INDEKS KINERJA HAM 2019
SETARA Institute tengah menyelenggarakan launching indeks kinerja HAM selama periode pertama Jokowi di Jakarta (10/12/2019). Foto: SETARA Institute.

INDEKS KINERJA HAM 2019

Janji yang Tertunda
Kinerja Pemajuan HAM Jokowi Periode Pertama

Ringkasan Laporan Indeks Kinerja HAM 2015-2019
SETARA Institute for Democracy and Peace
Jakarta, 10 Desember 2019

 

No. Indikator Sub-indikator Tolok Ukur Skor
HAK SIPIL DAN POLITIK 3
1 Hak hidup 2,5
2 Kebebasan beragama dan berkeyakinan 2,4
3 Hak memperoleh keadilan 3,2
4 Hak atas rasa aman 3,6
5 Hak turut serta dalam pemerintahan 4,2
6 Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat 1,9
HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 3,5
7 Hak atas kesehatan 3,9
8 Hak atas pendidikan 4,5
9 Hak atas pekerjaan 3,2
10 Hak tanah 3,4
11 Hak atas budaya 2,4
Total Skor  2015-2019 3,2


LATAR BELAKANG

  1. Indonesia mengadopsi beberapa instrumen HAM internasional, seperti Deklarasi Universal HAM (DUHAM), dua kovenan utama HAM (ICCPR dan ICESCR), serta sejumlah konvensi HAM. Jaminan dan perlindungan HAM pun telah tertuang ke dalam Konstitusi Indonesia, yaitu UUD Negara RI Tahun 1945, serta dasar negara Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Dinamika Indonesia telah lekat dan tidak dapat dipisahkan dari HAM sehingga diskursus tersebut tetap bergulir.
  2. Sebagai tonggak penegakan HAM, 10 Desember setiap tahunnya menjadi peringatan sejarah perkembangan komitmen terhadap HAM dengan lahirnya DUHAM. Bukan hanya itu, momen ini menjadi kesempatan untuk melakukan evaluasi dan refleksi dinamika penegakan HAM. Komitmen terhadap pengakuan dan pemajuan HAM serta pemenuhan tanggung jawab sesuai mandat konstitusi sebagai komitmen di tingkat nasional dan kovenan HAM sebagai komitmen di mata internasional menjadi sorotan.
  3. Indeks Kinerja HAM ini mengevaluasi kinerja penegakan HAM Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo selama satu periode, yaitu dimulai sejak 20 Oktober 2014 hingga 20 Oktober 2019 dengan catatan pemerintahan rezim ini dianggap mulai efektif sejak 2015. Pada masa kampanye, pasangan Joko Widodo–Jusuf Kalla memiliki komitmen terhadap HAM melalui visi dan misi untuk memuat materi HAM dalam pendidikan dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu jika ia terpilih menjadi presiden. Pada masa awal terpilih ketika Peringatan Hari HAM se-Dunia 2014 di Istana Kepresidenan Yogyakarta, Presiden menegaskan kembali pelaksanaan HAM melalui penegakan hukum, penjaminan hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta pencegahan terulangnya pelanggaran HAM di masa datang. Akan tetapi, komitmen tersebut tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan pelaksanaannya. Penegakan HAM pada periode ini berjalan stagnan bahkan mengalami kemunduran di beberapa aspek meskipun beberapa kemajuan juga tercatat.
  4. SETARA Institute, sebagai lembaga yang memiliki fokus kerja di bidang HAM melalui riset, advokasi dan pendidikan publik secara regular melaporkan kondisi HAM di Indonesia. Tujuan penyusunan Indeks Kinerja HAM (a) memberikan gambaran berdasarkan deskripsi fakta tentang situasi HAM mutakhir di Indonesia, khususnya terhadap variabel-variabel hak yang menjadi perhatian utama SETARA Institute; (b) melakukan evaluasi dan advokasi kinerja penegakan HAM; dan (c) menghimpun dukungan bagi pemajuan HAM di Indonesia.
  5. Peringatan Hari HAM pada tahun ini dapat menjadi momentum untuk mempersiapkan diri menuju peningkatan kualitas penegakan HAM pada rezim pemerintahan berikutnya. Stagnasi penegakan HAM seharusnya menjadi pembelajaran bagi kepemimpinan Joko Widodo pada periode ke-dua.

METODOLOGI

  1. Indeks Kinerja HAM pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berupaya menilai praktik penegakan HAM dengan menyajikan gambaran umum penegakan HAM. Indikator yang digunakan untuk memberikan gambaran tersebut bersifat struktural. Pengukuran dilakukan terhadap 6 indikator hak sipil dan politik serta 5 indikator hak ekonomi, sosial, dan budaya dengan masing-masing sub-indikator serta tolok ukur di dalamnya yang disarikan dari UU 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, UU 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). Nilai setiap indikator berasal dari rata-rata nilai seluruh sub-indikator dalam satu indikator.
  2. Basis pengukuran dihimpun dari pengumpulan data empiris yang berasal dari berbagai sumber dan proses, di antaranya dokumen yang mencatat kinerja HAM pemerintah, dialog dengan ahli dan instansi terkait, laporan media dan laporan berbagai lembaga yang relevan, yang menyoroti peristiwa-peristiwa penting penegakan HAM pada sektor-sektor yang spesifik, yang diolah menjadi narasi penegakan HAM berbasis konsep HAM. Dalam indeks ini, skala Likert digunakan untuk mengkuantifikasi capaian kinerja HAM dengan rentang nilai 1-7 (1 menunjukkan pemenuhan yang rendah dan 7 menunjukkan pemenuhan yang tinggi). Penilaian diberikan Tim Peneliti SETARA Institute berdasarkan narasi penegakan HAM yang diperoleh dari proses triangulasi tersebut.

