Menentang Pembusukan Gerakan Mahasiswa
Foto: jogjainside.com

Menentang Pembusukan Gerakan Mahasiswa

Siaran Pers SETARA Institute

25/09/2019

Gelombang gerakan mahasiswa di beberapa daerah dalam satu pekan terakhir yang memprotes sejumlah RUU kontroversial, disikapi secara dingin oleh elemen negara. Presiden Jokowi dan DPR memang telah bersepakat menunda pengesahan 4 RUU yang diprotes mahasiswa dan elemen masyarakat sipil lainnya. Tetapi aspirasi lain yang disuarakan mahasiswa seperti tuntutan penerbitan Perppu yang menganulir UU KPK hasil revisi dan juga penyikapan serius atas masalah kebakaran hutan dan kekerasan di Papua belum memperoleh respons progresif dari presiden.

Selain belum memenuhi seluruh aspirasi publik, khususnya terkait Perppu KPK, gerakan moral mahasiswa saat ini menghadapi pembusukan sistematis yang ditujukan untuk melemahkan gerakan mahasiswa. Labeling gerakan mahasiswa disusupi kelompok radikal adalah pengkerdilan gerakan moral mahasiswa yang bergerak berdasarkan mandat etiknya sebagai agent of social change.

Pembusukan yang dilakukan oleh kelompok tertentu ini merupakan bentuk pengkhianatan demokrasi yang salah satu menu utamanya adalah adanya kontrol publik. Soal cara mengontrol negara, tentu berbeda-beda antara satu lapisan masyarakat dengan masyarakat lainnya. Demonstrasi adalah cara paling populer yang mendapat tempat dalam demokrasi. Penyikapan represif aparat kepolisian terhadap demonstran (24/9) selalu berujung pada pembelaan bahwa aparat juga memiliki batas kesabaran dan berhak melakukan pembelaan diri.

Tuntutan mahasiswa untuk berdialog dengan pimpinan DPR misalnya, adalah hal wajar. Tetapi DPR bergeming yang menimbulkan kekecewaan para demonstran.

SETARA Institute berpandangan, DPR yang tidak mau dan tidak mampu berdialog dengan mahasiswa telah berkontribusi pada munculnya aksi anarki sejumlah kelompok. Jika dialog dilakukan, maka tidak ada argumen dan kesempatan kelompok tertentu melakukan aksi anarki.

SETARA Institute mendorong Presiden Jokowi untuk kembali mendengar dan mengambil sikap atas tuntutan mahasiswa, khususnya terkait tuntutan penerbitan Perppu KPK, penanganan kebakaran hutan, dan penanganan Papua, termasuk memastikan agenda-agenda reformasi benar-benar tidak dikorupsi dengan legislasi yang koruptif, karena mengikis dan melemahkan agenda reformasi.

SETARA Institute juga mendesak Kapolri untuk melakukan investigasi atas peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat termasuk memberikan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan. Paralel dengan itu, Kapolri juga penting angkat bicara dan mengevaluasi penanganan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat. Permintaan maaf Kapolda Sulsel yang melakukan pengejaran demonstran hingga memasuki masjid, bisa menjadi contoh empati dan dukungan institusi Polri dalam menjaga demokrasi.

SETARA Institute juga mengingatkan, bahwa fakta-fakta intoleransi dan radikalisme yang menyebar di banyak elemen masyarakat, yang ditunjukkan melalui berbagai studi dan survey, bukanlah instrumen labeling yang bisa digunakan seenaknya oleh kelompok tertentu termasuk oleh negara untuk menundukkan kelompok lain, termasuk digunakan untuk melakukan pembusukan gerakan mahasiswa. Intoleransi dan radikalisme adalah juga masalah bangsa, yang perlu ditangani secara presisi dan dengan cara-cara presisi, dalam kerangka demokrasi dan hak asasi manusia. Pengunaan terminologi intoleransi dan radikalisme sebagai alat penundukkan bagi kelompok lain, justru akan melemahkan agenda promosi toleransi dan kebebasan sipil.

Narahubung:

  • Ikhsan Yosarie, (Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute): 0822 8638 9295
  • Ismail Hasani, (Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta): 0812 1393 1116

Sharing is caring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*