Kata Pengantar
Dua dekade pascareformasi, telah memunculkan perubahan-perubahan substantif dalam internal TNI dan hubungan sosial kemasyarakatannya. Dalam konteks internal TNI misalnya telah dilakukan penghapusan Dwi Fungsi ABRI, hak politik prajurit, pembatasan jabatan sipil, dan penghapusan fraksi ABRI di Parlemen. Sementara pada aspek sosial kemasyarakatan, tidak ada lagi pengekangan kebebasan sipil yang biasa dilakukan aparat militer ketika Orde Baru.
Istilah Reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) awalnya muncul pada masa reformasi 1998, sebagai isu yang terkait dengan upaya reformasi internal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Munculnya istilah ini merupakan respon kalangan TNI terhadap desakan publik atas penghapusan peran politik dan ekonomi TNI serta akuntabilitas mereka terhadap pelanggaranpelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan sebelum 1998. Tuntutan tersebut berujung pada jatuhnya pemerintahan Rezim Orde Baru (Orba).
Reformasi militer menjadi agenda penting dalam rangka menciptakan tentara yang tangguh dan profesional. Pintu- pintu yang menghubungkan militer dengan politik praktis kemudian ditutup. Konsiderans huruf d, TAP MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, mengatakan bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan
terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Begitu pun dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang menjadi pondasi penting dalam upaya reformasi militer.
Namun demikian, reformasi TNI pasca 20 tahun reformasi tentu bukan tanpa catatan. Reformasi akan terus berjalan demi TNI yang tangguh dan Profesional. Dekade pertama pascareformasi memang memunculkan perubahanperubahan substantif. Namun pada dekade ke dua, reformasi TNI justru seperti berada di jalan sunyi yang nyaris tanpa rencana yang presisi dan capaian yang impresif. Selain pelbagai kasus kekerasan yang dilakukan oknum prajurit TNI terhadap masyarakat, pelbagai kasus-kasus yang tercatat juga menyangkut ketidakpatuhan atas kebijakan dan keputusan politik negara, pelibatan TNI di luar Operasi Militer Selain Perang (OMSP), penempatan TNI aktif pada jabatan sipil yang dikecualikan UU TNI, serta kegiatan politik praktis.
Pelbagai catatan SETARA tersebut semakin memperlihatkan pentingnya pemantauan dan riset-riset mengenai reformasi TNI. Agenda-agenda reformasi militer tidak akan berjalan jika hanya diletakkan di atas kertas tanpa tindakan atau aksi nyata yang presisi. Berdasarkan kondisi demikian, SETARA Institute kemudian menyusun catatan kinerja ini dengan merekam peristiwa-peristiwa pasca Orde Baru yang menjadi bagian dari reformasi TNI, baik yang menjadi langkah mundur maupun langkah maju reformasi TNI.
Selain itu, buku yang tengah anda baca ini merupakan hasil dua laporan, yakni Catatan Kinerja Reformasi TNI 2021 dan Temuan Survei Opini Ahli Mengenai Kualitas Kandidat Panglima TNI. Buku ini di susun sebagai partisipasi elemen masyarakat sipil, dalam hal ini SETARA Institute, terhadap reformasi TNI pasca 20 tahun reformasi. Melalui laporan ini, tetap bergulir harapan agar TNI terus melakukan reformasi
internal, pun demikian sipil juga harus mengawasi dan menghormati upaya reformasi yang tengah dilakukan TNI. Melalui laporan ini juga, diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah, dan TNI secara khusus, agar kebijakan-kebijakan yang dibuat maupun tindakan-tindakan yang diambil selalu selaras dengan Reformasi TNI dan mencerminkan niatan mewujudkan tentara yang tangguh dan profesional.
SETARA Insitute for Democracy and Peace
Hendardi
Ketua Badan Pengurus,
Laporan selengkapnya sila klik di sini