TEMUAN PENELITIAN

  1. Pada periode pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla, komitmen terhadap HAM masih rendah. Orientasi pemerintahan yang tercermin di dalam Nawacita tidak menunjukkan adanya komitmen terhadap HAM yang jelas. Begitu pula rencana pembangunan pemerintah lainnya tidak mengadopsi perspektif HAM secara memadai. Lemahnya perencanaan tersebut berdampak kepada praktik penegakan HAM yang belum maksimal. Meskipun terdapat beberapa kemajuan di dalam penegakan hak sipil dan politik (sipol) maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) yang saling bergantung dan tidak terpisahkan, tetapi catatan kemunduran penegakan HAM cukup tinggi.
  2. Pada tahun 2015, saat memulai kerja pertama, Jokowi mencatat kinerja HAM pada angka 2.45 dan membukukan capaian di 2019 pada angka 3.2. Jika merujuk pada total skor dari 11 indikator yang digunakan, tampak bahwa kinerja pemerintah dalam pemajuan HAM meningkat 0.76 poin dari 2.45 menjadi 3.2. Sekalipun mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan karena masih di bawah angka moderat 4 dari skala 1-7. Peningkatan skor ini disumbang oleh kemajuan di hampir semua indikator utamanya pada bidang ekonomi, sosial dan budaya. Catatan terburuk justru ada pada hak untuk bebas beragama/berkeyakinan, penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, dan kebebasan berekspresi.
  3. Dalam hak sipol, kinerja penegakan HAM pemerintah pada periode ini yang mendapatkan sorotan di antaranya keberlanjutan praktik hukuman mati, pelanggengan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, ekskalasi konflik Papua yang membawa arus tahanan politik, kemandekan dan rendahnya inisiasi penyelesaian kasus HAM berat masa lalu, rendahnya perhatian rasa aman bagi kelompok rentan (perempuan dan LGBT), dan berkurangnya ruang kebebasan sipil.
  4. Hukuman mati kembali dieksekusi pada pemerintahan ini setelah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sempat melakukan moratorium hukuman mati. Pada tiga tahun awal kepemimpinannya, pemerintahan Jokowi-JK melakukan eksekusi 18 narapidana mati, khususnya terhadap terpidana kasus penyalahgunaan narkotika, termasuk diantaranya Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA). Eksekusi pada tahun 2015 dilakukan ke dalam dua gelombang, yaitu 18 Januari dan 29 April 2015. Eksekusi dilakukan setelah upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) dan grasi 14 orang terpidana ditolak karena telah melewati batas waktu. Pada tahun 2016, eksekusi dilakukan pada 29 Juli 2016. Awalnya eksekusi akan dilakukan kepada 14 orang terpidana mati. Akan tetapi, penundaan eksekusi dilakukan bagi 10 terpidana untuk mendapatkan kesempatan peninjauan ulang. Pada akhirnya, 4 orang yang merupakan kelanjutan dari eksekusi tahun sebelumnya tetap dieksekusi. Jaksa Agung menegaskan bahwa tidak ada moratorium hukuman mati di Indonesia dan hukuman ini masih berlaku untuk beberapa kejahatan khusus.
  5. Sikap pemerintah terhadap hukuman mati mulai bertransformasi meskipun belum ada tindakan nyata secara signifikan untuk menghapuskan hukuman mati. Pada tahun 2017 Yasonna H. Laoly selaku Menteri Hukum dan HAM mengatakan bahwa pemerintah akan berupaya menempatkan hukuman mati sebagai alternatif. Pada tahun 2019, ketika perdebatan hukuman mati dalam RKUHP kembali menguat, Yasonna mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati dapat dibatalkan dan diganti dengan hukuman yang sesuai dengan masa tahanan. Di dalam draf RKUHP, pidana mati diadopsi sebagai hukuman alternatif. Dari kedua pernyataan tersebut, penghapusan hukuman mati secara utuh dari sistem peradilan Indonesia masih belum diadopsi.
  6. Insiden pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) terjadi dengan adanya penguatan radikalisme dan ekstremisme yang diikuti sejumlah bentuk kekerasan, di antaranya “(1) intoleransi, (2) penyesatan ajaran, (3) pemaksaan keyakinan, (4) pengusiran, (5) ujaran/syiar kebencian (hate speech), (6) aksi teror, (7) condoning, (8) penghentian paksa dan pelarangan kegiatan ibadah/ keagamaan, (9) ancaman terhadap anak-anak kelompok minoritas, (10) diskriminasi, (11) pembiaran, (12) kriminalisasi, (13) penolakan dan penghentian paksa pembangunan dan/atau renovasi tempat ibadah, (14) intimidasi, (15) penyegelan tempat ibadah, (16) pelarangan forum ilmiah, (17) pembubaran dan penolakan kegiatan keagamaan, (18) perusakan rumah warga kelompok minoritas, (19) pemerasan, dan (20) pemaksaan mengenakan atribut keagamaan di luar keyakinan yang bersangkutan.
