Siaran Pers SETARA Institute
13 Juni 2025
Constitutional Decision Impact Assessment (CiDIA)
ANTARA PRIORITAS DAN KESINAMBUNGAN
Pendidikan Gratis Tingkat SD-SMP dan Implementasi Pembiayaan Pendidikan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-XXII/2024 tentang Pengujian Konstitusional Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
A. Pendahuluan
Constitutional Decision Impact Assessment (CiDIA) adalah suatu dokumen brief mengenai studi kasus putusan pengujian konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengkaji implikasi putusan terhadap berbagai aspek ketatanegaraan serta memberikan rekomendasi kebijakan untuk menavigasi isu dalam putusan tersebut. CiDIA dapat dijadikan referensi dalam pengambilan kebijakan serta memitigasi masalah hukum, demokrasi, serta pembangunan dengan tetap memperhatikan kesinambungan, kesetaraan, dan inklusivitas.
Pada 27 Mei 2025 lalu, MK mengeluarkan Putusan No. 3/PUU-XXII/2024 atas pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Putusan MK ini mengamanatkan untuk tiadanya biaya yang dipungut pada jenjang pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta, sebagai pelaksanaan wajib belajar untuk warga negara yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas.
Meski bisa dibilang sebagai angin segar karena MK memperjelas jaminan konstitusional bagi seluruh warga negara untuk mengakses pendidikan, namun keterangan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, memberikan sinyal untuk kajian lebih lanjut, sebab perlunya pertimbangan pembiayaan pendidikan menggunakan APBN dan kesanggupan (feasibility) pelaksanaan amanat tersebut. CiDIA ini kemudian mengkaji dampak putusan tersebut pada kebijakan di sektor pendidikan, dan bagaimana pengaruhnya pada pembiayaan pembangunan.
B. Pertimbangan Hukum Pendidikan Gratis
Pada Putusan No. 3/PUU-XXII/2024, MK memutus Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sebagai inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat”. Putusan ini didasarkan pada dua isu mendasar, yakni (1) frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” yang menimbulkan multitafsir dan diskriminasi; dan (2) alokasi anggaran pendidikan yang tidak terfokus pada pembiayaan anak untuk menempuh pendidikan dasar.
Tafsir keliru terhadap frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” menyebabkan ketimpangan pelaksanaan kewajiban konstitusional. Alih-alih membantu warga negara menunaikan kewajiban, pemerintah malah belum bisa memberikan pembiayaan untuk membantu warga negara memenuhi kewajiban tersebut, sehingga kewajiban ini tidak resiprokal dan lebih menekankan pada kepatuhan satu arah.
Sementara itu, intervensi negara masih menyisakan pekerjaan rumah untuk memastikan pemerataan. Angka Partisipasi Kasar (APK) pada taraf Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) adalah sebesar 92,7% untuk anak dari keluarga kaya, lalu 90,8% dari keluarga tidak mampu. Meski persentase tersebut sudah besar, namun belum menyeluruh membuka partisipasi, sehingga inklusivitas akses belum terwujud.
Ini kemudian berkelindan dengan permasalahan kedua, upaya memaksimalkan penggunaan anggaran pendidikan yang diporsikan sebanyak minimal 20% dari APBN dan APBD masih membutuhkan usaha pemanfaatan yang lebih. Data yang dikemukakan Para Pemohon di dalam Pokok Permohonan, yakni menunjukan belum tepatnya penggunaan anggaran pendidikan untuk meningkatkan aksesibilitas pendidikan secara adil, berkualitas, dan inklusif, karena alokasi untuk pemenuhan wajib belajar hanya sebesar 6,1%.
Hal ini ditengarai karena tafsir yang masih keliru. Frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” diartikan secara limitatif yakni terbatas pada sekolah negeri. Sementara pada kenyataannya, daya tampung sekolah negeri tidak cukup untuk seluruh anak Indonesia, sehingga sekolah swasta hadir untuk membuka aksesibilitas tersebut.
Sekolah swasta adalah bentuk kontribusi masyarakat untuk turut serta bersama negara dalam menyelenggarakan pemenuhan hak atas pendidikan dan penunaian kewajiban konstitusional negara. Hanya saja, akses anak-anak, utamanya dari keluarga kurang mampu, terhambat karena biaya yang besar serta tidak adanya bantuan pembiayaan untuk kepesertaan mereka. Putusan ini diharapkan sebagai petunjuk konstitusional (constitutional guidance) agar dapat menjadi pedoman dalam membiayai pendidikan dasar dengan tanpa diskriminasi.
C. Implementasi Pembiayaan Pendidikan Dasar Pasca Putusan MK
Penerapan pembebasan pemungutan biaya pada tingkat pendidikan dasar tentu perlu dilakukan secara hati-hati. Isu ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan dua aspek, yakni penambahan porsi anggaran di atas batas minimal 20%, dan petunjuk spesifikasi penganggaran sektor pendidikan.
Meski proporsi 20% dari APBN dan APBD adalah batas minimal, tetap negara tetap dapat mengalokasikan anggaran yang lebih dari itu. Peningkatan porsi anggaran pendidikan akan sangat bergantung pada bagaimana kepemimpinan politik mengatur alokasi APBN berdasarkan prioritas pembangunan, yang nantinya akan mempengaruhi politik anggaran.
