Tiga Saksi dari Kalimantan Ungkap Keberadaan Eks Gafatar

Tiga Saksi dari Kalimantan Ungkap Keberadaan Eks Gafatar

Jakarta, 23 Januari 2017. Penasihat Hukum (PH) mengundang tiga saksi fakta dari Kalimantan dalam sidang ke-15 eks petinggi Gafatar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jalan Dr Soemarno, Cakung, Jakarta Timur. Kesaksian ketiganya menjadi upaya PH untuk melepaskan Mahful Muis (eks Ketua Umum Gafatar), Abdussalam (alias Ahmad Mushaddeq), dan Andry Cahya dari tuduhan penistaan agama dan makar. Usai disumpah menurut kepercayaan masing-masing, yaitu saksi 1 disumpah berdasarkan agama Kristen, saksi 2 menurut agama Hindu dan saksi 3 dengan agama Islam, ketiga saksi tersebut mengungkap apa yang sebenarnya terjadi selama Eks Gafatar mendiami tanah Borneo.

1. Kepala Desa dari Kalimantan Timur

Pria bernama Yusak AW hadir dalam persidangan eks petinggi Gafatar. Ia adalah kepala Desa Mendung,
Kutai Barat, Kalimantan Timur yang memiliki bukti SK pengangkatan dari Bupati setempat. Berdasarkan kesaksiannya, ada 294 jiwa warga Eks Gafatar yang tinggal di desanya sejak tahun 2014 dan ratusan warga tersebut melaksanakan kegiatan bertani di sana. “Warga melihat bahwa program Gafatar ini bagus. Bahkan beberapa bulan kemudian sudah panen dan bagi hasil. Ada MoU (Memorandum of Understanding) untuk bagi hasil. Di desa kami, lahan sangat luas. Jadi kami sangat menerima kalau ada Eks Gafatar yang mau datang lagi,” kisah Yusak AW.

Warga Desa Mendung, menurut Yusak, memang cenderung menolak maraknya kebun kelapa sawit dan
pertambangan di wilayah mereka. Sebelum Eks Gafatar datang, tidak ada satupun organisasi yang bergerak di bidang pertanian. Yusak menambahkan, adanya warga yang keberatan dengan kehadiran Eks Gafatar tentu berasal dari luar Desa Mendung. “Karena kampung Mendung itu satu-satunya yang tidak mendukung program kelapa sawit. Sementara saya sangat mendukung pertanian,” imbuhnya.

Ia mengemukakan bahwa di Desa Mendung sebelumnya hanya ada tanaman singkong. Namun, ketika Eks Gafatar datang, tanaman yang ada di sana semakin beragam. Hal ini dapat terjadi atas inisiatif warga Eks Gafatar yang menggunakan pupuk organik. “Yang jelas Eks Gafatar tidak pernah melakukan kegiatan di luar pertanian,” pungkas Yusak AW.

1

Tidak Meresahkan Warga

Yusak AW menepis isu bahwa Eks Gafatar tertutup ketika berada di Kalimantan. “Mereka sangat berbaur, mau berkumpul di rumah-rumah masyarakat. Setiap kegiatan desa juga bekerjasama dengan kami. Makanya saya kaget ketika mendengar informasi kalau Eks Gafatar itu tertutup,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Yusak AW juga membantah adanya ajaran-ajaran tertentu yang disebarkan Eks Gafatar selama mereka tinggal di Desa Mendung pada tahun 2014 hingga dipulangkan pada tahun 2015. Warga kampung Mendung tidak ada masalah sama sekali dengan agama atau kepercayaan Eks Gafatar.

“Masalah kepulangan (dari kampung Mendung ke daerah asalnya), Eks Gafatar hanya mengikuti isu dari pusat. Mereka bahkan menyatakan siap dibina apabila memang salah. Mereka mau dibina oleh ustad, atau ke gereja. Kami yang mengetahui fakta di lapangan mengenai perilaku mereka!” tegas Yusak AW.
Pria berkulit putih ini juga menyingkap perilaku Eks Gafatar saat tinggal di Desa Mendung. “Apa yang disampaikan Gafatar itu jelas dan diaplikasikan. Seperti jangan membunuh, jangan mencuri,” jelasnya. Ia sempat mengemukakan bahwa Eks Gafatar selalu meminta izin kepadanya apabila mengambil kayu, meskipun komoditi kayu sangat melimpah di desanya. “Eks Gafatar juga menerapkan janji anggota Gafatar satu per satu. Tidak ada yang minum, apalagi narkoba. Yang jelas, banyak manfaat ketika mereka berada di daerah kami,” tutur Yusak AW meyakinkan.