  7. Sepanjang periode 2015-2018, 5 aktor negara tertinggi yang melakukan pelanggaran di antaranya pemerintah daerah, kepolisian, institusi pendidikan, SSatuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan pengadilan. Sementara untuk aktor non-negara tertinggi di antaranya kelompok warga, ormas keagamaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Front Pembela Islam (FPI), dan individu. Pelanggaran KBB pada periode ini dilatarbelakangi oleh politisasi SARA yang meningkatkan antagonisme antar masyarakat, regulasi diskriminatif dan tidak berparadigma KBB, dan perkembangan narasi keterancaman (penguatan radikalisme) yang dijadikan justifikasi tindakan eksesif pemerintah dan oknum masyarakat. Secara khusus, pada periode ini meningkatnya peran perempuan dalam gerakan ektremisme berbasis kekerasan yang terjadi, misalnya beberapa peristiwa sejak tahun 2015 hingga 2019, beberapa peristiwa kekerasan ekstrimis menjadikan perempuan sebagai pelaku utama dalam tindakan terorisme. Kondisi ini merupakan catatan serius pada desain penanganan pemerintah yang juga mengenyampingkan perspektif pengalaman perempuan dalam lingkaran terorisme. Penanganan terorisme belum optimal pada upaya pencegahan dan pemulihan korban, termasuk keluarganya. Rasa dendam atas penangkapan pada suami yang merupakan aktor terorisme, serta akses jaringan yang terus dibangun karenanya tiadanya upaya pemulihan menjadi salah satu dampak mengapa perempuan kemudian terlibat dalam aksi terorisme.
  8. Konflik disertai kekerasan kembali mengalami eksalasi di Papua sehingga menghadirkan sejumlah pelanggaran kebebasan sipil. Konflik yang terjadi berupa eksistensi perseteruan kelompok bersenjata dan aparat keamanan yang berada dalam konteks pemisahan dan determinasi diri, pembangunan yang tidak berorientasi manusia sehingga mengorbankan masyarakat demi infrastruktur, dan diskriminasi rasialisme yang juga muncul di luar wilayah Papua. Sederet konflik tersebut menyisakan daftar panjang tahanan politik Papua yang mendapatkan perlakukan eksesif serta tidak berkeadilan dari aparat penegak hukum. Tahanan politik (tapol) Papua menghadapi perlakuan tersebut karena dinilai tidak sejalan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui jeratan pasal makar, UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Tajam, dan Maklumat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua, serta stigmatisasi terhadap Papua. Kondisi ini mereduksi kewargaan tapol yang berdampak pada pereduksian hak konstitusional sebagai warga negara untuk mendapatkan keadilan. Pemerintah bertindak secara inkonsisten dalam membebaskan tapol Papua. Pada tahun 2015 Presiden Jokowi memberikan grasi kepada lima (5) tapol Papua. Akan tetapi, selepas pemberian grasi tersebut tapol Papua kembali bertambah pada tahun 2016 hingga 2019 ketika konflik kembali memuncak terutama konflik pada kerusuhan Papua 2019 (catatan KontraS kerusuhan 2019, 6 aktivis ditahan, 87 tersangka pelaku kerusuhan di Papua dan Papua Barat). Ekskalasi kekerasan yang terjadi di Papua tidak dapat dipisahkan dari pembatasan kebebasan berekspresi yang dilakukan pemerintah dengan memperlambat dan shut down jaringan internet selama rentetan aksi anti diskriminasi rasial dilakukan di Papua. Pembatasan tersebut menimbulkan ketidakpastian informasi, ketidakamanan, dan pelambatan laju perekonomian. Upaya pembatasan yang disertai dengan pendekatan keamanan melalui penurunan pasukan militer meningkatkan antagonisme antar-pihak dan tensi konflik yang disertai kekerasan.
  9. Hak atas rasa aman masih sulit didapatkan oleh perempuan dan LGBT sebagai bagian dari kelompok rentan. Hak atas rasa aman masih sulit terpenuhi karena terus meningkatnya bentuk dan pola kekerasan terhadap perempuan, namun kebijakan dan perlindungan pada perempuan tidak optimal dan efektif. Berdasarkan data Komnas Perempuan, dari berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan, selama satu periode tersebut sorotan diberikan kepada tingginya kekerasan seksual. Sepanjang periode 2015-2019, kompleksitas bentuk kekerasan terhadap Perempuan baik di wilayah domestik yang terus menunjukkan kebrutalan dengan massifnya “femisida” (KDRT yang berakhir dengan pembunuhan), termasuk dengan tingginya jumlah kasus kekerasan seksual. Tetapi, payung hukum RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masih belum juga disahkan oleh Pemerintah dan DPR. Keberadaan kebijakan-kebijakan yang ada dalam menciptakan situasi yang kondusif bagi perlindungan terhadap perempuan belum sepenuhnya dilaksanakan secara efektif. UU No. 7 Tahun 1984, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), serta Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender belum digunakan secara optimal sebagai kerangka acuan perlindungan dan penanganan serta layanan terhadap kekerasan yang dihadapi oleh perempuan. Selain itu, tren 2015-2019 menunjukkan tingkat ancaman massif pada kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Trangender (LGBT) karena munculnya upaya kriminalisasi melalui peraturan perundang-undangan hingga Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Bahkan penolakan tersebut juga masuk pada munculnya aturan dari berbagai universitas paska dikeluarkannya pernyataan dari Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang melarang kelompok tersebut di kampus. Peristiwa persekusi dan kekerasan, pada kelompok ini menunjukkan ancaman yang serius pada hak atas rasa aman. Tren tersebut menunjukkan urgensi pengarusutamaan gender yang bertujuan untuk memastikan pereduksian ketimpangan berbasis gender dan penghapusan pelanggaran hak berbasis gender yang mayoritas dialami perempuan belum dijalankan secara maksimal. Ketiadaan prioritas regulasi untuk menjamin hak tersebut tidak sesuai dengan semangat Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang seharusnya diimplementasikan secara holistik.