Pada pemerintahan saat ini, apabila dilihat kembali pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, terdapat Prioritas Nasional ke-4 yang menghendaki penguatan pembangunan, salah satunya, pada sektor pendidikan. Pembangunan pendidikan sangat berkelindan dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM), sebagaimana mengacu pada target pembangunan manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, dan termasuk dalam salah satu Strategi Prioritas Pembangunan RPJMN 2025-2029 untuk fokus pemberdayaan masyarakat, serta Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan guna memenuhi Strategi Kebijakan Fiskal jangka pendek dan menengah untuk APBN 2025.
Apabila besaran anggaran ditingkatkan guna pemenuhan tujuan dan strategi tersebut, maka terdapat sektor-sektor lain yang harus mengalami efisiensi demi pemenuhan prioritas serta strategi yang telah dicanangkan, demi pemenuhan hak atas pendidikan. Pertama, argumentasi penambahan persentase anggaran pendidikan dapat dimulai dengan menyesuaikan pemenuhan hak atas pendidikan dengan Prioritas Nasional 1, yakni dalam rangka penguatan Hak Asasi Manusia (HAM).
Kedua, dapat dilakukan pergeseran dari sektor lain yang belum efektif secara pelaksanaan. Anggaran dapat dipindahkan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Badan Gizi Nasional (BGN), agar dapat dialokasikan ulang kepada sektor pendidikan untuk peningkatan aksesibilitas institusi pendidikan serta perluasan daya tampung. Ketiga, peningkatan persentase belanja pemerintah dan kementerian/lembaga pada sektor pendidikan juga dapat ditingkatkan.
Alternatif lainnya adalah memberikan instruksi lebih spesifik mengenai pengalokasian dari porsi anggaran pendidikan yang ada, baik dari APBN maupun APBD. Suatu petunjuk alokasi dan serapan yang tepat untuk anggaran pendidikan harus ditetapkan agar memastikan beberapa aspek, yakni (1) perluasan daya tampung, baik pada sekolah negeri maupun swasta pada tingkat pendidikan dasar; dan (2) pembiayaan khusus untuk keluarga menengah ke bawah hingga kurang mampu, baik melalui subsidi eksisting (dana BOS) maupun dalam bentuk serta mekansime subsidi lain.
MK tetap menekankan pentingnya dukungan pembiayaan untuk sekolah swasta. Hal ini sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam membantu dalam pemenuhan hak atas pendidikan, pencapaian kewajiban konstitusional negara untuk menyediakan pendidikan dasar, serta pemajuan segenap bangsa menuju visi pembangunan nasional. Dengan demikian, negara dapat memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah swasta untuk memperbesar daya tampung pendidikan, khususnya bagi murid dari keluarga yang membutuhkan bantuan, dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang relevan, seperti Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1981 tentang Pemberian Bantuan Kepada Sekolah Swasta dan peraturan terkait lainnya.
D. Rekomendasi
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk menjadikan Putusan MK No. 3/PUU-XXII/2024 sebagai petunjuk konstitusional (constitutional guidance) dalam mengubah UU Sisdiknas agar dapat mengatur kembali skema penyelenggaraan pendidikan dasar bebas biaya atau berbiaya ringan secara nasional, serta memberikan petunjuk penganggaran pendidikan melalui fungsi budgeting agar dialokasikan secara tepat dalam rangka pemenuhan kewajiban konstitusional untuk menyediakan pendidikan.
- Presiden RI Prabowo Subianto untuk menata ulang dan merestrukturisasi prioritas kebijakan fiskal di tahun anggaran 2026 dan seterusnya, dengan menempatkan prioritas perluasan partisipasi pendidikan dasar, menyediakan mekanisme pembiayaan pendidikan, dan memastikan belanja sektor pendidikan diutamakan pada perluasan aksesibilitas serta akomodasi terhadap pendidikan yang inklusif, terutama untuk mengalirkan dana ke daerah melalui TKD.
- Presiden Prabowo beserta Pemerintah Pusat secara keseluruhan mengatur kembali peraturan pelaksana dari UU Sisdiknas dalam rangka penyelenggaraan pendidikan dasar bebas biaya atau berbiaya ringan berdasarkan amanat Putusan MK No. 3/PUU-XXII/2024, serta melakukan spesifikasi penganggaran dan belanja pada pendidikan dasar untuk pemerintah daerah sehingga dapat memperluas daya tampung institusi pendidikan, akses anak terhadap lembaga sekolah, dan keberlanjutan peserta didik untuk menempuh pendidikan.
- Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah secara bersama-sama merancang peraturan pelaksana baru untuk memformulasikan mekanisme baru guna menyempurnakan pembiayaan pendidikan dasar, terutama pada institusi pendidikan yang dikelola masyarakat (sekolah swasta), serta mengadakan kebijakan afirmatif guna memperluas daya tampung sekolah, meningkatkan partisipasi anak pada pendidikan dasar, agar kewajiban konstitusional terpenuhi secara total.
- Pemerintah daerah untuk mempertimbangkan pembiayaan pendidikan sesuai dengan kekuatan ekonomi serta fiskal daerah, tetapi harus memastikan anggaran pendidikan dialokasikan untuk perluasan aksesibilitas anak terhadap pendidikan dasar, utamanya dalam memberikan bantuan pembiayaan kepada peserta didik di sekolah swasta demi mencapai pemenuhan hak atas pendidikan yang dimiliki warga.
Narahubung:
Azeem Marhendra Amedi (Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute)
Selengkapnya silahkan download disini :