahan tahun 2025, artinya setelah lebih dari enam bulan Pemerintahan Prabowo Subianto, kasus-kasus intoleransi semakin marak. Pemerintah harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin hak konstitusional atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).
Di Kota Banjar, Jawa Barat, kembali terjadi pelanggaran KBB terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Tim Penanganan yang diketuai oleh Kepala Kemenag Kota Banjar bersama sekitar 30 orang mendatangi Masjid Istiqamah milik JAI Kota Banjar dengan maksud menyegel kembali masjid tersebut dan memberikan batas waktu sampai Selasa 9 Juni 2024 untuk mengosongkan, dengan dasar Perwali No. 10 Tahun 2011 tentang Pembekuan Aktivitas JAI di Kota Banjar. Kebijakan diskriminatif tersebut mendasarkan diri pada Pergub Jabar No. 12 Tahun 2011, yang sudah pernah direkomendasikan oleh Kemenkumham RI untuk dicabut karena melanggar HAM. SKB 3 Menteri No 3 Tahun 2008 juga menjadi dasar hukum yang dirujuk untuk melakukan diskriminasi atas Ahmadiyah.
Peristiwa pelanggaran KBB di Kota Banjar bukanlah kasus tunggal. Sekedar memberikan contoh, beberapa kasus intoleransi juga mendapatkan perhatian luas publik. Pada awal bulan Juni ini, Rektor IAIN Manado membatalkan agenda bedah buku “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah”, setelah mendapat tekanan dari MUI Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara. Pembatalan ini menunjukkan betapa lemahnya perlindungan negara hak konstitusional untuk beribadah dan kebebasan berekspresi.
Sebelumnya, pada Mei 2025, warga Samarinda kembali menolak pendirian Gereja Toraja Kelurahan Sungai Keledang, yang mereka tolak pada tahun sebelumnya. Ketegangan sosial kembali mengemuka menyusul munculnya spanduk-spanduk penolakan terhadap rencana pendirian Gereja Toraja di Kelurahan Sungai Keledang. Spanduk-spanduk penolakan terpasang di beberapa titik strategis wilayah Sungai Keledang, seperti di bawah Flyover Jembatan Mahakam IV, dekat Kantor Kelurahan, dan di sekitar permukiman warga RT 24.
Sementara itu, proses pendirian Masjid Al-Muhajirin di Tomohon masih terhambat sejak 2021. Hingga detik ini Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) belum juga mengeluarkan rekomendasi pendirian masjid tersebut, meskipun Kemenag setempat telah menyepakatinya.
Data SETARA Institute memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2024, di awal pemerintahan Prabowo, terjadi 260 peristiwa pelanggaran KBB dengan 402 peristiwa dengan 260 tindakan. Data ini menunjukkan peningkatan signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, sebagaimana ditunjukkan grafik berikut.
Kenaikan ini menunjukkan bahwa terjadi kemunduran dalam persoalan KBB. Regulasi seperti PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006, SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008, serta berbagai peraturan daerah yang diskriminatif terhadap Ahmadiyah, makin memperburuk situasi. Tindakan diskriminatif dan pelanggaran KBB ini mengganggu stabilitas sosial politik serta mengganggu akselerasi pembangunan dan perwujudan Asta Cita Presiden Prabowo.
Pertama, SETARA Institute mendesak Pemerintah Pusat segera turun tangan menuntaskan pelanggaran KBB, dalam kasus JAI Banjar, kasus Tomohon, kasus Samarinda dan beberapa kasus intoleransi dan diskriminasi lainnya. Pemerintah jangan diam saja melihat sekelompok warga negara menjadi korban dari menguatnya mayoritarianisme, dimana mayoritas memaksakan kehendaknya untuk membatasi hak-hak minoritas. Padahal Konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, terutama Pasal 29 Ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Kedua, Presiden tidak boleh acuh tak acuh dan mesti memerintahkan seluruh Kementerian/Lembaga terkait untuk menegakkan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan; 1) meninjau ulang dan/atau membatalkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 90/80 Tahun 2006, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 tentang Peringatan terhadap JAI beserta produk hukum daerah turunannya, dan 2) membubarkan Badan Koordinasi Pengawas Kepercayaan Masyarakat (Baporpakem) yang berada dalam yurisdiksi Kejaksaan dalam UU Kejaksaan.
Ketiga, Menteri Dalam Negeri RI hendaknya mendisiplinkan Pemerintah Daerah terkait untuk tidak melanggar hak konstitusional tiap-tiap warga negara atas kemerdekaan beragama dan beribadah. Sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah, agama merupakan yurisdiksi Pemerintah Pusat. Ketika terjadi pelanggaran hak-hak keagamaan warga negara, Kementerian Dalam Negeri mesti mengambil langkah yang dibutuhkan untuk memberikan jaminan dan perlindungan kepada hak-hak konstitusional kelompok agama minoritas.
Keempat, Menteri Agama RI juga mesti memobilisasi institusi-insitusi vertikal Kantor Wilayah Agama di seluruh wilayah NKRI untuk bersikap toleran dan tunduk pada ketentuan Konstitusi Negara serta mendorong jaminan hak konstitusional kelompok agama minoritas di satu sisi dan mewujudkan kerukunan antar umat beragama di sisi yang lain.[]
Narahubung:
Achmad Fanani Rosyidi, Peneliti KBB SETARA Institute, 0857-5533-3657 Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, 0852-3000-8880