  10. Pelanggaran HAM berat masa lalu mengalami kemandekan dan ketiadaan inisiasi yang signifikan. Berkas sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung ke Komnas HAM, di antaranya peristiwa 1965-1966, Talangsari Lampung 1989, Penembakan Misterius 1982-1985, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Mei 1998, Penghilangan Paksa 1997-1998, Wasior dan Wamena, Simpang KAA 3 Mei 1999 Aceh, Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh. Rekonsiliasi tidak dapat dijalankan oleh negara dengan ketiadaan landasan hukum yang mengikat, seperti UU Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) yang berperspektif HAM dan penyintas. Inisiasi rekonsiliasi dilakukan oleh kelompok masyarakat, seperti pelaksanaan KKR Aceh (bekerja sama dengan pemerintah daerah) dan International People Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag. Model remedy yang dijajaki oleh pemerintah hanya bersifat simbolis dengan mengundang keluarga korban dan pendamping pelanggaran HAM berat tanpa melakukan tindak lanjut dan menggelar Simposium 1965 tanpa permintaan maaf dan upaya penyelesaian yang konkret. Selain itu, klaim pendekatan non-yudisial yang dilakukan oleh pemerintah belum memenuhi makna substantif remedy non-yudisial dan tidak cukup untuk meniadakan pendekatan yudisial untuk mengembalikan kebenaran, keadilan, rehabilitasi, dan repatriasi korban. Sejumlah kelompok kerja yang dibentuk oleh pemerintah tidak dapat bekerja secara efektif, seperti Tim Gabungan Penuntasan HAM berat masa lalu di era kepemimpinan Menkopolhukam Tedjo Edhi, Tim Terpadu di era kepemimpinan Menkopolhukam Luhut Binsar, dan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang berubah menjadi Tim Gabungan Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM berat masa lalu di era Menkopolhukam Wiranto. Pada periode ini pemerintah mulai menjajaki mediasi Tanjung Priok dan deklarasi damai di Talangsari yang mekanismenya mendapatkan tentangan beberapa pihak.
  11. Ruang kebebasan sipil semakin berkurang pada periode pemerintahan ini. Aksi unjuk rasa yang menjadi saluran masyarakat sipil berekspresi diwarnai oleh kekerasan yang mayoritas dilakukan oleh aparat keamanan, seperti pada aksi 21-22 Mei dan aksi #ReformasiDikorupsi. Selain itu, penyaluran pendapat dan pengetahuan di ruang publik banyak menjumpai pembatasan, intimidasi dan kekerasan, seperti beberapa aksi pembubaran diskusi, pemutaran film, dan razia buku yang marak dilakukan oleh aparat keamanan maupun oknum vigilante yang dibiarkan oleh negara. Dalam pembatasan tersebut, kelompok rentan mengalami pelanggaran berlapis karena identitasnya, seperti kelompok transgender dalam mengekspresikan diri di ruang publik yang rentan mendapatkan serangan. Pereduksian ruang kebebasan sipil juga menjamah ranah dalam jaringan (daring) dan digital dengan adanya penyalahgunaan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam berbagai bentuk ruang publik, kebebebasan sipil mengalami penyempitan dengan adanya kriminalisasi atas ekspresi dan pendapat yang disampaikan dengan justifikasi interpretasi peraturan perundang-undangan yang tidak berperspektif HAM.
  12. Dalam hak ekosob, kinerja penegakan HAM pemerintah pada periode ini yang mendapatkan sorotan di antaranya implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang kurang akomodatif terhadap hak atas kesehatan, rezim investasi yang menggerus hak atas tanah, perhutanan sosial dan keberlangsungan masyarakat adat, serta ketidakhadiran negara dalam perlindungan konsumen di sektor keuangan.
  13. Penyelenggaraan JKN yang telah dicanangkan sejak 2013 melalui layanan BPJS implementasinya belum maksimal. Terdapat kemajuan dalam pemberian akses terhadap JKN melalui Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat yang tinggal di daerah yang sulit terjangkau akses kesehatan. Akan tetapi, kemajuan akses tidak diimbangi dengan standar pelayanan BPJS yang saat ini belum baik sehingga memunculkan keluhan konsumen maupun tenaga medis. Layanan yang diberikan bagi masyarakat belum komprehensif dan terdapat diskriminasi pemberian layanan yang dibutuhkan, seperti JKN tidak memberikan layanan bagi korban kekerasan seksual. Kondisi ini semakin rumit ketika aspek pelayanan dihadapkan pada isu pendanaan yang bermasalah. Di tengah pelayanan yang belum maksimal, pemerintah sempat menghadirkan wacana akan mensyaratkan kepemilikan atau keanggotaan BPJS untuk mengakses pelayanan publik lainnya sehingga masyarakat dihadapkan pada pilihan terbatas yang merujuk pada dorongan sepihak menjadi anggota BPJS.
  14. Prioritas pemerintah terhadap pembangunan berdampak pada favoritisme terhadap investasi sehingga menomorduakan aspek lainnya, termasuk hak atas tanah. Rezim investasi telah mengendalikan pemerintah agar mengesampingkan kepemilikan tanah masyarakat dengan dalih pembangunan. Sejumlah kasus perampasan tanah terjadi pada periode pemerintahan ini, termasuk tanah milik individu, tanah pertanian, tanah adat untuk pembangunan sejumlah infrastruktur. Masyarakat tidak diberikan ruang untuk melakukan penolakan karena hanya diberikan pilihan terbatas dan sepihak berupa relokasi atau pemberian ganti rugi. Pihak yang melakukan perlawanan untuk menolak tindakan pemerintah kemudian mengalami kriminalisasi.
