Indeks Kinerja HAM 2016

Indeks Kinerja HAM 2016

Untuk ketujuh kalinya, SETARA Institute merilis Indeks Kinerja HAM (IKH), sebagai bagian dari peringatan Hari HAM yang dirayakan setiap 10 Desember. Dalam konteks nasional, momentum ini bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengingatkan pemerintah selaku pemegang kewajiban (duty bearer) untuk menghormati, memajukan, dan memenuhi hak asasi manusia di Indonesia.

Adapun tujuan survey persepsi ini adalah:

  • Memberikan gambaran berdasarkan persepsi ahli tentang situasi HAM mutakhir di Indonesia, khususnya terhadap variabel-variabel hak yang menjadi perhatian utama SETARA Institute.
  • Melakukan evaluasi dan advokasi kinerja penegakkan HAM.
  • Menghimpun dukungan bagi pemajuan HAM di Indonesia.

Metodologi

Pengumpulan data dalam indeks ini diperoleh dengan menggunakan pendekatan survei, dengann metode purposive sampling, dimana Setara Institute menetapkan 202 ahli yang terdiri dari  akademisi, peneliti, aktivis, tokoh masyarakat, dll. berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, sesuai dengan topik penelitian.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner yang dikoleksi berbasis web (web based survey)

Skala pengukuran indeks persepsi ini ditetapkan 0-7, 0= skor terendah, 7= skor tertinggi, 4 = skor moderat, dengan menggunakan 8 variabel utama sebagai alat ukur, yaitu:

  1. Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
  2. Kebebasan Berekspresi dan berserikat
  3. Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
  4. Hak Rasa Aman Warga & Perlindungan Warga Negara
  5. Penghapusan Hukuman Mati
  6. Penghapusan Diskriminasi
  7. Hak Atas Ekonomi, Sosial, dan Budaya
  8. RANHAM dan Kinerja Lembaga HAM

Web based survey ini menjangkau responden di 19 propinsi. Sementara waktu pelaksanaan survei adalah 5 November – 5 Desember 2016.

Temuan

Pada 8 variabel yang dijadikan alat ukur, survei ini menangkap persepsi responden ahli yang cenderung positif terhadak kinerja HAM pemerintah pada tahun 2016. Kecuali variable kebebasan berekspresi dan berserikat dan variable kebebasan beragama/berkeyakinan, semua variable menunjukkan tren positif. Kepercayaan responden ahli pada pemerintah untuk menjalankan tugas pembangunan bidang HAM, merupakan modal cukup bagi Jokowi.

 

Tabel 1: Skor Indeks Kinerja HAM 2016 pada 8 Variabel

 

No Variabel Score  Trend
2015 2016
1 Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Masa Lalu 1.72 1.99 +0.27
2 Kebebasan Berekspresi dan Berserikat 2.18 2.1 -0.08
3 Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2.57 2.47 -0.1
4 Rasa Aman Warga dan Perlindungan Warga Negara 2.47 3.32 +0.85
5 Penghapusan Hukuman Mati 1.99 2.68 +0.69
6 Penghapusan Diskriminasi 2.86 3.31 +0.45
7 RANHAM dan Kinerja Lembaga HAM 2.59 3.38 +0.75
8 Pemenuhan Hak Atas Ekonomi, Sosial, dan Budaya 3.22 3.36 +0.14
2,45 2,83   +0,38

Sementara, jika diakumulasi, maka total skor Indeks Kinerja HAM 2016 berada pada angka 2,86 meningkat 0,38 poin. Meski tidak signifikan, peningkatan ini menggambarkan meningkatnya kepercayaan responden ahli pada janji Jokowi-JK yang pada tahun ketiga kepemimpinannya akan memberikan fokus pada reformasi hukum dan HAM.

Detail skor dan data pendukung dapat dilihat dalam file terlampir.

