JUMLAH kasus pelanggaran kebebasan ber-agama/berkeyakinan (KBB) menurun signifikan. Pada 2016 tercatat ada 208 pelanggaran dan 270 tindakan. Adapun pada 2017 hanya 155 peristiwa dan 201 tindakan.
“Jumlahnya menurun, tapi ada beberapa kasus yang kualitas atau intensitas tindakannya lebih buruk. Misalnya kasus-kasus kriminalisasi, intimidasi, dan persekusi. Meskipun angkanya kecil, tapi dampaknya lebih destruktif,” ujar peneliti Setara Institute Halili saat memaparkan laporan Kondisi KBB dan Minoritas Keagamaan di Indonesia pada 2017 di Kantor Setara Institute, Kebayoran Baru, Jakarta, kemarin (Senin, 15/1).
Kasus pelanggaran kebebasan beragama paling banyak terjadi di Jawa Barat (29 kasus), diikuti kemudian DKI Jakarta (26 kasus), Jawa Tengah (14), Jawa Timur (12 kasus), dan Banten (10 kasus).
Adapun korban pelanggaran KBB paling banyak ialah individu (59 peristiwa) dan kelompok warga (19 peristiwa).
“Orang yang hanya karena posting di Facebook atau media sosial lainnya, dianggap menghina tokoh yang dikagumi, dikejar, dan dipersekusi. Itu tidak terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Sekarang ini trennya korban individu dan pelaku juga individu. Ini kerusakan yang ditimbulkan serius,” ujar Halili menyoal tingginya korban dari kelompok individu.
Ada sejumlah katalisator (pemicu) praktik pelanggaran terhadap hak kelompok minoritas keagamaan di Indonesia.
Pemicu secara umum ialah, menguat dan menyebarnya kelompok-kelompok intoleran, lemahnya kebijakan dan regulasi negara, dan lemahnya atau tunduknya aparatur negara di hadapan kelompok intoleran.
Ada pula pemicu secara khusus yang terkait dengan setiap kelompok minoritas yang menjadi korban.
Pada jemaah Ahmadiyah misalnya, kerentanan yang mereka alami disebabkan sejumlah pemicu, yakni eksklusi (pengecualian) sosioreligius terhadap ekstitensi dan identitas mereka dari identitas Islam, dan surat keputusan bersama (SKB) 3 menteri yang membatasi aktivitas mereka.
Pada kelompok minoritas agama baru dan aliran keagamaan, pemicu pelanggaran ialah, kesalahan perspektif warga penganut agama mainstream yang lebih banyak menghakimi sebagai penyesatan, bukan memahami sebagai perbedaan.
Peran institusi
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menambahkan, penurunan angka kasus pelanggaran KBB tak terlepas dari meningkatnya peran sejumlah insitusi negara dalam upaya melindungi kelompok-kelompok minoritas.
“Putusan MK terkait status kelompok penghayat, peran Kementerian Agama, Kemendagri, termasuk juga institusi kepolisian. Di polisi misalnya, jumlah kasus pelanggaran KKB itu menurun. Keseriusan negara itu salah satunya dampak dari Pilgub DKI Jakarta. Persoalan intoleransi di Pilgub DKI membuka mata negara bahwa ini persoalan serius yang mengancam keberagaman,” tuturnya.
Namun demikian, menurut Bonar, bukan berarti penurunan angka pelanggaran KBB berkorelasi dengan meningkatnya toleransi di kalangan masyarakat terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Pasalnya, meskipun tidak serta merta berujung pada terjadinya pelanggaran KBB, sikap intoleran masih kerap dipertontonkan kelompok-ke-lompok masyarakat tertentu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
“Pandangan picik antikeberagaman masih kuat di berbagai daerah. Kita juga mencatat bahwa kasus pelanggaran KBB di masa lalu belum menjadi prioritas. Misalnya nasib Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah asal Sampang yang kini tinggal di Sidoarjo, Gereja Yasmin di Bogor, dan kasus lainnya,” jelasnya. (P-2)
Christian Dior Simbolon
Sumber: mediaindonesia.com
Tes