  15. Perhutanan sosial yang diklaim pemerintah sebagai salah satu resolusi konflik agraria, belum mampu menyelesaikan masalah terutama bagi masyarakat adat. Hingga hari ini hutan adat yang di-SK-kan untuk  masyarakat adat seluas lebih kurang 29 ribu hektar,  masih sangat jauh jika dibandingkan peta wilayah adat seluas 10,56 juta hektar yang di dalamnya terdapat potensi hutan  adat seluas  7,76 juta hektar yang telah diserahkan  oleh masyarakat kepada Pemerintah. Regulasi dalam bentuk “kewajiban adanya pengukuhan” suatu kelompok sebagai komunitas masyarakat adat melalui peraturan daerah (pasal 67(2) UU 41 tahun 1999, menjadi salah satu penghambat implementasi hak masyarakat adat atas hutan yang ada di wilayah adat mereka. Banyak program perhutanan sosial (di luar hutan adat), beroperasi di wilayah masyarakat adat. Sementara mekanisme pengakuan hutan adat pada wilayah tersebut, berbelit dan rumit. Perlu dipahami bahwa perhutanan sosial dibangun di atas asumsi dasar bahwa Negara berkuasa atas hutan. Perhutanan Sosial karenanya merupakan ijin dari Negara kepada masyarakat. Jika ini dibangun di atas wilayah adat maka ini sama sekali tidak mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 yang secara jelas membatalkan penguasaan Negara atas hutan adat di dalam wilayah adat. Terhadap Perhutanan Sosial, AMAN mengambill posisi bahwa Perhutanan Sosial (HKM, Hutan Desa, HTR, Kemitraan Kehutanan) tidak boleh berlaku di atas wilayah adat. AMAN mendorong agar terhadap hutan di dalam wilayah adat hanya perlu diakui melalui skema hutan adat. Berbeda dengan Perhutanan Sosial yang merupakan ijin dari Negara, Hutan Adat adalah suatu mekanisme pengakuan hak masyarakat adat atas hutan di dalam wilayah adatnya. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 18 tahun 2019 tentang Tata Cara Penataan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Adat, Pasal 4 menyebut: Pelaksaan Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana Pasal 3 tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya: (a) sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah: atau (b) yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), menimbulkan kekhawatiran tersendiri, khususnya PTSL yang menyasar wilayah adat. Satu sisi wilayah adat belum diakui pemerintah sementara di lain sisi pemerintah mengeluarkan kebijakan ‘baru’ di atas wilayah adat tersebut.
  16. Pada 2014-2019 tercatat 73 kasus pelanggaran terhadap aktivis HAM (catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM)). Intimidasi, penyerangan, dan aksi kekerasan langsung lainnya banyak dialami oleh pembela HAM yang bergerak di hak sipil, ekosob maupun keduanya pada periode ini. Selain itu, pembela HAM pada periode ini rentan mengalami kriminalisasi dan sulit mengakses keadilan atas kekerasan yang dialami. Sejumlah peristiwa sorotan yang mencerminkan kondisi tersebut banyak dialami oleh pembela hak atas lingkungan, diantaranya Salim Kancil, aktivis penolakan pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport, dan Budi Pego. Penyerangan juga terjadi kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang kasusnya masih bergulir. Di sisi lain, perempuan pembela HAM menghadapi kekerasan berlapis di dalam pergerakannya di tengah masyarakat yang patriarkis, seperti kekerasan seksual dan intimidasi dengan dasar identitas sebagai perempuan yang diasumsikan inferior dengan serangkaian peran sosial. Selain itu, pemerintah tidak kunjung memberikan penyelesaian terhadap penanganan kasus pembunuhan pembela HAM Munir yang berlarut sejak 2004.
  17. Kinerja penegakan HAM juga dapat dilihat dari lembaga negara serta instrumen negara dalam melakukan penegakan HAM. Kondisi tersebut dapat dilihat dari kinerja Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM).
  18. KemkumHAM belum maksimal mendorong akselerasi peraturan perundang-undangan yang akomodatif terhadap HAM, seperti kemandekan pengesahan RUU PKS. Selain itu, KemkumHAM juga tercatat mengeluarkan kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, seperti pembubaran HTI dilakukan melalui SK Pencabutan Badan Hukum Perkumpulan/Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai tindak lanjut atas Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Di sisi lain, KemkumHAM belum mampu mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Akan tetapi, pada periode ini terdapat kemajuan dalam upaya pengarusutamaan HAM dalam kepentingan publik, diantaranya pengesahan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2018 Tentang Penghargaan Pelayanan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia, dan penyusunan Pedoman Teknis Pos Pelayanan Komunikasi Masyarakat oleh SIMAS HAM. Akselerasi program Bantuan Hukum sebagai implementasi UU Bantuan Hukum juga merupakan capaian positif Kemenkum HAM RI.