Grafik 1: Akumlasi Skor 7 Tahun (2010-2016)

Untitled

Secara umum dapat digambarkan bahwa belum meningkatnya indeks HAM secara signifikan disebabkan oleh komitmen pemerintah dibidang HAM yang belum terpenuhi. Selama dua tahun memimpin, janji-janji dalam Nawacita terkait hak asasi manusia belum satupun dijalankan oleh Jokowi. Ada banyak kontradiksi dalam kebijakan pemerintah terkait hak asasi manusia. Pada forum internasional terbaru di Bali Democracy Forum misalnya, Jokowi membaggakan kamampuan negara mengelola kemajemukan tetapi fakta lapangan menunjukkan sebaliknya, bahwa pemerintah abai memajukan perlindungan kebebasan beragama/berkeyakinan. Pemerintah nyaris tidak punya sikap dan roadmap bagaimana pemajuan, penghormatan, dan pemenuhan HAM akan dijalankan dan diintegrasikan dalam proses pembangunan negara.

Sementara, janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu juga tidak pernah memperoleh perhatian dari Jokowi, meski eksplisit disebutkan dalam Nawacita. Bahkan ketika berbagai elemen mendorong penuntasan kasus 65 misalnya, Jokowi justru membiarkan kampanye negatif tentang kebangkitan PKI, yang sesungguhnya merupakan instrumen penundukkan untuk menggagalkan pemenuhan kewajiban negara mengungkap, mengadili, dan memulihkan korban pelanggaran, pada kasus 65 dan kasus pelanggaran HAM berat lainnya.  Pemerintah pusat justru miskin inisiatif dibanding dengan sejumlah kepala daerah yang visioner meniti jalan keadilan melalui prakarsa di tingkat lokal untuk memajukan hak asasi manusia.

Dalam bidang legislasi, pemerintah pun sama sikapnya. Giat melakukan deregulasi ekonomi tetapi pada saat yang bersamaan abai memastikan produk legislasi yang potensial merampas hak asasi manusia. Revisi UU ITE misalnya, justru menjadikan warga rentan dikriminalisasi dan mengancam kebebasan berekspresi. Revisi UU Terorisme yang berencana mengakomodasi TNI sebagai aktor yang akan menangani penegakan hukum, juga rentan pelanggaran HAM. Sementara TNI dibiarkan menikmati privilege (keistemawaan) tidak diadili pada peradilan umum, meski anggota TNI melakukan tindak pidana umum. Ini bentuk pelembagaan pelanggaran asas hak kesamaan di muka hukum (equality before the law). Padahal, janji merevisi UU Peradilan Militer juga tercantum dalam Nawacita.

Di tengah absennya pemerintah dalam pemajuan HAM, komisi-komisi HAM justru mengalami delegitimasi dari publik sebagai instrumen pemajuan HAM. Komnas HAM misalnya, selain gagal menjalankan Paris Principles, suatu prinsip pengelolaan lembaga HAM di setiap negara, yang diindikasikan dengan kegagalan mengelola akuntabilitas keuangan, juga terjebak pada agenda rutin yang hanya berujung pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan seremonial tanpa memberikan dampak yang presisi pada pemajuan HAM. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) justru semakin menunjukkan konservatisme dalam perspektif dan pembelaannya pada hak-hak anak Indonesia. Hanya Komnas Perempuan, yang dengan keterbatasan mandatnya, masih tetap menjadi instrumen cukup efektif bagi advokasi dan pemajuan hak-hak perempuan. Sejumlah terobosan dan intervensi legislasi yang kondusif bagi penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah menjadi fokus yang efektif bagi Komnas Perempuan.

Pendek kata, secara umum pemerintahan ini tidak memiliki belied yang jelas tentang angenda hak asasi manusia dan belum menunjukkan keberpihakan politik pada pengungkapan kasus masa lalu, penanganan kasus masa kini, dan politik legislasi yang kondusif untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa yang akan datang. Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) yang diklaim sebagai acuan pembangunan bidang HAM hanyalah dokumen perencanaan sebagai dasar untuk memperoleh anggaran tanpa mampu melimpahkan keadilan bagi warga. Apalagi dengan aneka kegiatan seremonial rutin yang tidak berdampak nyata.

Lampiran

Presentasi Indeks HAM 2016 

Kontak Narasumber:

  • Ahmad Fanani Rosyidi, Peneliti Hak Asasi Manusia, Setara Insitute: 081316491199
  • Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute: 0811819174

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*