Sesalkan Kepulangan Eks Gafatar

Menurut Yusak, Eks Gafatar pulang tanpa kesalahan sama sekali. “Kesalahan mereka tidak dijelaskan. Sampai mereka pulang, tidak ada penjelasan sama sekali dari pihak Kesbangpol,” sesalnya. Padahal, Eks Gafatar datang ke kampung Mendung dengan membawa surat pindah. “Mereka juga melampirkan SKCK dari daerah asal masing-masing. Ada yang dari Manado, Gorontalo dan lain-lain,” jelas Yusak.

Rencana Yusak AW dan warga Desa Mendung untuk fokus pada sektor pertanian pun kandas di tengah jalan. “Kami berencana membuka lahan seluas 1000 hektar. Tidak ada tenaga kerja untuk mengerjakan itu. Eks Gafatar punya kemauan dan kemampuan. Mereka sebenarnya aset, kenapa harus dihilangkan?” tanyanya di muka pengadilan.

Sebagai Kepala Desa, Yusak melihat warga kampungnya sedih ketika Eks Gafatar harus dipulangkan. Sebab program pertanian baru saja berjalan, tetapi mereka kehilangan bala bantuan. “Kami ada di kampung yang terisolasi, sering kesulitan pangan. Kami mau kampung kami menjadi lumbung pangan. Sawah di sana kita tanam, tidak seberhasil Eks Gafatar yang menggunakan pupuk organik,” ujarnya kecewa. “Sayangnya, sekarang tidak ada lagi yang mengurus lahan itu,” tambah Yusak. Lahan luas di Desa Mendung kembali menjadi hutan setelah ditinggal Eks Gafatar.

2. Pemangku Adat dari Kalimantan Tengah

1

Saksi kedua yang hadir dalam sidang ke-15 eks petinggi Gafatar bernama Masimpei, S.Pd. Pria ini ialah salah seorang pemangku adat di Desa Tangkahen, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pria yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMK Pertanian ini mengaku mengenal Gafatar sejak tahun 2013, meski ia tidak pernah bergabung dengan Gafatar.

Dalam keterangannya, kurang lebih terdapat 47 jiwa Eks Gafatar yang tinggal di Desa Tangkahen. Selama tinggal di sana, Eks Gafatar bekerja di lingkup pertanian. Sebagai ketua Kelompok Tani, Masimpei dinilai sebagai sosok yang dekat dengan Eks Gafatar. Ia juga yang membuka lahan seluas lima hektar untuk dikelola oleh Eks Gafatar.

“Eks Gafatar itu datang dengan surat pindah. Setelah mereka masuk, banyak masyarakat yang melihat hasil pertanian mereka. Bahkan ada anggota Eks Gafatar yang dipanggil sebagai penyuluh pertanian oleh Dinas Pertanian,” tandas Masimpei dalam kesaksiannya. Masimpei juga menerangkan bahwa terdakwa 1, Mahful Muis, yang juga eks Ketua Umum Gafatar pernah mengunjungi desanya. “Ia (Mahful Muis) selalu memberikan nasihat dan semangat kepada Eks Gafatar di Desa Tangkahen. Ia bilang, kalau di tempat orang harus sesuai dengan adat istiadat setempat. Tidak ada perintah untuk menguasai daerah kami,” kisahnya.

Gafatar dan Penistaan Agama?

Selama mengenal Eks Gafatar, Masimpei tidak tahu persis apa saja agama yang mereka anut. Menurutnya,hal terpenting ialah desanya tetap aman dan damai. “Saya lihat kalau Eks Gafatar yang beribadah sesuai agamanya. Hari Jumat yang muslim shalat Jumat, hari Minggu juga ada yang ke gereja. Jadi tidak ada alasan menolak Eks Gafatar,” kata lelaki yang tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini.

“Ada 1400 KK di Desa Tangkahen. Tidak ada perubahan ritual keagamaan (karena kedatangan Eks Gafatar). Tidak ada juga larangan shalat dan berpuasa. Masih seperti biasa saja,” imbuhnya. Masimpei juga mengaku ia pernah didatangi polisi, TNI, dan intelijen negara. Mereka mengatakan bahwa Eks Gafatar adalah orang orang sesat. Meski begitu, pria berusia 44 tahun ini menolak untuk mengusir Eks Gafatar dari Desa Tangkahen. Terbukti, saat ini masih ada 6 KK yang merupakan Eks Gafatar tinggal di desanya. Mereka masih disibukkan dengan kegiatan bercocok tanam dalam kesehariannya. Bahkan, ada warga asli Desa Tangkahen yang ikut bertani bersama Eks Gafatar meski mayoritas warga setempat adalah pekerja tambang.