  19. Komnas HAM memiliki fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi dalam penegakan HAM. Dari kelima fungsi tersebut, fungsi yang banyak tampak dijalankan pada periode ini adalah mediasi. Fungsi mediasi muncul ketika Komnas HAM menempatkan diri sebagai interlokutor dan jembatan antara negara sebagai duty bearer dan pihak yang bersengketa maupun mengalami pelanggaran HAM. Akan tetapi, posisi tawar kekuasaan Komnas HAM terhadap lembaga negara lain kurang kokoh sehingga langkah yang dapat dilakukan Komnas HAM berhenti pada mediasi dan sulit melakukan intervensi tindakan. Kelemahan lain Komnas HAM pada periode ini juga tampak pada fungsi penyelidikan yang merupakan fungsi signifikan bagi penegakan HAM. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM belum dapat dijadikan rujukan untuk peradilan kasus pelanggaran HAM. Di sisi lain, langkah Komnas HAM untuk menetapkan norms setting HAM patut diapresiasi sebagai upaya pengarusutamaan HAM.
  20. KPAI memiliki fungsi mengawal dan mengawasi pelaksanaan perlindungan anak yang dilakukan oleh para pemangku kewajiban perlindungan anak agar hak-hak dasarnya terpenuhi dan memperoleh perlindungan khusus. Kedua fungsi mengalami kemajuan ditunjukkan dengan keterlibatan KPAI secara langsung dalam kasus kekerasan terhadap anak. KPAI pun mendorong pemerintah dan pihak yang berwenang menindaklanjuti perhatian terhadap pemastian anak terbebas dari kekerasan dan pemenuhan hak bagi anak, seperti hak atas pendidikan. Komisioner KPAI yang memiliki latar belakang beragam dapat memperluas cakupan perhatian KPAI tentang hak anak.
  21. Komnas Perempuan memiliki mandat dan wewenang penyebarluasan pemahaman, pengkajian dan penelitian, pemantauan dan pencarian fakta, pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan organisasi masyarakat, dan pengembangan kerja sama regional dan internasional. Dari mandat dan wewenang tersebut, Komnas Perempuan memiliki keterbatasan dalam intervensi pengambilan kebijakan karena hanya dapat memberikan rekomendasi yang tidak mengikat bagi pengambil kebijakan. Akan tetapi, keterbatasan wewenang dapat dikelola lebih maksimal oleh Komnas Perempuan yang mengakselerasi pengembangan kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan sebagai alternatif keterbatasan tersebut. Komnas Perempuan memperlihatkan keberpihakannya sebagai salah satu lembaga HAM pada advokasi yang dilakukan oleh komunitas korban. Misalnya memosisikan peran National Human Rights Institutution (NHRI) untuk mendukung upaya-upaya komunitas korban dalam mekanisme yudisial di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Pengadilan. Dalam beberapa pengujian di Mahkamah Konstitusi Komnas Perempuan menjadi pihak terkait dalam pengujian UU Nomo 1 Tahun 1965/PNPS, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk, KUHP Pasal 284,285, 292, dan optimalisasi sebagai sahabat peradilan (amicus curiae) dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Pengadilan. Hal inilah yang membuat posisi Komnas Perempuan dianggap memainkan perannya sebagai lembaga HAM yang terdepan dalam membangun dukungannya terhadap korban.
  22. Pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, RANHAM tertuang pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2015-2019. Pada tahun 2018, terdapat perubahan yang bertujuan memperjelas RANHAM sebelumnya. Perubahan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2015-2019. Dalam perubahan ini terdapat penguatan peran Sekretariat Bersama Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dalam upaya mengkoordinasikan, memantau, memverifikasi, mengevaluasi, dan melaporkan pelaksanaan Aksi HAM sesuai dengan kewajiban Indonesia di forum internasional. Kedua versi RANHAM pada pemerintahan ini masih menaruh standar penjaminan dan pemenuhan HAM yang minim di dalam rencananya. Selain itu, RANHAM tersebut belum memberikan komitmen kuat terhadap penegakan HAM yang sarat dimensi politis, seperti penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal dokumen acuan ini penting untuk memberikan batasan serta mengendalikan kepentingan politik agar tidak mencederai penegakan HAM. Akan tetapi, inisiasi delegasi penugasan tanggung jawab masing-masing komponen HAM ke lembaga tertentu secara spesifik patut diapresiasi.
  23. Kepatuhan negara sebagai Negara Pihak ICCPR dan ICESCR mewajibkan adanya pelaporan kondisi HAM. Kewajiban pelaporan kondisi HAM yang tercantum dalam kedua konvenan HAM internasional tersebut memiliki dimensi ruang pengawasan PBB terhadap penegakan HAM di negara pihak. Oleh karena itu, pelaporan juga perlu disertai kemauan negara untuk melalui serangkaian mekanisme pengawasan sebagai laporan dan catatan kondisi penegakan HAM, termasuk mekanisme kunjungan utusan PBB ke suatu negara sebagai tanggapan terhadap suatu peristiwa HAM tertentu terutama yang mengandung unsur pelanggaran. Pada periode ini, utusan PBB belum dapat melakukan investigasi sebagai rangkaian dari pengawasan melalui kunjungan ke Indonesia untuk menanggapi insiden pelanggaran HAM. Salah satu contoh ditunjukkan ketika tanggal akses bagi utusan HAM PBB ke Papua tidak kunjung diberikan oleh pemerintah.

REKOMENDASI

  1. Kepemimpinan nasional baru memenuhi janji yang tertunda, sebagaimana tertuang dalam Nawacita Jilid I tentang agenda sistematis pemajuan HAM, termasuk dan tak terbatas pada pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu dengan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran, sebagai jalan pertama memutus sejarah kelam pelanggaran HAM masa lalu.
  2. Kepemimpinan nasional baru mengintegrasikan paradigm hak asasi manusia dalam perencanaan pembangunan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan indikator-indikator yang presisi dan berbasis pada disiplin hak asasi manusia.
  3. Kepemimpinan nasional baru mengagendakan pembahasan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM seperti RKHUP yang berperspektif HAM, RUU Perubahan UU ITE, RUU Kehutanan, RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perubahan UU HAM, dan Omnibus Law dalam sektor ekonomi.
  4. Pengutamaan pembangunan ekonomi, bisnis dan investasi dalam kabinet Jokowi-Maruf Amin, menuntut kehadiran paradigma HAM sebagai pemandu pelaksanaan pembangunan yang berparadigma Pancasila. Obsesi investasi harus tetap dalam kerangka menjalankan amanat Pasal 33 UUD Negara RI, yang menempatkan negara sebagai yang supreme dan menguasai seluruh perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak.
  5. Presiden Jokowi mengadopsi dan memastikan United Guiding Principles (UNGPs) on Business and Human Rights sebagai barikade rezim investasi dan pembangunan tidak menambah daftar panjang pelanggaran HAM pada sektor bisnis dan ekonomi.
  6. Pengutamaan agenda penanganan intoleransi, radikalisme dan terorisme haruslah berpusat pada kerangka demokrasi dan HAM. Penanganan intoleransi dan radikalisme sebagaimana diperagakan dalam beberapa bulan oleh kabinet Jokowi-Maruf Amin justru menjauhkan semangat perlindungan kebebasan sipil warga. Penyempitan ruang kebebasan berekspresi, bependapat, dan berorganisasi merupakan tantangan paling serius yang hadir sejalan dengan pilihan kabinet Jokowi-Maruf Amin menangani intoleransi, radikalisme dan terorisme yang keluar jalur dan tidak bertolak dari pemahaman holistik akar, penyebab dan instrumen radikalisme.
  7. Presiden Jokowi mengadopsi dan memastikan tata kelola yang inklusif (inclusive governance) dalam menangani intoleransi, radikalisme dan terorisme, guna mewujudkan inclusive society yang immune terhadap virus intoleransi dan radikalisme.
  8. RANHAM 2020-2024 disusun secara lebih realistis dan presisi sehingga bisa dicapai dalam periode kepemimpinan Jokowi-Maruf, tidak sebagaimana selama ini disusun, dimana RANHAM sangat abstrak dan tanpa indikator yang presisi, sehingga menyulitkan pemerintah sendiri dalam mengimplementasikannya.
  9. Membuka akses utusan-utusan khusus PBB melakukan kunjungan, dialog dan pemantauan kondisi HAM di Indonesia termasuk dan terutama untuk Pelapor Khusus Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berekspresi, dan Pelapor Khusus untuk Pembela HAM. Termasuk membuka kemungkinan pemantauan langsung Pelapor Khusus PBB di Papua dan Papua Barat.