Masimpei melihat secara nyata hasil pekerjaan Eks Gafatar di bidang pertanian. Tidak ada pula tindakan kriminal yang dilakukan oleh mereka. “Tidak ada tindakan yang mengganggu stabilitas warga selama ada Eks Gafatar di desa saya. Yang mengganggu hanya berita di televisi saja,” pungkasnya.

3. Warga Kalimantan Barat

1

Saksi terakhir yang dihadirkan dalam persidangan Eks Gafatar bernama Jaka Tricahya. Pria berkacamata ini menetap di Kalimantan Barat sejak tahun 2013 lalu. Ia sempat membantu Eks Gafatar untuk mencari lahan di Kabupaten Mempawah, tepatnya di Desa Pasir. “Karena saya merasa sesama orang Jawa, jadi saya membantu dua orang Eks Gafatar yang sedang mencari lahan,” tuturnya.

“Saat Eks Gafatar datang beramai-ramai, semua kepindahan dilakukan secara legal. Mereka mengurus surat pindah ke Kabupaten Mempawah. Eks Gafatar juga mendapat surat izin kerja dari Kepala Desa Pasir,” ungkap Jaka dalam kesaksiannya. Ia bahkan menunjukkan bukti berupa surat izin kerja tersebut. “Kepala Desa Pasir memberikan izin kerja bagi Eks Gafatar untuk menjadi petani,” tambahnya.

Sepengetahuan saksi, warga Desa Pasir merasa bersyukur dengan keberadaan Eks Gafatar. Tidak ada penolakan seperti apa yang diangkat oleh media. Bahkan, pemilik tanah bersedia menjual tanahnya dengan harga murah kepada Eks Gafatar. Eks Gafatar juga pernah membantu pembangunan jalan untuk
mempermudah akses jalan ke Desa Pasir. “Pemilik lahan dengan ikhlas memberikan lahan untuk membangun gudangnya kepada Eks Gafatar. Itu bentuk penerimaan warga setempat atas kedatangan Eks Gafatar,” jelas Jaka.

Perihal Pengrusakan dan Pengusiran Eks Gafatar

1

Seperti yang sudah diketahui, Desa Pasir menjadi lokasi pengrusakan pemukiman milik Eks Gafatar. Kejadian ini menjadi titik puncak dari pengusiran Eks Gafatar dari tanah Borneo. Namun, ternyata bukan warga Desa Pasir sendiri yang mengusir Eks Gafatar. “Waktu itu saya ditelpon oleh seseorang. Katanya Desa Pasir didatangi oleh 50 orang pada pukul 2 dinihari. Kedatangan orang-orang ini diblokade oleh preman preman Desa Pasir,” kisah Jaka dalam kesaksiannya.

Warga Desa Pasir ternyata berusaha mengusir tamu tak diundang. Menurut Jaka, pelaku pembakaran pemukiman Eks Gafatar kemungkinan adalah orang Antibar, atau orang-orang dari desa seberang sungai. Saat huru-hara terjadi, Kodim dan Polres juga datang agar tidak terjadi keributan. Meski begitu, peristiwa pembakaran tidak dapat terelakkan lagi.

“Sejak kejadian itu, setahu saya, sudah tidak ada lagi warga Eks Gafatar di Desa Pasir. Mereka ikut dalam evakuasi Eks Gafatar. Ini terjadi karena adanya pengrusakan, padahal mereka membuat rumah di tanah milik mereka sendiri,” ujar Jaka kecewa. Kekecewaan Jaka ini ternyata mewakili isi hati seluruh warga Desa Pasir. “Warga kecewa, karena mereka merasakan dampak positif dari keberadaan Eks Gafatar,” imbuhnya.

Sebanyak 8.187 warga Eks Gafatar di seluruh Kalimantan telah diusir secara paksa dan dikembalikan ke
tempat asal mereka masing-masing dalam negara yang berazaskan Undang-undang Dasar ‘45 pasal 28E
ayat 1 yang diantaranya berbunyi “Setiap orang berhak memilih pekerjaan dan memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. (Ilana)

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*