Narahubung:

  • Selma Theofany, (Peneliti HAM dan Perdamaia): 0857 3054 2121
  • Ismail Hasani, (Direktur Eksekutif SETARA Institute & Pengajar Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta): 0812 1393 1116

Selengkapnya klik di sini

Indeks Kinerja HAM 2019 Full Report

Lampiran 1:

Detail Skor Semua Indikator HAM

No. Indikator Sub-indikator Tolok Ukur Skor
HAK SIPIL DAN POLITIK 3
1 Hak hidup 2,5
Vonis mati Penghapusan vonis mati 2,3
Hukuman mati Penghapusan hukuman mati 2
Kebijakan Regulasi negara 3,3
2 Kebebasan beragama dan berkeyakinan 2,4
Kebebasan mendirikan tempat ibadah Pemberian izin mendirikan tempat ibadah 3
Perlindungan kelompok agama atau keyakinan minoritas Penanganan atau peradilan kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok agama atau keyakinan minoritas 2
Regulasi kebebasan beragama Penurunan regulasi negara yang membatasi kebebasan beragama 2
Penurunan konflik berbasis agama Penurunan jumlah konflik yang berbasis agama 2,7
3 Hak memperoleh keadilan 3,2
Penghapusan penyiksaan Penghapusan kekerasan atau

penyiksaan dalam proses penegakan hukum

3,3
Perlindungan pembela HAM Peningkatan perlindungan pembela HAM 2,7
Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu Penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu 1,3
Kinerja Kementerian Hukum dan HAM Maksimalisasi wewenang sebagai lembaga HAM 3,3
Kinerja Komnas HAM Maksimalisasi wewenang sebagai lembaga HAM 3,3
Kinerja Komnas Perempuan Maksimalisasi wewenang sebagai lembaga HAM 4,7
Kinerja KPAI Maksimalisasi wewenang sebagai lembaga HAM 4
RANHAM Pembentukan dan penguatan RANHAM 3,3
Instrumen HAM Pengesahan instrumen-instrumen HAM 3
Pendidikan HAM Inklusivitas pendidikan HAM 3,3
4 Hak atas rasa aman 3,6
Penyelesaian konflik masyarakat Penyelesaian konflik berbasis masyarakat 3,3
Perlindungan terhadap perempuan Penurunan angka kekerasan terhadap perempuan 3
Perlindungan anak Penurunan eksploitasi dan kekerasan pada anak 3,7
Keamanan WNI di LN Perlindungan WNI dan TKI di LN 4,3
5 Hak turut serta dalam pemerintahan 4,2
Partisipasi elektoral Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum 4,3
Penurunan kekerasan elektoral 4
Partisipasi pemerintahan Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan 4
Partisipasi perempuan dalam politik Peningkatan persentase perempuan berpartisipasi dalam politik 4,3
6 Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat 1,9
Perlindungan kerja jurnalistik Penurunan kekerasan dan kriminalisasi jurnalis 2,3
Penjaminan ekspresi melalui media daring Penurunan kriminalisasi berdasarkan UU ITE 1,3
Kebebasan berserikat dan berkumpul Penurunan represivitas massa 2
Kebebasan menyatakan pendapat Penurunan razia buku 2
Kebebasan orientasi, identitas, dan ekspresi gender Penurunan kekerasan berbasis orientasi, identitas,  ekspresi gender 1,7
HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA 3,5
1 Hak atas kesehatan 3,9
Harapan hidup Penurunan tingkat kematian bayi 4,3
Penurunan tingkat kematian ibu 4,3
Penjaminan pelayanan kesehatan Peningkatan sarana dan prasarana kesehatan 3,7
Peningkatan penyediaan dokter spesialis dan obat-obatan

 

3,7
Peningkatan akses kesehatan tanpa diskriminasi 4
Kebijakan pemerintah terhadap kesehatan Progresivitas kebijakan 3,3
2 Hak atas pendidikan 4,5
Partisipasi pendidikan dasar wajib Peningkatan jumlah peserta pendidikan dasar wajib tanpa diskriminasi 4,3
Partisipasi perempuan dalam pendidikan dasar wajib Peningkatan jumlah perempuan peserta pendidikan dasar wajib tanpa diskriminasi 4,3
Sarana dan prasarana pendidikan dasar wajib Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan dasar wajib 4,3
Literasi Peningkatan keaksaraan 4,7
Kebijakan pemerintah Progresivitas kebijakan 4,7
3 Hak atas pekerjaan 3,2
Dukungan terhadap angkatan kerja Penyediaan pedoman teknis dan kejuruan serta program pelatihan 3,7
Lapangan kerja inklusif Peningkatan ketersediaan lapangan kerja inklusif 3,3
Penurunan pengangguran Penurunan angka pengangguran 2,7
Keadilan upah Penjaminan keadilan upah 2,7
Pembentukan serikat kerja Penjaminan pembentukan serikat kerja 3,3
Kebijakan pemerintah Progresivitas kebijakan 3,3
4 Hak tanah 3,4
Perumahan Peningkatan penyediaan perumahan 4,7
Agraria Penyelesaian konflik agraria 2,3
Kebijakan pemerintah Progresivitas kebijakan 3,3
5 Hak atas budaya 2,4
Determinasi budaya Pengakuan identitas masyarakat adat 2,7
Akomodasi praktik budaya 2,7
Kepemilikan adat Penjaminan lahan adat 1,7
Kebijakan pemerintah Progresivitas kebijakan 2,3

Sharing is caring!

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*